Teori Gujarat. Dinamakan teori
Gujarat karena pandangan teori ini yang menyebutkan asal Islam di Nusantara
adalah Gujarat di India. Peletak dasar teori ini kemungkinan adalah Snouck
Hurgronye. Snouck membangun teorinya berdasarkan hal-hal sebagai berikut : yang pertama kurangnya fakta yang
menjelaskan peranan bangsa Arab dalam islamisasi Nusantara. yang kedua adanya hubungan perdagangan India
dengan negeri-negeri di Nusantara yang cukup intens. yang terakhir inskripsi tertua yang
berhasil ditemukannya di Sumatra memberikan gambaran hubungan
Gujarat-Nusantara, yaitu batu Nisan Sultan Malik As Saleh, raja pertama
kerajaan Samudra.
Beberapa Pendukung Teori Gujarat, antara lain:
W.F. Sutterheim, dalam De Islam en Zijn Komst In de Archipel, mendasarkan
pandangannya pada bukti batu nisan Sultan Malik As Saleh yang berangka tahun
1297. Sehingga menurutnya Islam masuk ke Nusantara pada abad ke 13. Nisan itu
menurutnya bercorak hinduistis, memiliki kesamaan dengan yang ada di Gujarat.
Selain itu ia juga berpendapat bahwa Islam tersebar melalui jalur perdagangan
Nusantara – Cambay (Gujarat) – Timur Tengah – Eropa.
Bernard H.M. Vlekke, dalam Nusantara, A History of Indonesia, berdasarkan
keterangan Marco Polo yang pernah singgah di Sumatra pada 1292, yang
menggambarkan situasi masyarakatnya yang beragama Islam. Ia juga menggunakan
makam Sulatan Malik as Saleh untuk mendukug pendapatnya. Nisan itu diimpor dari
Cambay yang merupakan pusat perdagangan Islam ketika itu. Di samping
berkembangnya beberapa praktek mistik Islam yang menurutnya sama bentuknya
dengan yang dipraktekkan di Cambay.
Schrieke dalam Indonesian
Sociological Studies, menggambarkan saling ketergantungan antara Malaka
dengan Cambay. Cambay disebutnya adalah pusat rempah-rempah yang berasal dari
Indonesia. Ia mendasarkan pendapatnya pada keterangan Ibnu Batutah yang
pernah ke Gujarat.
Clifford Geertz dalam The
Religion of Java, juga menguatkan bahwa Islam di Indonesia berasal dari
India. Perkembangan agama Islam menurutnya diwarnai ajaran Hindu-Budha. Bahkan
juga praktek animism-dinamisme sebelum Hindu-Budha. Hal ini terjadi karena
terputusnya hubungan Nusantara dengan pusat Islam seperti Mekkah atau Kairo.
Hubungan ini baru terjadi lagi pada abad ke 19. Sekalipun demikian masyarakat
Indonesia mayoritasnya tetap menjalankan praktek keagamaan yang diwarnai
Hindu-Budha itu.
Harry J. Benda, dalam
makalahnya, Kontinuitas dan Perubahan Islam di Indonesia, juga mendukung India
sebagai sumber Islam Nusantara ketimbang Arab. Arab tidak melakukan mistik
seperti India. Menurutnya jika Islam berdasarkan praktek yang biasa dilakukan
di Arab, ia tidak akan mendapat tempat di Nusantara khususnya di Jawa. Islam
baru bisa diterima masyarakat Nusantara setelah memantul dulu di India.
Buktinya orang-orang Arab sudah lama tinggal di pantai-pantai Nusantara tapi
baru pada abad 15 atau 16 Islam menjelma
sebagai kekuatan politik dan budaya. Selain itu ia juga menyebutkan bahwa cara
masyarakat Indonesia bertani dan berternak kerbau atau sapi merupakan pengaruh
budaya India.
Teori
Mekkah. Pembangun teori ini adalah Hamka. Hamka menolak pandangan yang
menyebutkan Islam masuk ke Nusantara pada abad ke 13 dan berasal dari Gujarat.
Ia lebih mendasarkan pendapatnya kepada peranan Arab sebagai pembawa Islam
ketimbang India. Mekkah dan atau juga Mesir adalah sumber Islam Nusantara,
karena luasnya pengaruh Madzhab Syafi’iy di Indonesia. Hamka juga menggunakan
keterangan Ibnu Batutah yang berkunjung ke Gujarat. Tapi ia menemukan perbedaan
Madzhab yang berkembang di Gujarat dengan di Nusantara. Di mana menurut
Mohammad Said dalam Mencari Kepastian tentang Daerah, Mula dan Masuknya
Islam di Indonesia, menyebutkan bahwa di Cambay (Gujarat) berkembang
madzhab Syi’ah. Padahal pada sekitar tahun itu Cambay belum juga dikuasai
Islam. Ia juga menolak bahwa abad ke 13 disebut sebagai waktu datangnya Islam
ke Nusantara, karena pada abad itu telah ada kekuasaan politik Islam, jadi
Islam pasti datang sebelum itu. Ia menyebutkan abad ke 7.
