Thursday, March 17, 2016

Din al Islam, Ajaran Kebangkitan


1. Pengertian Din al Islam

Secara etimologis, orang Arab menggunakan kata ad din dalam beberapa makna, yang pertama, makna kekuasaan, otoritas, hukum dan perintah. Kedua, makna keta’atan, peribadatan, pengabdian dan ketundukan kepada kekuasaan atau dominasi tertentu. Ketiga, bermakna hokum, undang-undang, jalan, madzhab, agama, tradisi dan taklid. Keempat, balasan, imbalan, pemenuhan dan perhitungan.[1]
Al Qur’an kemudian menetapkan kejelasan makna yang tetap berdasar pada keempat makna di atas, yaitu: yang menguasai dan memiliki otoritas tertinggi yaitu Allah; pengakuan dan keta’atan dari para pengikut ad din tersebut kepada kekuasaan dan otoritas; sistem berfikir ilmiyah yang dilahirkan dari sistem otoritas dan kekuasaan; serta imbalan dan balasan yang diberikan kepada pengikut ad din dari pemegang otoritas dan kekuasaan.[2]
Islam secara bahasa berarti berserah diri kepada Allah.
أفغير دين الله يبغون وله أسلم من في السماوات والأرض طوعا وكرها وإليه يرجعون
Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.(QS Ali Imran 83).
2. Islam Aturan Sempurna
Dalam Al Qur’an kata Islam digunakan pada ad din, sehingga menjadi ad din al islam. Allah memerintahkan manusia untuk mengikutinya.
إن الدين عند الله الإسلام وما اختلف الذين أوتوا الكتاب إلا من بعد ما جاءهم العلم بغيا بينهم ومن يكفر بآيات الله فإن الله سريع الحساب
Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.(QS Ali Imron 19)

قل إني أمرت أن أعبد الله مخلصا له الدين وأمرت لأن أكون أول المسلمين
Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.Dan aku diperintahkan supaya menjadi orang yang pertama-tama berserah diri".(QS Az Zumar 11-12).
            Allah menjadikan Islam sebagai din yang sempurna dan mencakup seluruh sistem kehidupan dan yang membuat interaksi setiap komponennya menjadi padu dan teratur.

3. Islam Konsep Pergerakan

Dengan demikian Islam adalah agama yang mestinya diyakini pemeluknya sebagai jalan hidup. Ia menuntut agar difahami secara utuh. Berbeda dengan konsep agama dalam masyarakat barat yang biasanya diartikan hanya sebagai faith (keyakinan); yaitu keyakinan pribadi yang dapat saja dimanifentasikan dalam berbagai ekspresi, yang juga individual. Maka jika kita menerima Islam hanya sebagai keyakinan individu maka kita membatasi makna Islam itu sendiri. Seolah-olah Islam hanyalah kewajiban-kewajiban ritual, upacara-upacara dan ungkapan-ungkapan kesalehan peribadi, yang tiada kaitannya dengan orang lain dan lingkungan sekitar serta masalah-masalah lain dalam hidup manusia.
ويوم نبعث في كل أمة شهيدا عليهم من أنفسهم وجئنا بك شهيدا على هؤلاء ونزلنا عليك الكتاب تبيانا لكل شيء وهدى ورحمة وبشرى للمسلمين
(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami, bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.(QS. An Nahl: 89)
Maka menjadi muslim adalah merefleksikan semua petunjuk dan arahan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah dalam skala pribadi, keluarga, masyarakat dan negara. Sehingga seorang muslim adalah pribadi yang saleh secara pribadi dan social yang hidup di tengah masyarakat dengan bimbingan Allah dalam keyakinan, pemikiran, sikap dan perbuatan, sehingga tercapai kebahagiaan hidup yang merupakan tujuan Islam itu sendiri.
من عمل صالحا من ذكر أو أنثى وهو مؤمن فلنحيينه حياة طيبة ولنجزينهم أجرهم بأحسن ما كانوا يعملون
Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.(QS An Nahl 97).
ولو أن أهل القرى آمنوا واتقوا لفتحنا عليهم بركات من السماء والأرض ولكن كذبوا فأخذناهم بما كانوا يكسبون
Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.(QS Al A’raaf 96).
        Berangkat dari konteks ini, maka pergerakan kebangkitan Islam bukanlah semata reaksi atas keunggulan barat dalam beberapa aspek atas dunia Islam. Karena semua pergerakan kebangkitan pasti memiliki akar dan fondasinya dalam sistem Islam itu sendiri. Ia merupakan mata rantai dari rangkaian pergerakan Islam sejak pertama kali digelindingkan.

Pustaka
Abdurrahman an Nahlawy,(tt), Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, edisi terjemahan, Gema Insani Press



[1] Abdurrahman an Nahlawy,(tt), Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, edisi terjemahan, Gema Insani Press, h.22-23.
[2] Ibid, h.23.

Wednesday, March 16, 2016

Makna Keshabaran

Allah Subahanahu wata'ala berfirman:

وما محمد إلا رسول قد خلت من قبله الرسل أفإن مات أو قتل انقلبتم على أعقابكم ومن ينقلب على عقبيه فلن يضر الله شيئا وسيجزي الله الشاكرين وما كان لنفس أن تموت إلا بإذن الله كتابا مؤجلا ومن يرد ثواب الدنيا نؤته منها ومن يرد ثواب الآخرة نؤته منها وسنجزي الشاكرين وكأين من نبي قاتل معه ربيون كثير فما وهنوا لما أصابهم في سبيل الله وما ضعفوا وما استكانوا والله يحب الصابرين
Artinya: Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah se dikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. QS Ali Imron 144-146

Sebab turunnya ayat
Berkata Athiyah Al Aufi, “Pada hari pertempuran Uhud, pasukan islam mengalami kekalahan. Sekelompok orang berkata, sungguh Muhammad telah terbunuh, maka tahanlah tangan kalian, sesungguhnya mereka itu saudara-saudara kalian juga. Sekelompok yang lain berkata, “Jika Muhammad telah terbunuh maka bertahanlah atas apa yang telah dipertahankan nabi kalian sampai kalian menyusulnya. Maka Allah menurunkan ayat ini.[1]
Ibnu Abi Hatim  meriwayatkan dari Ar Rabi’, ia berkata, “Ketika kaum muslimin ditimpa kekalahan, mereka berteriak-teriak memanggil Rasulullah. Orang-orang berkata, “Rasulullah telah terbunuh.” Maka sekelompok orang berkata, “Seandainya ia benar seorang nabi, tentu tidak akan terbunuh.’ Sekelompok yang lain berkata, ‘Berperanglah demi sesuatu yang karenanya Nabi kalian telah berperang, hingga Allah memenangkan kalian atau kalian menyusul beliau.’ Lalu Allah menurunkan ayat ini.”[2]
Imam Ibnu Katsir menceritakan bahwa pada pertempuran Uhud telah berhembus kabar tentang terbunuhnya Nabi saw. Seseorang bernama Ibnu Qami’ah mengaku telah membunuh Nabi padahal ia hanya melukai Nabi pada kepalanya. Setan telah ikut pula menyebarluaskan agitasi ini. Berita bohong ini telah melemahkan semangat sebagian pasukan maka turunlah ayat ini.[3]

