Oleh wahyu bhekti prasojo
Amar ma’ruf nahy munkar adalah memerintahkan semua kebaikan yang ada dalam syari’at. Ia adalah tugas utama para nabi dan rasul sejak Adam as, sampai Muhammad saw. Imam Al Ghazali meyebutnya sebagai bagian terbesar dari agama.
Allah swt berfirman dalam Surah Ali Imran ayat 104.
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh dengan cara yang makruf dan mencegah kemunkaran; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali Imran [3]:104).
كنتم خير أمة أخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر وتؤمنون بالله ولو آمن أهل الكتاب لكان خيرا لهم منهم المؤمنون وأكثرهم الفاسقون
Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS Ali Imran[3] : 110)
Dari sekian banyak sarana dakwah yang diketahui, amar ma’ruf nahy munkar adalah sarana terbesarnya. Meyuruh manusia, memandu dan membimbing mereka kepada perbuatan yang seharusnya ia lakukan, mencegah mereka dari hal-hal yang seharusnya dijauhi. Ia adalah perjuangan untuk melindungi kemanusiaan dari kehinaan, kebinasaan dan kepunahan. Diriwayatkan dari sahabat Nabi, Nu’man bin Basyir ra, bahwa beliau saw bersabda,
" مَثَلُ القَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالوَاقِعِ فِيهَا، كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ، فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلاَهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا، فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ المَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ، فَقَالُوا: لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا، فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا، وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا، وَنَجَوْا جَمِيعًا "
Artinya, “Perumpamaan orang yang melanggar aturan Allah dengan orang yang menegakkannya adalah seperti suatu kaum yang berada di atas kapal, sebagian di atas dan sebagian lagi di bawah. Ketika orang-orang di bagian bawah ingin mengambi air, mereka haus melewati orang-orang di bagian atas. Mereka lalu berkata, ‘Kita lubangi saja bagian bawah ini sehingga kita tak perlu mengganggu orang-orang di atas kita.’ Jika mereka itu dibiarkan dengan keinginan mereka, semuanya akan binasa; jika dilarang, semuanya akan selamat.” (HR. Bukhary)
Maka kebinasaan ummat manusia dan kemanusiaan sesungguhnya adalah akibat kelalaian manusia itu sendiri. Dari Hudzayfah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda,
«وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ المُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُونَهُ فَلَا يُسْتَجَابُ لَكُمْ»
Artinya, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh kalian harus menyuruh yang ma’ruf dan harus mencegah dari yang munkar atau segera Allah kirimkan azabnya atasmu, kemudian ketika kalian berdo’a, tidak dikabulkan doa kalian itu.” (HR. At Tirmidzy)
Tuesday, November 28, 2017
Thursday, November 16, 2017
HAK DAN KEBEBASAN MANUSIA MENURUT AL QUR’AN
Allah swt berfirman dalam
surat Al Kahfi ayat 29.
وقل الحق من ربكم فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر إنا أعتدنا للظالمين
نارا أحاط بهم سرادقها وإن يستغيثوا يغاثوا بماء كالمهل يشوي الوجوه بئس الشراب وساءت
مرتفقا
Allah Swt berfirman: “Dan katakanlah:
“Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barang siapa yang ingin (beriman)
hendaklah ia beriman, dan barang siapa ingin (kafir) biarlah ia kafir.”
Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang
gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan
diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka.
Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (Qs. Al-Kahfi [18]
: 29)
Maksudnya adalah Allah
Swt menurunkan ayat tersebut, yang memerintahkan Nabi untuk mengumumkan bahwa
kebenaran adalah milik-Nya, lalu mengatakan kepada orang-orang kafir yang
tenggelam pada kenikmatan dunia bahwa kebenaran adalah milik Tuhan dan
dari-Nya, barang siapa yang ingin beriman maka akan beriman dan barang siapa
ingin kafir maka ia akan kafir. [1]
Imam Al Maraghy
menambahkan bahwa kebenaran dari Tuhan itu wajib bagi manusia untuk
mengikutinya dan mengamalkannya, maka siapa yang mau beriman dengannya dan
masuk kedalam golongan orang beriman, dan tidak terjebak dengan hal-hal yang
tidak berguna baginya dan menjadi penyelamat baginya, maka ia bebas
melakukannya.[2]
Adapun orang yang ingin mengingkarinya dan membelakanginya, maka urusannya
diserahkan kepada Allah, dan tidak menjadi tanggung jawab Nabi Muhammad untuk
membuat mereka mengikuti kebenaran, dan beriman kepada Allah dan apa yang
diturunkan kepada beliau.[3]
Kekufuran mereka tidak
akan membahayakan bagi Allah dan iman mereka pun tidak akan memberi manfaat
buat Allah. Karena iman dan pahalanya serta kufur dan siksanya semua itu
kembali kepada diri mereka sendiri. Oleh itu apapun yang mereka mau harus
mereka pilih.
«إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ
لِأَنْفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَها» .
Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu
sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri, (QS Al
Isra’ [17]: 7)
Mereka
bebas memilih, karena akibat dibelakang hari telah diperingatkan Allah pada
penggalan ayat selanjutnya, Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi
orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka…dan
seterusnya.
Sa’id Hawwa menjelaskan bahwa
manusia bebas memilih apa yang dikehendaki untuk dirinya, apakah mau mengambil
jalan menuju keselamatan atau memilih jalan menuju kehancuran. Kemudian Allah
kemukakan ancaman bagi orang yang memilih kekufuran yaitu neraka dengan api
yang bergejolak.[4]
Di sinilah berlaku apa
yang disebut sebagai teori peran. Teori peran adalah analogi perilaku manusia
dalam masyarakat seperti actor yang memerankan suatu karakter dalam theater.
Perilaku yang diharapkan dari seseorang tidak berdiri sendiri melainkan selalu
terkait dengan perilaku orang-orang lain yang berhubungan.[5]
Teori ini memandang bahwa semua manusia telah ditentukan perannya
masing-masing. Maka setiap orang diharapkan melaksanakan perannya dengan baik,
agar kehidupan berjalan dengan baik.
Harapan agar setiap orang menjalankan perannya dengan baik
itu melahirkan norma.[6] Perwujudan
peran ditimbang dengan norma-norma yang berlaku, maka lahirlah penilaian dan
sanksi.[7]
Penilaian dan sanksi didasarkan pada harapan tentang norma yang ditimbul
sebagai hasil komunikasi yang terbuka. Jika norma, penilaian dan sanksi ini
telah meresap kedalam diri setiap individu ia berubah menjadi nilai (values)
yang mengatur perwujudan perannya.[8] Selanjutnya jika nilai dan sanksi atas perilaku yang
sesuai ataupun menyimpang dari norma telah diketahui bersama, maka setiap orang
bertanggungjawab atas perilakunya masing-masing.
[1]
Ibnu Katsir, op.cit, Juz 5, hal. 139.
[2]
Imam Al Maraghy, op.cit, Juz 15, hal. 143.
[3]
Imam Al Maraghy, ibid, Juz 15, hal. 143.
[4]
Said Hawwa, Al-Asas fi at Tafsir, Darussalam, Mesir,
1993 M/ 1414 H), Jilid 6, hlm 3175-3176.
[5]
Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-teori Psikologi Sosial, Rajawali Press,
Jakarta, 1984, hal.234.
[6]
Sarlito Wirawan Sarwono, ibid, hal.236.
[7]
Sarlito Wirawan Sarwono, ibid, hal.237.
[8]
Sarlito Wirawan Sarwono, ibid, hal.241.
Tuesday, November 14, 2017
Batalyon[1] Malaikat di Pertempuran Badar
oleh Wahyu
Bhekti Prasojo
Beberapa saat menjelang pertempuran di Badar, Rasulullah berdiri di
hadapan pasukannya untuk mengatur barisan. Setelah melihat perbandingan jumlah
pasukannya dengan pasukan Quraisy, Nabi saw kembali ke kemahnya, kemudian
menghadapkan wajahnya kearah kiblat dan dengan seluruh jiwanya beliau menyeru
mengharap kepada Allah. Tenggelam dalam do’anya beliau berbisik:
“Yaa Allah,
saat ini Quraisy telah datang dengan segala keangkuhan. Mereka berusaha mendustakan
RasulMu. Yaa Allah, aku memohon pertolongan yang telah engkau janjikan
kepadaku. Yaa Allah, jika hancur pasukan(ku) ini maka setelah itu tidak ada
lagi yang akan beribadah kepadaMu.”[2]
Maka
Allah mengabulkan permohonan RasulNya dengan mengirimkan bala tentara Malaikat untuk
berperang bersama kaum muslimin.
