Sunday, January 24, 2016

Kesatuan Ummat Islam,
Prioritas Amal Dakwah
1. Sebab-sebab terjadinya keragaman       
Keragaman dalam masyarakat Islam adalah lumrah. Beragam kepentingan politik dan ekonomi dapat menjadi penyebab keragaman. Begitupun perbedaan sudut pandang penghayatan nilai-nilai agama Islam bisa menjadi penyebabnya. Secara sosiologis dapat pula kita fahamkan betapa tiap-tiap nilai-nilai ajaran tidak selalu dapat ditangkap secara seimbang di antara komunitas-komunitas yang dihadapi Islam dalam penyebarannya.[1] Bahkan sejak semula Islam itu diajarkan kepada generasi pertama. Tidak kecil pula pengaruh modernisasi di dunia Islam dalam menyebabkan keragaman tersebut.
            Perbedaan dalam fiqih Islam dapat terjadi karena lafadz bahasa Arab yang kadang-kadang mengandung lebih dari satu makna. Ada juga yang disebabkan oleh periwayatan dan cara sampainya sebuah hadits kepada seorang mujtahid. Dapat pula disebabkan oleh banyak sedikitnya dalil syara’ yang digunakan dalam berijtihad. Atau karena adanya pertimbangan menjaga maslahat, keperluan dan adat kebiasaan yang senantiasa berkembang. Perbedaan pendapat juga dapat ditimbulkan oleh perbedaan cara pandang dan dasar pemikiran mujtahid dalam memahami nash atau teks syari’at untuk menyingkap rahasia-rahasianya guna menyimpulkan hukum-hukum syari’at.[2]
            Maka upaya-upaya untuk menyatukan kaum muslimin dalam satu warna pendapat adalah upaya yang sia-sia. Bahkan ia dapat menyebabkan perselisihan semakin meluas. Karena perbedaan pendapat dalam pemahaman hukum syari’at yang tidak asasiyah (yang pokok) merupakan suatu kemestian yang tidak dapat dihindari.[3]
2. Hikmah Keragaman dalam tubuh Ummat Islam
Di samping itu perbedaan di kalangan ummat adalah rahmat. Sebuah hadits sangat masyhur dikalangan ummat Islam, disebutkan oleh Imam as Suyuthi, sebagai berikut:
اخْتِلافُ أمَّتِي رَحْمَةٌ[4]
Artinya: Perbedaan di kalangan ummatku adalah rahmat.
Hadits ini dho’if. Imam Suyuthi dalam komentarnya menulis, barangkali hadits ini muncul dalam beberapa kitab para pengahafal hadits yang tidak sampai kepada kita.[5] Namun demikian Dr Yusuf Qaradhawy menilai hadits ini memiliki makna yang shahih.[6] Menurut beliau hadits ini diperkuat maknanya dengan hadits lain yaitu,
عَنْ أَبِيْ ثَعْلَبَةَ الخُشَنِيِّ جُرثُومِ بنِ نَاشِرٍ رضي الله عنه عَن رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: (إِنَّ اللهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلا تُضَيِّعُوهَا، وَحَدَّ حُدُودَاً فَلا تَعْتَدُوهَا وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلا تَنْتَهِكُوهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلا تَبْحَثُوا عَنْهَا) حديث حسن رواه الدارقطني وغيره.[7]
Artinya Sesungguhnya Allah telah membuat ketentuan-ketentuan, maka janganlah kamu melanggarnya; telah mewajibkan sejumlah kewajiban maka janganlah kamu abaikan; telah banyak mengharamkan banyak hal maka janganlah kamu melanggarnya; telah mendiamkan banyak masalah sebagai rahmat bagi kamu maka janganlah kamu mencarinya. Hadits ini hasan diriwayatkan oleh ad Daruquthni dan yang lainnya.
            Syaikh Shalih al ‘Utsaymin menjelaskan maksudnya yang didiamkan adalah tidak dikatakan sesuatu atasnya, baik apakah ia wajib atau ia haram.[8] Sedangkan pada perkataannya “tidak lupa” yaitu bahwa Allah Azza wa Jalla tidaklah meninggalkan sesuatu perkara karena lupa,[9] sebagaimana firmanNya,
وما نتنزل إلا بأمر ربك له ما بين أيدينا وما خلفنا وما بين ذلك وما كان ربك نسيا
Dan tidaklah kami (Jibril) turun, kecuali dengan perintah Tuhanmu. Kepunyaan-Nya-lah apa-apa yang ada di hadapan kita, apa-apa yang ada di belakang kita dan apa-apa yang ada di antara keduanya, dan tidaklah Tuhanmu lupa.( QS Maryam 64).