Ayat yang Unik
Ayat ini unik karena seolah-olah turun dua kali. Pertama adalah pada saat peranng Uhud. Yang kedua hari wafatnya Rasulullah saw. Ayat ini dibaca oleh Abu Bakar pada saat orang-orang sedang galau pasca wafatnya Nabi Muhammad saw. Diriwayatkan dari Az Zuhri dari Ibnu Abbas, bahwa Abu Bakar keluar dan melihat Umar sedang berbicara dengan orang-orang. Ditegurnya Umar, “Duduklah hai Umar!” Kemudian melanjutkan, “Siapa yang menyembah Muhammad, Muhammad telah mati. Siapa yang menyembah Allah, sungguh Allah tidak akan pernah mati.  Lalu membaca “Muhammad itu hanyalah seorang Nabi sampai akhir ayat.
Said bin Musayyab bercerita bahwa Umar berkata, “Demi Allah begitu aku mendengar Abu Bakar membacanya, sontak berpeluhlah aku, kedua kakiku lemas hingga terjatuh ke tanah.”
Pada hari wafatnya Rasulullah itu, Umar bin Khattab membawa pedangnya sambil mengancam siapa saja yang berkata bahwa Rasulullah telah wafat. Ini dulu juga dilakukannya pada perang Uhud. Ibnul Mundzir meriwayatkan dari Umar, ia berkata, “Ketika peperangan Uhud, kami terpisah dari Rasulullah, lalu aku mendaki bukit Uhud, di sana aku dengar orang-orang berkata, ‘Muhammad telah terbunuh’. Maka aku berkata dalam hati, ‘Tak seorang pun yang mengatakan bahwa Muhammad telah terbunuh kecuali akan saya bunuh.”[4]
Seolah-olah Allah secara khusus melatih para sahabat untuk mempersiapkan mereka menghadapi peristiwa wafatnya Nabi saw. Sebagian dari para sahabat itu bahkan mengatakan seolah-olah ayat ini baru diturunkan untuk mereka ketika Abu Bakar membacakannya.

Makna ayat secara global
Ayat-ayat ini secara umum membangkitkan semangat tempur pasukan Uhud. Imam Ibnu Katsir menjelaskan beberapa point penting[5]. Yaitu :
  1. Bahwa setiap yang bernyawa tidak akan mati kecuali dengan izin Allah.
  2. Barangsiapa yang beramal untuk kepentingan dunia, ia akan mendapatkan sebagian dari bagian dunianya tapi tidak ada lagi bagiannya di akhirat. Bahkan bisa saja bagiannya di dunia itu dipercepat, tetapi tempat kembalinya adalah neraka jahannam. Dan barangsiapa yang beramal untuk kepentingan akhiratnya maka ia akan mendapati pahala akhiratnya.
  3. Allah menghibur para sahabat Nabi yang tergabung dalam pasukan di Uhud itu dengan menceritakan bahwa sebelum mereka banyak para pejuang yang bertempur bersama Nabi mereka dengan shabar. Mereka itu tidak menjadi lemah, lesu dan menyerah karena kesulitan yang menimpa mereka di jalan perjuangan itu.


Soliditas Pasukan mengatasi Perang Isssu
Pada perang Uhud ini setan membantu kaum musyrikin dengan menyebarkan berita bohong kematian Rasulullah untuk melemahkan semangat kaum muslimin. Ibnu Rahuyah meriwayatkan dalam musnadnya dari Az Zuhri bahwa pada peperangan Uhud setan meneriakkan bahwa Rasulullah telah terbunuh. Kaab bin Malik berkata, “Saya orang pertama yang mengetahui kondisi Rasulullah sebenarnya. Saya melihat beliau memakai topi baja, lalu berteriak, “Itu Rasulullah!”[6]
Orang-orang musyrik Quraisy sengaja melakukan agitasi itu, namun operasi ini tidaklah terlalu berpengaruh terhadap pasukan. Sebagian sahabat yang mengetahui perihal yang sebenarnya melakukan upaya mengcounter berita bohong. Sekalipun ada anggota pasukan yang terganggu dengan agitasi itu tetapi  yang lebih berperan mempertahankan mental pasukan adalah kemampuan mereka secara internal meredam rencana musuh itu. Mereka saling menguatkan satu sama lain. Itu karena mereka  adalah pejuang sejati.
Al Bayhaqi meriwayatkan dari Abu Najih bahwa seorang lelaki dari Muhajirin berpapasan dengan seorang lelaki dari Anshar yang berlumuran darah. Lalu ia berkata, “Apakah engkau merasa bahwa Rasulullah telah terbunuh?” Orang Muhajirin itu menjawab, “Jika pun beliau terbunuh, beliau sudah menyampaikan risalahnya. Maka berperanglah demi agama kalian.”[7]
Semasa hidup Rasulullah saw, Imam Ali bin Abi Thalib biasa mengatakan, “Demi Allah, kami tidak akan berbalik ke belakang setelah kami diberi petunjuk oleh Allah. Demi Allah, jika ia (Nabi Muhammad) mati atau terbunuh, aku akan tetap berjuang mempertahankan apa yang beliau pertahankan sampai aku mati. Demi Allah, aku adalah saudaranya, sepupunya, pelindungnya dan ahli warisnya. Maka siapa yang lebih berhak terhadapnya dari pada aku?”[8]
Pada ayat ke 146 Allah menjelaskan sifat para pejuang dari generasi terdahulu yaitu :
  1. Tidak wahn. Wahn adalah  hubbuddunya wa karohiyatul maut (cinta dunia dan takut mati) sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah dalam haditsnya.
  2. Tidak dha’ufu, yaitu lesu dan lemah karena merasa tidak punya kesanggupan.
  3. Tidak istikanah, patah semangat dan menyerah pada kesulitan.