Peristiwa ini diceritakan dalam AlQur’an surat Al anfal ayat ke 9
dan 10. Allah Ta'ala berfirman:
إِذۡ تَسۡتَغِيثُونَ رَبَّكُمۡ فَٱسۡتَجَابَ لَكُمۡ
أَنِّي مُمِدُّكُم بِأَلۡفٖ مِّنَ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ مُرۡدِفِينَ ٩ وَمَا جَعَلَهُ
ٱللَّهُ إِلَّا بُشۡرَىٰ وَلِتَطۡمَئِنَّ بِهِۦ قُلُوبُكُمۡۚ وَمَا ٱلنَّصۡرُ
إِلَّا مِنۡ عِندِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ ١٠
“(ingatlah),
ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu:
"Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu
Malaikat yang datang berturut-turut". Dan Allah tidak menjadikannya
(mengirim bala bantuan itu), melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu
menjadi tenteram karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Alloh.
Sesungguhnya Alloh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(QS. Al Anfal: 9-10)
Umar Ibnul
Khaththab ra. mengisahkan situasi menjelang pertempuran dalam sebuah riwayat
yang disampaikan Imam Ahmad, sebagai berikut:
“Pada hari
perang Badar, Nabi saw. memandang kepada para sahabatnya dan mereka terdiri
dari tiga ratus orang lebih, memandang kepada orang-orang musyrik, ternyata mereka
lebih dari seribu orang, maka Nabi menghadap kiblat dan beliau memakai
selendang dan sarung, kemudian beliau bersabda: “Ya Allah, penuhilah apa yang
Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, jika kelompok ini binasa, niscaya Engkau
tidak akan disembah lagi di bumi.”
“Rasulullah
terus-menerus memohon pertolongan kepada Rabbnya dan berdo’a kepada-Nya hingga
selendangnya terjatuh dari pundaknya, maka Abu Bakar mengambil selendang itu,
lalu memakaikannya kepada Nabi dan mendekapnya dari belakang, lalu berkata:
“Wahai Nabi Allah, cukuplah permohonanmu kepada Rabbmu, sesungguhnya Dia akan
memenuhi apa yang telah dijanjikan-Nya kepadamu, lalu Allah menurunkan
firman-Nya: Idz tastaghitsuuna rabbakum fastajaaba lakum annii mumiddukum
bi-alfim minal malaa-ikati murdifiin (“[Ingatlah] ketika kamil memohon
pertolongan kepada Rabbmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: ‘Sesungguhnya Aku
akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu Malaikat yang datang
bertutut-turut.’)[3]
Al-Bukhari juga
meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas rodhiyallohu ‘anhuma, ia berkata bahwasanya
Rasulullah shollallahu ‘alayhi wa sallam berdo’a ketika perang badar:
اللهُمَّ
أَنْشُدُكَ عَهْدَكَ وَوَعْدَكَ، اللهُمَّ! إِنْ شِئْتَ لَمْ تُعْبَدْ[4]
“Ya
Allah, Aku memohon kepada-Mu penuhilah janji-Mu. Ya Allah, jika engkau
menghendaki, maka Engkau tidak diibadahi lagi.”
Kaum muslimin
mendengar munajat Rasulullah itu, kemudian mulai juga bermunajat:
يا غياث
المغيث أغِثنَا وَانصُرنَا علىَ عَدُوكَ
Allah
mengabulkan do’a mereka dan Dia turunkan ribuan malaikat untuk membantu mereka
mengalahkan musuh. Setelah bernunajat, Rasulullah tertidur sejenak, kemudian
mengangkat kepalanya seraya berkata: “Hai Abu Bakar, bergembiralah, petolongan
Allah telah datang kepadamu. Itu Jibril di bawah hamburan debu.” Dalam riwayat
Ibnu Ishaq; “Itulah Jibril memegang tali kekang kudanya di atas hamburan debu.”[6]
Kemudian beliau
bangkit menuju musuh seraya membacakan Ayat :
Golongan
itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang. (AlQomar 45).[7]
Kemudian beliau mengambil segengggam
pasir dan melemparkannya kea rah pasukan Quraisy sambil berkata, “Hancurlah
wajah mereka”. Tidak seorangpun dari mereka kecuali terkana lemparan
tersebut pada mata, hidung dan mulutnya.[8]
Ali bin Abu Thalib berkata, Jibril turun bersama 1000 malaikat dan
bergabng dengan sayap kanan pasukan Rasulullah di mana Abu Bakar berada, dan
Mikail turun dengan 1000 malaikat dan bergabung dengan sayap kiri pasukan di
mana aku berada.[9]
Bersama Jibril itu ada seribu Malaikat yang datang berturut-turut.