Hal-hal yang didiamkan inilah yang biasanya menjadi sebab timbulnya perbedaan. Karena ia menjadi “kawasan kosong syari’at”.[10] Maka para fuqoha berdasarkan kemampuan dan kecendrungannya berusaha mengisi kekosongan itu untuk menjelaskannya. Hadits ini mengisyaratkan bahwa “didiamkannya” suatu tanpa nash hukum pada kawasan ini adalah dengan suatu tujuan yaitu memberikan rahmat kasih sayang Allah berupa kemudahan bagi ummat.
            Hadits lain yang semakna dan dapat menguatkan pengertian ini yaitu,
قَالَ: قَدْ كَانَ يَقُولُ ذَلِكَ الْحَكَمُ بْنُ عَمْرٍو، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلَكِنْ أَبَى ذَلِكَ الْبَحْرُ يَعْنِي ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، وَقَرَأَ {قُلْ لَا أَجِدُ فِيمَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا} الْآيَةُ. وَقَدْ كَانَ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ يَتْرُكُونَ أَشْيَاءَ تَقَذُّرًا فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي كِتَابِهِ وَبَيَّنَ حَلَالَهُ وَحَرَامَهُ، فَمَا أَحَلَّ فَهُوَ حَلَالٌ، وَمَا حَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ، وَمَا سَكَتَ عَنْهُ، فَهُوَ عَفْوٌ، ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةَ {قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ} «هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ وَلَمْ يُخْرِجَاهُ بِهَذِهِ السِّيَاقَةِ»[11]
Artinya: Apa yang dihalalkan Allah dalam KitabNya adalah halal. Apa yang diharamkanNya adalah haram dan apa yang didiamkanNya merupakan kemurahan. Maka terimalah kemurahanNya. Sesungguhnya Allah tidak pernah lupa akan sesuatu”. Kemudian Nabi saw membaca firman Allah surat Al An’am ayat 145. Hadits ini Shahih berdasarkan syarat-syarat Bukhari dan Muslim namun mereka berdua tidak meriwayatkannya dengan redaksi yang sama.
            Al ‘Afwu (kemurahan) berarti rahmat sebagaimana dalam hadits terdahulu (perbedaan ummatku adalah rahmat). Semuanya menunjukkan bahwa didiamkannya sesuatu hokum oleh Allah adalah untuk memberikan keleluasaan dan kemudahan bagi ummat. Adapun arti mendiamkan suatu hokum adalah:
1.      Mendiamkan nash tentang sebagian hukum dan menyerahkan kepada akal muslim untuk berijtihad dan memahaminya dengan merujuk hukum-hukum lain yang telah ditetapkan dengan nash.
2.      Menegaskan hukum dalam suatu nash yang fleksibel sehingga mencakup beberapa kemungkinan pemahaman serta beraneka pendapat ijtihad.[12]
Maka para sahabat Rasulullah melakukan ijtihad dan saling berselisih faham dalam banyak masalah-masalah juz’iyah (cabang) tanpa harus bersempit dada. Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengatakan: Aku tidak senang jika para sahabat Rasulullah tidak berselisih karena jika mereka tidak berselisih maka tidak akan ada bagi kita rukhshah (keringanan).[13]
            Selain itu, perbedaan ijtihad yang melahirkan pendapat-pendapat fiqih telah memperkaya khazanah pengetahuan dan peradaban Islam. Sejak pertumbuhan madrasah al hadits yang mendasarkan ijtihadnya kepada bunyi teks-teks nash (tekstual), kemudian madrasah ar ra’yi yang mendasarkan ijtihadnya kepada pemahaman konteks, sehingga kemunculan aliran pertengahan yang berusaha mengambil setiap pendapat terbaik dari kedua yang terdahulu, sembari menghindari titik-titik lemah.[14]
3.      Menyikapi perbedaan
Syaikh Wahbah az Zuhaili menerangkan bahwa hasil-hasil ijtihad para imam mujtahid tidak mungkin menepati secara keseluruhan syari’at Allah yang diturunkan kepada Rasulullah. Tetapi kita diwajibkan atau dibolehkan mengamalkan salah satunya. Setiap pendapat itu mesti diberi penghormatan dan penilaian yang sama. Bukan dijadikan alasan untuk berpecah dan bermusuhan sesama ummat Islam. Setiap mujtahid dari kalangan sahabat tidak mau dikatakan bahwa ijtihad mereka adalah hukum Allah. Tapi mereka mengatakan, “Ini pendapatku. Jika betul, maka itu adalah dari Allah. Tetapi jika salah, maka itu adalah dari diriku dan dari setan. Allah dan Rasul terlepas dari semua kesalahan itu.”[15]
Dalam sejarah Umat Islam, kita tidak pernah mendengar adanya perbedaan madzhab fiqih yang menyebabkan terjadinya perselisihan atau pertikaian bersenjata yang memusnahkan kesatuan ummat. Atau melemahkan pendirian mereka ketika menghadapi musuh. Karena perbedaan itu hanya merupakan perbedaan cabang yang tidak membahayakan.[16]
            Selanjutnya seorang pemikir besar dalam dunia Islam, Ustadz Muhammad Rasyid Ridha memberikan pengarahannya yang sangat berharga bagi kita dengan ungkapan beliau:
نتعاون فيما إتفقنا عليه ويعذر بعضنا بعضا فيما إختلفنا فيه[17]
"Kita saling membantu dalam masalah-masalah yang kita sepakati dan kita saling memberi ‘udzur pada masalah-masalah yang kita perselisihkan."