Kemudian Allah merangkum ketiga sifat itu dengan menyingkatnya sebagai keshabaran. Dan sungguh sifat-sifat ini ada pada para sahabat Rasulullah dalam pasukan Uhud itu. Ayat-ayat ini turun tentang mereka, bukan untuk mereka, tapi untuk kita. Wallahu’alam.

Daftar Pustaka
Abul Hasan Ali bin Ahmad Al Wahidi An Naysabury, Asbab an Nuzul.
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir.
Jalaludin As Suyuthi, Al Lubab an Nuqul fii Asbabinnuzul.



[1] Abul Hasan Ali bin Ahmad al Wahidi an Naysabury, Asbab an Nuzul
[2] Jalaludin As Suyuthi, Al Lubab an Nuqul fii Asbabinnuzul
[3] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir
[4]Jalaludin As Suyuthi, op.cit.
[5] Ibnu Katsir, op.cit
[6] Jalaludin As Suyuthi.op.cit
[7] ibid
[8] Ibnu Katsir, op.cit

PROBLEMATIKA PENULISAN SEJARAH ISLAM

1. Makna Sejarah Lokal dalam kaitannya dengan Sejarah Dunia
Sejarah Islam masih seringkali difahami sebagai sejarah local yang dibicarakan secara terpisah dari keseluruhan lanskap sejarah dunia yang besar dan global. Seolah jika menulis sejarah Islam, maka itu bukanlah tulisan tentang sejarah dunia. Situasi ini seperti yang dipaparkan oleh Sejarawan Henri Cordier sebagai berikut,
Orang-orang barat dengan cara sepihak telah menyempitkan sejarah dunia dengan mengelompokkan pihak kecil yang mereka ketahui penyebaran ras manusianya berada di sekitar bangsa-bangsa Israel, Yunani dan Romawi. Jadi mereka telah mengabaikan semua musafir dan peneliti yang berlayar mengarungi Lautan Cina dan Samudra Hindia, atau melakukan perjalanan melintasi wilayah-wilayah luas di Asia Tengah sampai Teluk Persia. Sebenarnya, lebih sebagian bumi ini, memuat kebudayaan-kebudayaan yang berbeda dari kebudayaan-kebudayaan Yunani dan Romawi tanpa berkurang tingkat peradabannya. Tetapi kebudayaan-kebudayaan tersebut tetap tidak diketahui oleh mereka yang hanya menulis sejarah dunianya yang kecil, walaupun ada kesan bahwa mereka telah menulis sejarah dunia.[1]
Sebagai contoh, masih banyak sejarawan atau guru sejarah yang memaknai sejarah Indonesia sebagai sejarah local, bukan sejarah internasional. Seolah Indonesia bukan bagian dari dunia, dan tidak punya pengaruh apa-apa terhadap dinamika internasional. Ketidakpahaman ini menurut Ahmad Manshur Suryanegara disebabkan tidak ada kesadaran wilayah dalam pembentukan kesadaran sejarah suatu bangsa.[2] Padahal sejarah Indonesia sebagai peristiwa sejarah, terjadi pada ruang seluas seperenam lingkaran bumi. Jika diukur, luas seluruh provinsi di Indonesia lebih besar dari gabungan luas negara-negara Eropa. Wilayah Indonesia barat ke timur, yaitu dari Sabang sampai Merauke itu sama dengan panjang dari London ke Baghdad. Sedangkan dari utara ke selatan, yaitu Talaud sampai Pulau Rotee, sama panjangnya dengan Berlin hingga Aljazair. Kesadaran wilayah ini akan membantu kita memberi makna yang lebih kuat dan tepat pada kesadaran sejarah local kita dalam konstelasi sejarah internasional.
Selanjutnya dengan pendekatan multidimensional, sejarah local suatu wilayah menuntut untuk dibahas tanpa memisahkannya dengan sejarah-sejarah local yang lainnya. Karena tidak ada suatu bangsa atau kelompok masyarakat dapat terhindar dari kontak dengan bangsa atau kelompok lain, dan saling mempengaruhi. Sebagai contoh, bukankah sudah sejak sangat lama Eropa mengandalkan kebutuhan rempah-rempahnya dari Asia Tenggara khususnya Nusantara, lebih khususnya lagi, kepulauan Maluku? Yang mana Eropa memperolehnya dari para pedagang Arab yang mereka beli dengan mata uang Emas Byzantium yang emasnya mereka dapatkan juga dari Asia Timur.[3]

2. Ketergantungan dan Tantangan Ilmiyah Penulisan Ulang Sejarah Islam
Mengikut pandangan Henri Cordier, Barat seperti sengaja mengcilkan makna luas dan pentingnya peranan Timur. Dunia pemberitaan dari Barat tidak memberikan porsi yang benar terhadap peristiwa sejarah di wilayah Asia-Afrika. Anthony Smith, menjelaskan bagaimana upaya Barat mendominasi Timur dengan membuat rasio pemberitaan 96 persen untuk Barat dan menyisakan 4 persen untuk Timur. Ditambah lagi dengan mendistorsikan kebenarannya.[4]
Pada kasus Indonesia, sejarahnya masih memakai makna peninggalan penjajah Belanda yang cenderung menggambarkan Belanda dengan skala besar, dan sebaliknya mengecilkan gambaran Indonesia. Pengecilan ini masih terasa gemanya, sehingga penyebutan wilayah di luar Indonesia berarti global dan internasional. Sedangkan Indonesia seolah hanyalah suatu wilayah di sudut Asia.
Sejarawan Barat sangat giat dan bersemangat dalam penulisan sejarah Timur dan Islam, dengan berbagai motifnya. Dari mulai motif-motif ilmu pengetahuan semata sampai dengan motif-motif penjajahan bahkan motif-motif kristenisasi.[5] Untuk itu mereka sangat tekun dalam mengumpulkan dan membuat catatan-catatan data dan sumber sejarah. Suatu pekerjaan yang disayangkan Bung Karno tidak ada dalam kebiasaan ulama dan  da’i pelopor islamisasi Indonesia.[6] Sehingga sejarah Indonesia  (terutama sejarah Islam) lebih banyak ditulis berdasarkan sumber-sumber yang dibuat oleh lembaga-lembaga Asing yang menjajah Indonesia seperti EIC milik Inggris dan VOC milik Belanda.