Yakni datang dengan silih berganti, sebagaimana yang dikatakan oleh Harun bin
Hubairah dari Ibnu ‘Abbas rodhiyallohu ‘anhuma مُرْدِفِيْنَ yaitu mutatabi’in’ (silih berganti atau susul
menyusul atau terus berkelanjutan tanpa terputus). Maksudnya, sebagian mereka
berada di belakang sebagian lainnya. Mungkin juga yang dimaksud murdifiin
adalah mereka berada belakang kalian, maksudnya, sebagai bantuan kepada kalian.[10]
Sementara Mubarakfury mengartikannya sebagai datang secara silih berganti,
tidak sekaligus.[11]
Menurut Mustafa AsSiba’iy, pada peperangan inilah turun ayat
123 sampai 127 surat Ali Imran.[12]
ولقد نصركم الله ببدر وأنتم أذلة فاتقوا الله لعلكم
تشكرون إذ تقول للمؤمنين ألن يكفيكم أن يمدكم ربكم بثلاثة آلاف من الملآئكة منزلين
بلى إن تصبروا وتتقوا ويأتوكم من فورهم هذا يمددكم ربكم بخمسة آلاف من الملآئكة
مسومين وما جعله الله إلا بشرى لكم ولتطمئن قلوبكم به وما النصر إلا من عند الله
العزيز الحكيم ليقطع طرفا من الذين كفروا أو يكبتهم فينقلبوا خآئبين
Sungguh
Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika
itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu
mensyukuri-Nya. (Ingatlah), ketika kamu mengatakan kepada orang mukmin:
"Apakah tidak cukup bagi kamu Allah membantu kamu dengan tiga ribu
malaikat yang diturunkan (dari langit)?" ya (cukup), jika kamu bersabar
dan bertakwa dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya
Allah menolong kamu dengan lima ribu Malaikat yang memakai tanda. Dan Allah
tidak menjadikan pemberian bala-bantuan itu melainkan sebagai kabar gembira
bagi (kemenangan) mu, dan agar tenteram hatimu karenanya. Dan kemenanganmu itu
hanyalah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Allah menolong kamu
dalam perang Badar dan memberi bala bantuan itu) untuk membinasakan segolongan
orang-orang yang kafir, atau untuk menjadikan mereka hina, lalu mereka kembali
dengan tiada memperoleh apa-apa.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa dengan demikian jumlah malaikat yang
diturunkan Allah pada peperangan ini bukanlah hanya seribu, melainkan susul
menyusul -- sebagaimana yang difahami dari surat Ali Imran di atas-- sehingga
mencapai jumah 5000 tentara.[13]
Abu Ja’far athThabari mengisahkan “Tatkala seseorang dari kaum
muslimin sedang bersungguh-sungguh (melawan) orang musyrik yang ada
dihadapannya, tiba-tiba ia mendengar suara lecutan cambuk di atasnya dan suara
penunggang kuda yang berkata: ‘Majulah haizum,’ tiba-tiba ia melihat lawannya
telah mati terkapar dihadapannya. Kemudian ia melihatnya dari dekat, ternyata
hidungnya telah terpukul dan wajahnya terbelah, seperti pukulan cambuk, mukanya
menjadi lebam (bekas pukulan), padahal ia yakin ayunan pedangnya belum menganai
sasarannya.[14]
Maka pada hari di saat mereka berhadapan, Allah mengalahkan
orang-orang musyrik. Pasukan kecil dari Madinah itu bertarung dengan hebat
tanpa rasa takut. Pasukan Quraisy yang besar itu porak poranda. Di antara
mereka ada 70 orang yang terbunuh dan 70 orang tertawan. Mayoritas yang tewas
adalah dari kalagan pembesar Quraisy.[15]
Pelajaran
dan Hikmah:
1. Do’a
Nabi saw dan para sahabat itu disebutkan dengan kata tastagitsuuna bukan
tad’uuna. Mengandung makna bahwa
permohonan kaum muslimin itu adalah sesuatu yang sangat penting untuk
diperhatikan, karena ketidaksiapan mereka sebelumnya. Di mana terkumpul factor-faktor kekalahan
pada mereka; jumlah yang sedikit, minimnya persenjataan, kelemahan mental,
semangat dan ketidaksiapan jiwa.[16]
Pertanyaannya,
apakah Nabi saw khawatir akan kalah?