Ahmad
Manshur Suryanegara menjelaskan, bahwa bangsa Arab telah berdagang di wilayah
samudra Hindia sejak abad ke 2 sM. Ia mengemukakan fakta yang ditulis Thomas
Walker Arnold dalam The Preching of Islam, A History of the Propagation of
the Muslim Faith, bahwa bangsa Arab sejak abad ke 2 sebelum Masehi telah
menguasai perdagangan di Ceylon (Srilanka). Menurut D.H. Burger dan Prajudi
Atmosudirjo, dalam Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, bangsa India
dan Cina baru mengadakan hubungan dengan Indonesia pada abad ke 1M, sedangkan
hubungan Arab dengan Cina sudah sejak 500 sebelum Masehi, melalui jalur darat
yaitu Jalur Sutera. Begitu pula menurut Ibrahim Tien Ying Ma dalam Perkembangan
Islam di Tiongkok, bahkan sebagiannya telah menetap di Tiongkok. Para
pedagang Arab itu pada umumnya melalui jalur laut menyusuri pesisir India dan Asia
tenggara. Sebagiannya menetap di
Bandar-bandar sepanjang jalur itu, seperti Champa (Kamboja) dan Vietnam.
Komoditi terpenting yang diperdagangkan adalah, sutera, porselin, obat-obatan,
rempah-rempah, permata, wewangian, produk dari kaca dan lain-lain.
Pengaruh
perdagangan bangsa Arab ini dapat dibuktikan dengan temuan tinggalan mata uang
Arab di kota-kota Eropa dari abad ke 7 hingga 11 M. Mata uang tersebut
ditemukan di Rusia, Finlandia, Swedia, Norwegia, Inggris dan pulau Es di utara.
Henri Pirenne, seorang ilmuwan Belgia dalam Muhammad and Charlemagne, bahwa
komoditas kertas dari Mesir, sutera dari Cina dan rempah-rempah dari Indonesia
yang biasa dinikmati Eropa lenyap pada abad ke 7. Emas yang mereka gunakan
untuk mencetak uang untuk membayar barang-barang itu juga hilang dari Eropa
karena satu nama; Muhammad, yang khalifah-khalifahnya menaklukkan Suriah,
Mesir, Afrika Utara dan Spanyol, sehingga terputuslah jaringan kehidupan Eropa
secara tuntas. Sampai dengan penghujung abad ke 15 bangsa-bangsa Eropa hanya
mengetahui bangsa-bangsa timur di perairan tengah saja. Mereka masih mengira
laut lebih ke timur lagi adalah jurang laut, yang jika berlayar ke sana kapal
akan jatuh, entah kemana.
J.C
van Leur dalam Indonesia; Trade and Society, menyebutkan bahwa pada 674
telah ada koloni Arab Islam di pantai barat Sumatra. Dengan mempertimbangkan
bahwa pada abad ke 4 bangsa Arab telah membangun koloni dagangnya di Kanton,
yang mana pada 618 dan 626 mulai terdengar dipraktekkannya Islam pada koloni
Kanton tersebut, dapatlah dijelskan pengaruhnya pada koloni-koloni Arab lainnya
sepanjang jalur perdagangan itu. Selain itu van Leur menjelaskan bahwa Islam
terlebih dahulu menjadi agama masyarakat sebelum akhirnya dikonversi oleh
bupati atau adipati pesisir yang sebelumnya beragama Hindu atau Budha. Konversi
ini perlu dilakukan para penguasa pesisir itu karena mulai datangnya penjelajah
Eropa (Portugis) yang memamerkan keunggulan militer.
Uka
Tjandra Sasmita dalam Proses Kedatangan Islam dan Munculnya
Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh, mengungkapkan adanya batu makam yang lebih
tua dari pada nisan Sultan Malik As Saleh. Yaitu makam yang memuat nama Fatimah
binti Maymun bin Hibatullah yang angka tahun wafatnya 495H (1102M). Angka tahun
ini lalu dikoreksi pembacaannya menjadi 475H (1082M). Ada juga makam yang
dikenal dengan Makam Tuan Makhdum di
Barus, memuat nama Siti Tuhar Amisuri berangka tahun 602H. Di Samudra sendiri
ada makam Al Malik Maulana Abdul Rahman Taj Al Daulah Quth Al Ma’Afi al Fasi,
wafat Rabu Dzul Qo’dah 610H (1214M).