DAFTAR PUSTAKA
Ross E. Dunn, Petualangan Ibnu Batutah, Seorang Musafir Muslim Abad ke 14, alih bahasa Amir Sutaarga, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1995.
Qassim Assamurai, Bukti-bukti Kebohongan Orientalis, alih bahasa Syuhudi Ismail dkk, Gema Insani Press, Jakarta, 1996.
Suryanegara, Ahmad Manshur, Menemukan Sejarah, Wacana Peregarakan Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, 1995.



[1] Ross E. Dunn, Petualangan Ibnu Batutah, Seorang Musafir Muslim Abad ke 14, alih bahasa Amir Sutaarga, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1995, hal.xxxv.
[2] Ahmad Manshur Suryanegara, Menemukan Sejarah, Wacana Peregarakan Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, 1995, hal.65.
[3] Qassim Assamurai, Bukti-bukti Kebohongan Orientalis, alih bahasa Syuhudi Ismail dkk, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hal. 42.
[4] Ahmad Manshur Suryanegara, op.cit,hal.67.
[5] Qasim Assamurai, op.cit, hal 138.
[6] Ahmad Manshur Suryanegara, op.cit, hal.73.

Teori Masuknya Islam ke Nusantara


Teori Gujarat. Dinamakan teori Gujarat karena pandangan teori ini yang menyebutkan asal Islam di Nusantara adalah Gujarat di India. Peletak dasar teori ini kemungkinan adalah Snouck Hurgronye. Snouck membangun teorinya berdasarkan hal-hal sebagai berikut : yang pertama kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam islamisasi Nusantara. yang kedua adanya hubungan perdagangan India dengan negeri-negeri di Nusantara yang cukup intens. yang terakhir inskripsi tertua yang berhasil ditemukannya di Sumatra memberikan gambaran hubungan Gujarat-Nusantara, yaitu batu Nisan Sultan Malik As Saleh, raja pertama kerajaan Samudra.

Beberapa Pendukung Teori Gujarat, antara lain:
W.F. Sutterheim, dalam  De Islam en Zijn Komst In de Archipel, mendasarkan pandangannya pada bukti batu nisan Sultan Malik As Saleh yang berangka tahun 1297. Sehingga menurutnya Islam masuk ke Nusantara pada abad ke 13. Nisan itu menurutnya bercorak hinduistis, memiliki kesamaan dengan yang ada di Gujarat. Selain itu ia juga berpendapat bahwa Islam tersebar melalui jalur perdagangan Nusantara – Cambay (Gujarat) – Timur Tengah – Eropa.

Bernard H.M. Vlekke, dalam  Nusantara, A History of Indonesia, berdasarkan keterangan Marco Polo yang pernah singgah di Sumatra pada 1292, yang menggambarkan situasi masyarakatnya yang beragama Islam. Ia juga menggunakan makam Sulatan Malik as Saleh untuk mendukug pendapatnya. Nisan itu diimpor dari Cambay yang merupakan pusat perdagangan Islam ketika itu. Di samping berkembangnya beberapa praktek mistik Islam yang menurutnya sama bentuknya dengan yang dipraktekkan di Cambay.  

Schrieke dalam Indonesian Sociological Studies, menggambarkan saling ketergantungan antara Malaka dengan Cambay. Cambay disebutnya adalah pusat rempah-rempah yang berasal dari Indonesia. Ia mendasarkan pendapatnya pada keterangan Ibnu Batutah yang pernah  ke Gujarat.

Clifford Geertz dalam The Religion of Java, juga menguatkan bahwa Islam di Indonesia berasal dari India. Perkembangan agama Islam menurutnya diwarnai ajaran Hindu-Budha. Bahkan juga praktek animism-dinamisme sebelum Hindu-Budha. Hal ini terjadi karena terputusnya hubungan Nusantara dengan pusat Islam seperti Mekkah atau Kairo. Hubungan ini baru terjadi lagi pada abad ke 19. Sekalipun demikian masyarakat Indonesia mayoritasnya tetap menjalankan praktek keagamaan yang diwarnai Hindu-Budha itu.