Mustahil
Nabi saw khawatir kalah, karena dua alasan; yang pertama karena Allah telah
menjanjikan kemenangan kepada beliau. Bagaimana mungkin seorang Rasul Allah
meragukan janji Tuhannya?[17]
Yang kedua, Nabi saw telah mendapat informasi keadaan pasukan Quraisy. Yaitu
ketika beliau bertemu dengan seorang lelaki badawi tua dalam penyelidikan
beliau di sekitar jalur itu.[18]
Juga ketika beliau menginterogasi dua orang budak Quraisy yang ditangkap oleh
Ali bin Abi Thalib, Zubayr bin Awwam dan Sa’ad bin Abi Waqqash.[19]
Panglima perang biasanya khawatir jika ia tidak mengetahui sama sekali keadaan
lawannya. Tetapi dengan mengetahuinya, ia dapat mempersiapkan strategi yang
tepat.
2.
Banyak riwayat menerangkan tentang turunnya malaikat ini telah berperang dalam
barisan kaum muslimin melawan tentara Quraisy. Mereka ikut menyerang lawan
dengan senjata-senjata mereka. Begitu banyak riwayat sehingga sulit kita untuk
membantahnya.
Meskipun
demikian tujuan yang disebutkan Al Qur’a dalam pengiriman para Malaikat dan
memberitahukannya kepada kaum muslimin adalah sebagai kabar gembira dan agar
hati kaum muslimin menjadi tenang. Sebagian ahli berpendapat bahwa para
malaikat turun sebagai pembangkit semangat juang kaum muslimin.[20]
Sebab
jika bukan itu tujuannya, maka Alloh Ta’ala maha berkuasa untuk menenangkan
kalian atas mereka tanpa pengiriman malaikat. Maka orang-orang beriman harus
sadar, bahwa adakah pertolongan malaikat atau tidak, besar-kecilnya jumlah
pasukan, lengkap-tidaknya persenjataan, sama sekali tak berpengaruh jika Allah
telah berkehendak. Adapun memenuhi syarat-syarat kemenangan adaah wajib
sifatnya. Karena Allah bermaksud menguji orang-orang beriman. Oleh karenanya
Alloh SWT berfirman: “Dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah.” [21]
Hal
ini sebagaimana Firman-Nya dalam surat lain:
فإذا لقيتم الذين كفروا فضرب الرقاب حتى إذا
أثخنتموهم فشدوا الوثاق فإما منا بعد وإما فداء حتى تضع الحرب أوزارها ذلك ولو
يشاء الله لانتصر منهم ولكن ليبلو بعضكم ببعض والذين قتلوا في سبيل الله فلن يضل
أعمالهم
“Apabila
kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang
leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah
mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan
sampai perang berakhir. Demikianlah apabila Alloh menghendaki niscaya Alloh
akan membinasakan mereka tetapi Alloh hendak menguji sebahagian kamu dengan
sebahagian yang lain. Dan orang-orang yang syahid pada jalan Alloh, Alloh tidak
akan menyia-nyiakan amal mereka.” (Muhammad:
4)
ولنبلونكم حتى
نعلم المجاهدين منكم والصابرين ونبلو أخباركم
“Dan
sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui
orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu; dan agar Kami menyatakan
(baik buruknya) hal ihwalmu.”
(Muhammad:31)
Dengan
demikian Allah menambahkan keteguhan dan keikhlasan hati kaum muslimin dalam
perang. Bahwa pertolongan dan kemenangan bukanlah dampak dari kuatnya
persenjataan dan usaha mereka melainkan dari Allah.
3.
Sikap Rasulullah dalam bermunajat adalah adab yang benar dan disunnahkan bagi
siapa saja yang berdo’a kepada Allah, yaitu sikap pertengahan antara khauf
(rasa takut) dan roja’ (penuh harap). Rasulullah tentu sangat yakin akan
pertolongan Allah, tetapi adab kehalusan budinya kepada Tuhannya,
mengharuskannya merendahkan dirinya di hadapanNya. Di samping itu, keyakinannya
bahwa pertolongan memang hanya akan datang dari sisi Allah, tidak dari yang
lainnya. Sebagaimana salah satu potongan dari doa’ beliau, “Wahai Tuhan yang
Mahahidup, wahai Tuhan yang Berdiri sendiri”, yang beliau ulang-ulang
sampai datang waktu pagi.[22]
ادعوا ربكم تضرعا وخفية إنه لا يحب المعتدين
Berdoalah
kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.(Al
A’raf 55)
فاستجبنا له ووهبنا له يحيى وأصلحنا له زوجه إنهم
كانوا يسارعون في الخيرات ويدعوننا رغبا ورهبا وكانوا لنا خاشعين
Maka
Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami
jadikan istrinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang
selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka
berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang
khusyuk kepada Kami.(Al Anbiya 90)
4.