Kalimat pendek ini penting kita cermati jika kita sadar bahwa di hadapan kita terbentang banyak masalah besar nan pelik. Pada tingkat nasional, ada sekolah ambruk, jembatan putus, kasus-kasus kekurangan gizi, dan berapa banyak lagi yang bisa kita sebut. Pada tingkat regional ada perbatasan-perbatasan laut yang menjadi pintu penyelundupan narkoba, perompak dan lain-lain. Persoalan-pesoalan ini membutuhkan kerjasama setiap komponen ummat untuk mengatasinya. Ketimbang kita berkutat menghabiskan energy membahas hal-hal cabang, lebih baik kita bersatu menyelesaikan masalah-masalah yang lebih besar.
Daftar Pustaka
Abdullah, Abu, Al Hakim Muhammad bin Abdullah, 1990, Al Mustadrak ‘ala as Shahihayn, Darul Kutub al Ilmiyah, Beyrut.
Abdullah, Taufiq,1987, Islam dan Masyarakat, Pantulan Sejarah Indonesia, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES),Jakarta.
Abi Bakar, Abdurrahman bin, Jalaluddin as Suyuthi,tt, Jami’us Shaghir.
Qaradhawy, Yusuf, 2002, Fiqhul Ikhtilaf Antara Perbedaan yang Dibolehkan dan Perpecahan yang Dilarang, alih bahasa Aunur Rafiq Saleh Tamhid, Robbani Press, Jakarta.
Shalih, Muhammad bin, bin Muhammad al ‘Utsaymin, tt, Syarah Arba’in an Nawawiyah, Daarul Tsuraya li an Nasyr.
Az Zuhaili, Wahbah, 2011, Fiqih Islam wa Adilatuhu, alih bahasa, Abdul Hayyie al Kattani dkk,Gema Insani Press, Jakarta.



[1] Taufiq Abdullah,1987,Islam dan Masyarakat, Pantulan Sejarah Indonesia, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES),Jakarta, h.245.
[2] Wahbah az Zuhaili,2011,Fiqih Islam wa Adilatuhu, alih bahasa, Abdul Hayyie al Kattani dkk,Gema Insani Press, Jakarta,jilid 1,h.73.
[3] Yusuf Qaradhawy,2002,Fiqhul Ikhtilaf Antara Perbedaan yang Dibolehkan dan Perpecahan yang Dilarang, alih bahasa Aunur Rafiq Saleh Tamhid, Robbani Press, Jakarta,h.59.
[4]Abdurrahman bin Abi Bakar Jalaluddin as Suyuthi,tt, Jami’us Shaghir,juz 1 h.1243.  
[5]Abdurrahman bin Abi Bakar Jalaluddin as Suyuthi, loc.cit.
[6]Yusuf Qaradhawy, op.cit. h.70.
[7] Muhammad bin Shalih bin Muhammad al ‘Utsaymin, Syarah Arba’in an Nawawiyah, Daarul Tsuraya li an Nasyr, tt, h. 309.
[8] Ibid, h.310
[9] Loc.cit.
[10] Yusuf Qaradhawy, op.cit, h.71.
[11] Abu Abdullah Al Hakim Muhammad bin Abdullah,1990,Al Mustadrak ‘ala as Shahihayn,Darul Kutub al Ilmiyah, Beyrut, Juz 2,h.347.
[12] Yusuf Qaradhawy, op.cit. h.72.
[13] Yusuf Qaradhawy, ibid.h.73.
[14] Yusuf Qaradhawy, ibid, h.79.
[15] Wahbah az Zuhaili, op.cit, Jilid 1,h.76.
[16] Wahbah az Zuhaili, ibid, jilid 1,h.72.
[17] Yusuf Qaradhawy,op.cit, h.151.