Harry J. Benda, dalam makalahnya, Kontinuitas dan Perubahan Islam di Indonesia, juga mendukung India sebagai sumber Islam Nusantara ketimbang Arab. Arab tidak melakukan mistik seperti India. Menurutnya jika Islam berdasarkan praktek yang biasa dilakukan di Arab, ia tidak akan mendapat tempat di Nusantara khususnya di Jawa. Islam baru bisa diterima masyarakat Nusantara setelah memantul dulu di India. Buktinya orang-orang Arab sudah lama tinggal di pantai-pantai Nusantara tapi baru pada abad  15 atau 16 Islam menjelma sebagai kekuatan politik dan budaya. Selain itu ia juga menyebutkan bahwa cara masyarakat Indonesia bertani dan berternak kerbau atau sapi merupakan pengaruh budaya India.
Teori Mekkah. Pembangun teori ini adalah Hamka. Hamka menolak pandangan yang menyebutkan Islam masuk ke Nusantara pada abad ke 13 dan berasal dari Gujarat. Ia lebih mendasarkan pendapatnya kepada peranan Arab sebagai pembawa Islam ketimbang India. Mekkah dan atau juga Mesir adalah sumber Islam Nusantara, karena luasnya pengaruh Madzhab Syafi’iy di Indonesia. Hamka juga menggunakan keterangan Ibnu Batutah yang berkunjung ke Gujarat. Tapi ia menemukan perbedaan Madzhab yang berkembang di Gujarat dengan di Nusantara. Di mana menurut Mohammad Said dalam Mencari Kepastian tentang Daerah, Mula dan Masuknya Islam di Indonesia, menyebutkan bahwa di Cambay (Gujarat) berkembang madzhab Syi’ah. Padahal pada sekitar tahun itu Cambay belum juga dikuasai Islam. Ia juga menolak bahwa abad ke 13 disebut sebagai waktu datangnya Islam ke Nusantara, karena pada abad itu telah ada kekuasaan politik Islam, jadi Islam pasti datang sebelum itu. Ia menyebutkan abad ke 7.
Ahmad Manshur Suryanegara menjelaskan, bahwa bangsa Arab telah berdagang di wilayah samudra Hindia sejak abad ke 2 sM. Ia mengemukakan fakta yang ditulis Thomas Walker Arnold dalam The Preching of Islam, A History of the Propagation of the Muslim Faith, bahwa bangsa Arab sejak abad ke 2 sebelum Masehi telah menguasai perdagangan di Ceylon (Srilanka). Menurut D.H. Burger dan Prajudi Atmosudirjo, dalam Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, bangsa India dan Cina baru mengadakan hubungan dengan Indonesia pada abad ke 1M, sedangkan hubungan Arab dengan Cina sudah sejak 500 sebelum Masehi, melalui jalur darat yaitu Jalur Sutera. Begitu pula menurut Ibrahim Tien Ying Ma dalam Perkembangan Islam di Tiongkok, bahkan sebagiannya telah menetap di Tiongkok. Para pedagang Arab itu pada umumnya melalui jalur laut menyusuri pesisir India dan Asia tenggara.  Sebagiannya menetap di Bandar-bandar sepanjang jalur itu, seperti Champa (Kamboja) dan Vietnam. Komoditi terpenting yang diperdagangkan adalah, sutera, porselin, obat-obatan, rempah-rempah, permata, wewangian, produk dari kaca dan lain-lain.
Pengaruh perdagangan bangsa Arab ini dapat dibuktikan dengan temuan tinggalan mata uang Arab di kota-kota Eropa dari abad ke 7 hingga 11 M. Mata uang tersebut ditemukan di Rusia, Finlandia, Swedia, Norwegia, Inggris dan pulau Es di utara. Henri Pirenne, seorang ilmuwan Belgia dalam Muhammad and Charlemagne, bahwa komoditas kertas dari Mesir, sutera dari Cina dan rempah-rempah dari Indonesia yang biasa dinikmati Eropa lenyap pada abad ke 7. Emas yang mereka gunakan untuk mencetak uang untuk membayar barang-barang itu juga hilang dari Eropa karena satu nama; Muhammad, yang khalifah-khalifahnya menaklukkan Suriah, Mesir, Afrika Utara dan Spanyol, sehingga terputuslah jaringan kehidupan Eropa secara tuntas. Sampai dengan penghujung abad ke 15 bangsa-bangsa Eropa hanya mengetahui bangsa-bangsa timur di perairan tengah saja. Mereka masih mengira laut lebih ke timur lagi adalah jurang laut, yang jika berlayar ke sana kapal akan jatuh, entah kemana.
J.C van Leur dalam Indonesia; Trade and Society, menyebutkan bahwa pada 674 telah ada koloni Arab Islam di pantai barat Sumatra. Dengan mempertimbangkan bahwa pada abad ke 4 bangsa Arab telah membangun koloni dagangnya di Kanton, yang mana pada 618 dan 626 mulai terdengar dipraktekkannya Islam pada koloni Kanton tersebut, dapatlah dijelskan pengaruhnya pada koloni-koloni Arab lainnya sepanjang jalur perdagangan itu. Selain itu van Leur menjelaskan bahwa Islam terlebih dahulu menjadi agama masyarakat sebelum akhirnya dikonversi oleh bupati atau adipati pesisir yang sebelumnya beragama Hindu atau Budha. Konversi ini perlu dilakukan para penguasa pesisir itu karena mulai datangnya penjelajah Eropa (Portugis) yang memamerkan keunggulan militer.
Uka Tjandra Sasmita dalam Proses Kedatangan Islam dan Munculnya Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh, mengungkapkan adanya batu makam yang lebih tua dari pada nisan Sultan Malik As Saleh. Yaitu makam yang memuat nama Fatimah binti Maymun bin Hibatullah yang angka tahun wafatnya 495H (1102M). Angka tahun ini lalu dikoreksi pembacaannya menjadi 475H (1082M). Ada juga makam yang dikenal dengan  Makam Tuan Makhdum di Barus, memuat nama Siti Tuhar Amisuri berangka tahun 602H. Di Samudra sendiri ada makam Al Malik Maulana Abdul Rahman Taj Al Daulah Quth Al Ma’Afi al Fasi, wafat Rabu Dzul Qo’dah 610H (1214M).
Uka juga menyebutkan adanya factor pelayaran dan perdagangan yang telah berlangsung sangat lama antara Arab – India (via Asia tenggara) – Cina, yang memungkinkan Islam datang ke Nusantara pada abad ke 7. Bangsa Arab mungkin adalah orang-orang pertama yang membuat peta pelayaran, (mungkin juga kompas?). Berdasarkan berita Cina pada zaman Dinasti T’ang, menceritakan bahwa orang-orang Ta Sheh telah mengurungkan niat menyerang kerajaan Ho Ling (Kalingga) yang diperintah Ratu Sima (674M). Itu berarti pada abad ke 7 orang orang Arab Muslim telah datang ke Indonesia dan menetap.  Ruben Levy dalam Social Structure of Islam, menyebutkan bahwa kekuatan Armada Laut Muawiyah bin Abu Soufyan pada  654-655M, sekitar 5.000 kapal perang.
Di samping peran pelaut Arab, Hamka juga menyebutkan bahwa bangsa Indonesia juga melakukan pelayaran untuk perdagangan maupun untuk keperluan belajar agama Islam. Factor ini tidak pernah diungkap oleh para sejarawan barat untuk menggambarkan betapa pasifnya bangsa Indonesia. Padahal kemampuan maritime bangsa Indonesia sudah terkenal mulai zaman Sriwijaya yang merupakan kerajaan yang bersifat maritime yaitu pada abad 4 masehi. Menurut Hamka, bangsa Indonesia sudah berlayar ke Cina, Hindustan, Laut Merah, Pantai Jeddah bahkan membangun negeri baru di Malagasi di kepulauan Madagaskar. Joesoef Sou’yb bahkan berani membuat teori Pelaut Indonesia menemukan Benua Amerika sebelum Columbus.
Teori Persia. Pembangun teori ini adalah Hoesein Djayadiningrat. Teori ini memfokuskan pembahasannya pada kesamaan budaya Islam masyarakat Indonesia dengan Persia. Yaitu:
Peringatan 10 Muharam atau Assyura sebagai hari peringatan Syi’ah atas terbunuhnya Hasan dan Husein bin Ali bin Abi Thalib. Di Minangkabau Muharram disebut bulan Hasan Husein. Di Sumatra bagian tengah disebut bulan Tabut, dirayakan dengan mengarak keranda Husein untuk dilarung ke sungai atau laut.
Kesamaan ajaran Syekh Siti Jenar dengan Al Hallaj, meskipun kedua tokoh ini berbeda zaman agak jauh, Al Hallaj hidup pada abad ke 9, Syekh Siti Jenar pada abad 16.
Penggunaan istilah Iran dalam system belajar mengeja huruf Al Qur’an. Misalnya, jabar-zabar (Persia) = fathah (Arab). Jer - ze-er = kasrah, p’es – py’es = dhommah.
Menguatkan Gujarat sebagai sumber Islam karena kesamaan batu nisan Malik as Saleh dan nisan Malik Ibrahim yang bergaya India.
Mengakui Madzhab Syafi’iy sebagai madzhab yang paling berpengaruh di Indonesia, tapi bukan berasal dari Mekkah melainkan dari Malabar.
Daftar Bahan Bacaan
A Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Kumpulan Prasaran Seminar Masuknya Islam di Indonesia di Aceh tahun 1978, Al Ma’arif, 1993.
Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah, Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, Penerbit Mizan, Bandung, 1995.
Ibrahim Tien Ying Ma, Perkembangan Islam di Tiongkok, Bulan Bintang, Jakarta, 1979.
Joesoef Sou’yb, Orientalisme dan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1986.
____________, Pelaut Indonesia menemukan Benua Amerika sebelum Ch. Columbus, Penerbit Rimbow, Medan, 1987.
Ross E. Dunn, Petualangan Ibnu Battuta, Seorang Musafir Muslim abad ke 14, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1995.
Thomas W. Arnold, Sejarah Da’wah Islam, terjemahan oleh Nawawi Rambe, Penerbit Widjaya, 1977.