Uka
juga menyebutkan adanya factor pelayaran dan perdagangan yang telah berlangsung
sangat lama antara Arab – India (via Asia tenggara) – Cina, yang memungkinkan
Islam datang ke Nusantara pada abad ke 7. Bangsa Arab mungkin adalah
orang-orang pertama yang membuat peta pelayaran, (mungkin juga kompas?).
Berdasarkan berita Cina pada zaman Dinasti T’ang, menceritakan bahwa
orang-orang Ta Sheh telah mengurungkan niat menyerang kerajaan Ho Ling
(Kalingga) yang diperintah Ratu Sima (674M). Itu berarti pada abad ke 7 orang
orang Arab Muslim telah datang ke Indonesia dan menetap. Ruben Levy dalam Social Structure of Islam,
menyebutkan bahwa kekuatan Armada Laut Muawiyah bin Abu Soufyan pada 654-655M, sekitar 5.000 kapal perang.
Di samping peran pelaut Arab, Hamka juga menyebutkan bahwa
bangsa Indonesia juga melakukan pelayaran untuk perdagangan maupun untuk
keperluan belajar agama Islam. Factor ini tidak pernah diungkap oleh para
sejarawan barat untuk menggambarkan betapa pasifnya bangsa Indonesia. Padahal kemampuan
maritime bangsa Indonesia sudah terkenal mulai zaman Sriwijaya yang merupakan
kerajaan yang bersifat maritime yaitu pada abad 4 masehi. Menurut Hamka, bangsa
Indonesia sudah berlayar ke Cina, Hindustan, Laut Merah, Pantai Jeddah bahkan
membangun negeri baru di Malagasi di kepulauan Madagaskar. Joesoef Sou’yb
bahkan berani membuat teori Pelaut Indonesia menemukan Benua Amerika sebelum
Columbus.
Teori
Persia. Pembangun teori ini adalah Hoesein Djayadiningrat. Teori ini
memfokuskan pembahasannya pada kesamaan budaya Islam masyarakat Indonesia
dengan Persia. Yaitu:
Peringatan 10 Muharam atau
Assyura sebagai hari peringatan Syi’ah atas terbunuhnya Hasan dan Husein bin
Ali bin Abi Thalib. Di Minangkabau Muharram disebut bulan Hasan Husein. Di
Sumatra bagian tengah disebut bulan Tabut, dirayakan dengan mengarak keranda
Husein untuk dilarung ke sungai atau laut.
Kesamaan ajaran Syekh Siti Jenar
dengan Al Hallaj, meskipun kedua tokoh ini berbeda zaman agak jauh, Al Hallaj
hidup pada abad ke 9, Syekh Siti Jenar pada abad 16.
Penggunaan istilah Iran
dalam system belajar mengeja huruf Al Qur’an. Misalnya, jabar-zabar (Persia)
= fathah (Arab). Jer - ze-er = kasrah, p’es – py’es = dhommah.
Menguatkan Gujarat sebagai
sumber Islam karena kesamaan batu nisan Malik as Saleh dan nisan Malik Ibrahim
yang bergaya India.
Mengakui Madzhab Syafi’iy
sebagai madzhab yang paling berpengaruh di Indonesia, tapi bukan berasal dari
Mekkah melainkan dari Malabar.
Daftar
Bahan Bacaan
A Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di
Indonesia, Kumpulan Prasaran Seminar Masuknya Islam di Indonesia di Aceh tahun
1978, Al Ma’arif, 1993.
Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah, Wacana
Pergerakan Islam di Indonesia, Penerbit Mizan, Bandung, 1995.
Ibrahim Tien Ying Ma, Perkembangan Islam di Tiongkok,
Bulan Bintang, Jakarta, 1979.
Joesoef Sou’yb, Orientalisme dan Islam, Bulan
Bintang, Jakarta, 1986.
____________, Pelaut Indonesia menemukan Benua Amerika
sebelum Ch. Columbus, Penerbit Rimbow, Medan, 1987.
Ross E. Dunn, Petualangan Ibnu Battuta, Seorang
Musafir Muslim abad ke 14, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,
1995.
Thomas W. Arnold, Sejarah Da’wah Islam, terjemahan
oleh Nawawi Rambe, Penerbit Widjaya, 1977.
Qassim Assamurai, Bukti-bukti Kebohongan Orientalis,
Gema Insani Press, Jakarta, 1996.