Qassim Assamurai, Bukti-bukti Kebohongan Orientalis, Gema Insani Press, Jakarta, 1996.

Memaknai Pembaruan dalam Islam


حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْمَهْرِيُّ، أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ أَبِي أَيُّوبَ، عَنْ شَرَاحِيلَ بْنِ يَزِيدَ الْمُعَافِرِيِّ، عَنْ أَبِي عَلْقَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، فِيمَا أَعْلَمُ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا»

Abu Daud berkata: Telah menceritakan kepada kami Sulayman bin Daud al Mahry, bahwa Ibnu Wahab bertutur pada kami bahwa Sa’id bin Abu Ayyub telah menceritakan kepada kami dari Syarahil bin Yazid al Mu’arifyDari Abu Hurayrah dari Abu ‘Alqomah dari Abu Hurayrah – menurut yang kutahu – dari Rasulullah saw, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah membangkitkan bagi ummat ini pada tiap awal seratus tahun orang yang memperbaharui bagi mereka agama mereka”.

Tentang Hadits

Sanad Hadits Shahih dan rijalnya tsiqaat (terpercaya), dishahihkan banyak ulama hadits, antara lain:
  1. Imam Hakim dalam Al Mustadraknya, bab Al Fitan Juz IV halaman 522.
  2. Imam Bayhaqy dalam Ma’arifatus Sunan wal Atsar halaman 52.
  3. Imam Suyuthy dalam Jami’us Shagir
  4. Khatib Baghdadi dalam Tarikh Baghdad Juz II halaman 61.
  5. Syaikh Nashiruddin Albany dalam Silsilatush Shahihah no 599.
  6. Hadits ini berbicara mengenai hal-hal ghaib yang tidak dapat diketahui manusia, di mana Allah membukanya kepada siapa yang dikehehdakinya.

عالم الغيب فلا يظهر على غيبه أحدا. إلا من ارتضى من رسول فإنه يسلك من بين يديه ومن خلفه رصدا.
(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.(QS Al Jin 26-,27).

Imam Abu Daud menyebutnya denga al malahim, jamak dari malhamah , yaitu hal-hal yang akan terjadi nanti antara kaum muslimin dengan musuh-musuhnya. Biasanya dibahas bersamaan dengan al fitan dan asyratus sa’ah.

Masalah yang ditajdid
1. Manhaj Ilahiy, yaitu suatu undang-undang Ilahiy yang selaras dengan pilihan atau keinginan ummat manusia demi mewujudkan kemaslahatan hidup duniawi dan ukhrowi mereka. (Ibnu Khaldun).
2. Kondisi obyektif manusia dalam kaitannya dengan makna dien itu.

Makna Tajdid
Upaya mengembalikan sesuatu kepada keadaan semula sehingga ia tampil sebagai sesuatu yang baru. Dengan cara memperkokoh bagian yang lemah, memperbaiki yang usang atau menambal yang retak. Sehingga kembali  mendekati bentuknya yang semula. Jadi bukanlah tajdid itu merombak bentuk aslinya atau menggantinya dengan yang baru.

Cakupan Makna
1. Revivalisme, dari kata revival atau perubahan, Revivalisme merupakan gerakan kebangunan kembali. Revivalisme yang muncul adalah respon terhadap sekularisme. Seruan agar kembali kepada ajaran agama yang murni kembali digaungkan. Dalam tradisi barat revivalisme adalah respon terhadap sekularisme. Istilah revilvalisme dapat diartikan sebagai gerakan untuk membangkitkan/menghidupkan kembali perasaan keagamaan yang kukuh, pelaku revilvalisme disebut revivalis.
Dalam perbendaharaan bahasa Arab revivalisme kadang disamakan dengan gerakan tajdid yang berarti pembaruan gerakan tajdid ini adalah suatu proses dimana yang dengannya komunitas Muslim (ummat) menghidupkan kembali kerangka sosial, moral dan agama dengan kembali kepada dasar-dasar Islam yaitu al-qur’an dan al-sunnah. Komunitas Muslim dan komunitas-komunitas lain telah mengalami siklus maju mundur silih berganti yang diikuti oleh revitalisasi melalui cara reformasi moral, sosial internal. Sebagai pembatasan masalah disini adalah bagimana dakwah dilaksanakan dengan membangun kerangka berfikir/ tashawwur berlandaskan etika tanpa menghilangkan identitas sebagai muslim.

2.  Reaktualisasi. Dari sudut pandang etimologi, yang dimaksud dengan reaktualisasi adalah  re artinya kembali dan aktualisasi adalah pengaktualan, pelaksanaan hingga benar-benar ada (terwujud), perwujudannya. Dan yang dimaksud dengan reaktualisasi adalah pengaktualisasian kembali (bentuk/nilai kehidupan masyarakat) (Kamus Ilmiyah Modern). Sedangkan secara terminologis berarti proses, cara, perbuatan mengaktualisasikan kembali; penyegaran dan pembaruan nilai-nilai kehidupan masyarakat (KBBI). Muhammad Rasyid  Ridha (1865 – 1935), menyatakan bahwa persoalan – persoalan ubudiyah harus dimurnikan , sementara soal – soal muamalah, harus dikembangkan lewat kajian – kajian ijtihad agar tetap sesuai dengan dinamika kehidupan manusia.

3.   Revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya (KBBI). Sebenarnya revitalisasi berarti menjadikan sesuatu atau perbuatan menjadi vital. Sedangkan kata vital mempunyai arti sangat penting atau perlu sekali (untuk kehidupan dan sebagainya). Pengertian melalui bahasa lainnya revitalisasi bisa berarti proses, cara, dan atau perbuatan untuk menghidupkan atau menggiatkan kembali berbagai program kegiatan apapun. Atau lebih jelas revitalisasi itu adalah membangkitkan kembali vitalitas. Jadi, pengertian revitalisasi ini secara umum adalah usaha-usaha untuk menjadikan sesuatu itu menjadi penting dan perlu sekali.
Daftar Mujaddid yang pernah dibuat
  1. Khalifah Umar bin Abdul Aziz (wafat 101)
  2. Muhammad bin Idris Asy Syafi’iy (wafat 204)
  3. Abul Hasan Al ‘Asy’ari (wafat 324), Abul Abbas bin Surayj (wafat 306), Imam Nasa’iy (wafat 303)
  4. Qadhi Abu Bakar Al Baqilani (wafat 403), Abu Hamid Al Asyfirani (wafat 406)
  5. Abu Hamid Al Ghazali (wafat 505)
  6. Fakhruddin ar Razi (w 606), tetapi ada yang mengatakan mujaddid abad ke 6 adalah Imam Rafi’iy (wafat 623)
  7. Ibnu Daqieq al ‘Ied (wafat 703)
  8. Al Hafidzh Zaynuddin al ‘Iraqy (wafat 808), Sirajuddin Bulqini (w 805)
  9. Imam Jalaluddin as Suyuthy (wafat 911)


Tujuan hadits
  1. Agar kaum muslimin selalu optimis tentang kemurnian dan masa depan agama Islam. Bahwa agama Islam ini akan selalu terjaga keasliannya dengan lahirnya orang-orang yang berjasa dalam usaha mengaktualisasikan nilai-nilainya dalam masyarakat. Di setiap kurun, sampai akhir zaman.
  2. Maka setiap muslim harus beramal dengan sungguh-sungguh bagi kepentingan agama juga dunianya. Karena mujaddid itu dilahirkan, bukan dijatuhkan dari langit.



Pertanyaannya, bilakah bangkitnya seorang mujaddid?

Riya' dan Sum'ah

1. Memahami Riya’ 
Riya’ berasal dari kata ara’a (melihat) dan riya’un (memperlihatkan). Maka riya’ berarti memperlihatkan amal shalih kepada orang lain, atau memamerkan amal shalihnya kepada orang lain. Sedangkan secara istilah, riya’ berarti seorang muslim yang memperlihatkan atau memamerkan amal shalih yang diperbuatnya kepada orang-orang dengan pamrih di hadapan mereka, atau karena menghendaki martabat dan kedudukan di mata umum atau menghendaki harta dari mereka. Orang yang riya’ melakukan ibadah atau amalan bukan untuk mengharapkan keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala melainkan karena mengharapkan pujian dan penilaian dari manusia. Contohnya, mereka solat qobliah dan ba’diah di hadapan khalayak ramai saja tetapi apabila berada diluar ruang lingkup masyarakat mereka tidak mengerjakannya. Imam Al Ghazali menjelaskan bahwa pelaku riya’ menghias dirinya di hadapan hamba-hamba Allah, berpura-pura dan gembira dengan rasa hormat yang diraihnya dari manusia.
 إن المنافقين يخادعون الله وهو خادعهم وإذا قاموا إلى الصلاة قاموا كسالى يرآؤون الناس ولا يذكرون الله إلا قليلا 
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. (QS An Nisaa’ 142). 

Imam Ibnul Qayyim al Jauziyah menyatakan bahwa semua bentuk pamer adalah kemusyrikan. Siapa saja yang meniatkan amal perbuatannya selain karena Allah, atau berniat sesuatu bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, mengharapkan balasan selain dariNya, maka ia telah syirik dalam niatnya. Firman Allah,
 قل إنما أنا بشر مثلكم يوحى إلي أنما إلهكم إله واحد فمن كان يرجو لقاء ربه فليعمل عملا صالحا ولا يشرك بعبادة ربه أحدا 
Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya". (QS Al Kahfi 110) 

Yakni sebagaimana keyakinan bahwa Dia adalah Tuhan Yang Esa tiada tuhan yang lain, demikian halnya dengan ibadah, hanya kepadaNya semata. Sebagaimana Dia Esa dalam ketuhanan, seharusnya juga Esa dalam penyembahan kepadaNya, sehingga amal shalih adalah perbuatan yang terbebas dari pamer yang terikat dengan tuntunan sunnah. Umar bin Khatab ra berdo’a, 
 اللَّهُمَّ اجْعَلْ عَمَلِي كُلَّهُ صَالِحًا وَاجْعَلْهُ لِوَجْهِكَ خَالِصًا، وَلَا تَجْعَلْ لِأَحَدٍ فِيهِ شَيْئًا. 
“Ya Allah, jadikan semua amalku sebagai amal shalih, dan jadikan untuk keagunganMu sebagai amal yang shalih juga, dan jangan berikan ruang untuk siapa pun dalam ibadahku”. 

Sebuah sifat yang beriringan dengan riya’ adalah sum’ah. Sum’ah berasal dari kata samma’a (memperdengarkan). Yaitu memperdengarkan yang telah diamalkannya yang sebelumnya tersembunyi atau rahasia.
 من سمّع سمّع الله بهِ ومن يُرائِ يُرائِ الله به 
Barangsiapa memperdengarkan amalnya, Allah akan memperdengarkannya. Siapa yang memperlihatkan amalnya, Allah akan memperllihatkannya. 

Maksudnya jika orang yang beramal karena sum’ah dan riya’ Allah akan memperdengarkan dan memperlihatkannya seperti apa yang mereka kehendaki, karena amalnya bukan karena mengharapkan ridho Allah. Pelaku riya’ dan sum’ah memperlihatkan kepada orang banyak sesuatu yang dijadikannya sarana memperoleh kedudukan di hati mereka. 

2. Penyebab Riya dan Sum’ah 
Imam Al Ghazali menjelaskan bahwa pangkal dari sifat ini adalah kecintaan kepada kedudukan dan penghormatan, yang jika dilacak ia akan bermuara kepada tiga sifat yaitu ; lezatnya sanjungan, menghindar dari sakitnya celaan dan tamak terhadap apa yang ada di tangan orang lain. Maka orang yang riya’ sangat suka jika ada orang yang memujinya dan marah jika ada orang yang mencela atau mengkritiknya. Sedangkan sifat tamaknya akan membuatnya bakhil, baik dalam perbuatan maupun pemberian. Ia tidak mengerjakan sesuatu amal kecuali hanya untuk tidak dikatakan malas. Jika ia berada di antara orang-orang dermawan, ia cukup berinfak sekadarnya, hanya untuk menghindari dikatakan bakhil. 

3. Bahaya Riya’ dan Sum’ah 
Riya’ dapat menyebabkan keruhnya hati, terhalang dari mendapat taufiq dan hidayah, hilangnya kedudukan dan kehinaan yang besar, murka Allah dan siksa yang berat di akhirat. Allah adalah pemilik taufiq dan hidayah, dan menganugerahkannya kepada yang dikehendakiNya, yaitu orang-orang yang benar-benar lurus niatnya dalam beribadah. Apabila seseorang beramal karena riya’ dan sum’ah, sesungguhnya ia menghancurkan keikhlasannya, kesungguhan, kebaikan dan kejujurannya. Bagaimana mungkin ia akan mendapat hidayah Allah? Kemudian akan terbongkarlah suatu saat maksud-maksud hatinya di hadapan orang banyak sehingga bukan kedudukan dan penghormatan yang didapatnya melainkan cemooh dan penghinaan. Orang-orang akan berpaling darinya jika ia berbicara, sehingga hilanglah wibawanya. Selanjutnya, menurut Imam Ibnul Qayyim, kemusyrikan dalam ibadah akan membatalkan pahala, dan terkadang mendapatkan hukuman jika ibadah itu adalah yang wajib. Sebab ia dianggap tidak melakukannya, maka ia dihukum karena meninggalkan perintah. Sebab Allah hanya memerintahkannya untuk menyembahNya secara murni (ikhlas). 
 وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين حنفاء ويقيموا الصلاة ويؤتوا الزكاة وذلك دين القيمة 
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.(QS Al Bayyinah 5) 

Allah hanya menerima amal ibadah yang ikhlas dan menolak yang tidak ikhlas. Riya’ dan sum’ah membuat seseorang beribadah dengan tujuan yang terbagi, yaitu bagi dirinya dan bagi orang lain, bukan bagi Allah. Maka amalnya itu tertolak. Ia akan merugi karena yang tidak ada yang tersisa baginya sedikitpun pahala amalnya di sisi Allah. Maka dia tidak akan memperoleh balasan kecuali siksa yang pedih di akhirat kelak.
 وقدمنا إلى ما عملوا من عمل فجعلناه هباء منثورا 
Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.(QS Al Furqan 23) 

4. Terapi Riya’ dan Sum’ah 
Untuk mengobati penyakit ini Imam Al Ghazali menjelaskan dua maqam, yaitu yang pertama mencabut akar-akar penyebabnya dan menggusur pondasi-pondasinya. Untuk dapat melakukan hal ini orang perlu tahu tentang bahaya yang dikandungnya. Kemudian ia mengisi jiwanya dengan gambaran-gambaran kenikmatan di sisi Allah di akhirat nanti. Jika ia meyakininya dan berkonsentrasi untuk mendapatkannya maka akan ringanlah segala ukuran-ukuran yang berlaku di dunia. Sehingga ia tidak memerlukan lagi penilaian orang terhadapnya.
قل إنما أنا بشر مثلكم يوحى إلي أنما إلهكم إله واحد فمن كان يرجو لقاء ربه فليعمل عملا صالحا ولا يشرك بعبادة ربه أحدا 
Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya". (QS Al Kahfi 110) 

Maqam yang kedua adalah bersegera menolak hal yang ditimbulkan riya’ ketika beribadah. Gangguan riya’ dan sum’ah ini berlangsung terus menerus sepanjang hidup. Maka diperlukan upaya keras yang terus menerus untuk melawannya. Manusia harus selalu ingat bahwa riya’ ini selalu mengintainya. Begitu terasa godaannya ia harus segera memupusnya dari dalam hatinya. Imam al Ghazali menganjurkan untuk berlatih membiasakan dirinya menyembunyikan berbagai ibadah sampai ia betul-betul merasakan pengawasan Allah dalam ibadahnya. Tidak ada obat yang paling mujarab melawan riya’ kecuali menyembunyikan ibadah di hadapan makhluq. Ini adalah sesuatu yang berat pada awal mujahadah, tetapi jika ia bersabar tentu kesulitannya akan berkurang dan terasa mudah baginya dengan dukungan taufiq dan hidayah Allah.
 إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم 
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. QS Ar Ra’du 11)
 إن الله لا يضيع أجر المحسنين 
Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik,(QS At Taubah 120)
 إن الله لا يظلم مثقال ذرة وإن تك حسنة يضاعفها ويؤت من لدنه أجرا عظيما 
Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.(QS An Nisaa 40) 

 DAFTAR PUSTAKA 
Ibnul Qayyim al Jauziyah, Al Jawab al Kafi liman Sa’ala ‘an ad Dawa’ asy Syafi, Daarul Ma’rifah, Maroko, 1997. 
Ibnul Qayyim al Jauziyah, Al Jawab al Kafi liman Sa’ala ‘an ad Dawa’ asy Syafi, alih bahasa Futuhal Arifin, Gema Madinah Makkah Pustaka, Jakarta, 2007. 
Imam Abu Hamid Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, Daar al Ma’rifah Beyrut, tt. Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al Bukhari al Ja’fiy, Shahih Bukhari, Daar Thuqo an Najah,2001. 
Muhammad bin Mukaram bin Ali, Abul Fadhil, Jamaluddin Ibnul Manzhur, Lisaanul Arab, Daar ash Shaddr, Beyrut, 1414H. 
Sa’id Hawwa, Mensucikan Jiwa, Intisari Ihya’ Ulumuddin, alih bahasa Aunur Rafiq Saleh Tamhid, Robbani Press, Jakarta,2001. 
Sayyid Muhammad Nuh, Terapi Mental Aktivis Harakah, Telaah atas penyakit mental dan social kontemporer para da’iy, alih bahasa As’ad Yasin dan Salim Bazemool, Pustaka Mantiq, Solo,1995.