Adalah penting menyiapkan pasukan sebelum pertempuran. Sebagaimana Rasulullah
mengatur barisan tentaranya. Kegiatan ini melatih dan menjaga kedisplinan dan
kesiapsiagaan. Di samping itu, briefing bisanya diakukan pada kesempatan
ini, untuk memeriksa dan memastikan setiap anggota atau regu mengingat tugasnya
masing-masing.
Diriwayatkan
bahwa Rasulullah sempat mengulang tentang kapan waktunya pasukan panah
melepas anak panah mereka dan
sebagainya. Rasulullah juga sempat mengetuk Sawad bin Ghaziyah dengan tongkat,
karena ia mengobrol dengan kawannya dalam briefing tersebut.[23]
Briefing
juga digunakan untuk memompa semangat pasukan, sebagaimana Rasulullah mengatakan
“Ingatlah bahwa surga berada di bawah kilatan pedang”. Beliau bahkan
menunjukkan okasi-lokasi di mana tokoh-tokoh Quraisy akan terbunuh dalam
pertempura itu.[24]
Wallahu
a’lam bishshawwab.
Daftar
Pustaka
Al Bukhary,
Muhammad bin Ismail, Shahih Bukhary, Dar at Thuruq an Najah,
1422H.
Haekal,
Muhammad Husein, Sejarah Hidup Muhammad, Pustaka Akhlaq, 2015.
Ibnu Katsir,
Ismail bin Umar, Tafsir al Qur’an al Karim, Dar at Tiybah li an
Nasyr wa at Tauzi’, 1999.
Al Khinani, Ali
bin Ali, Islam tentang Perang dan Damai, Pustaka Nasional,
Singapura, 1980.
Kholil,
Munawar, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad saw, Gema Insani Press,
Jakarta, 2001.
Al Mubarakfury,
Shafiyyur Rahman, Ar Rahiiq Al Makhtum, Robbani Press,Jakarta,
2002.
As Siba’iy, Mustafa, Sirah Nabawiyah, Durus wal Ibar,
Dar al Kutub al Arabiyah, 1972.
As Suyuthi,
Jalaludin, Lubab an Nuqul fii Asbab an Nuzul, Gema Insani Press,
Jakarta, 2008.
Ath Thabary,
Abu Ja’far, Tarikh Thabary, Dar at Turats, Beyrut, 1387H.
___________, Jami’ul
Bayan fii Ta’wil Al Qur’an, Muasasah ar Risalah, 2000.
[1] Batalyon
adalah nama bagi kesatuan tentara berkekuatan 700-1000 personel.
[2] Muhammad
Husein Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Pustaka Akhlaq, 2015, hal.392.
[3] Jalaludin As
Suyuthi, Lubab an Nuqul fii Asbabin Nuzul, Gema Insani Press,
Jakarta, 2008,hal.253-254.
[4] Muhammad bin
Ismail Al Bukhary, Shahih Bukhary, Dar at Thuruq an Najah, 1422H,
Juz 5, hal.73.
[5] Ali bin Ali Al
Khinani, Islam tentang Perang dan Damai, Pustaka Nasional,
Singapura, 1980, hal.38.
[6] Shafiyyur
Rahman Al Mubarakfury, Ar Rahiiq Al Makhtum, Robbani
Press,Jakarta, 2002, hal.300.
[7] Abu Ja’far Ath
Thabary, Tarikh Thabary, Dar at Turats, Beyrut,
1387H, Juz 2, hal.447.
[8] Al
Mubarakfury, loc.cit, hal.300.
[9] Abu Ja’far Ath
Thabary, Jami’ul Bayan fii Ta’wil Al Qur’an, Muasasah ar Risalah,
2000, Juz 13.hal. 417.
[10] Ismail bin
Umar ibnu Katsir, Tafsir al Qur’an al Karim, Dar at Tiybah li an
Nasyr wa at Tauzi’, 1999, Juz 4, hal.18.
[11] Al Mubarakury,
loc.cit, hal.300.
[12] Mustafa As
Siba’iy, Sirah Nabawiyah, Durus wal Ibar, Dar al Kutub al
Arabiyah, 1972, hal.100.
[13] Ibnu Katsir, op.cit,
Juz 2, hal. 112.
[14] Abu Ja’far Ath
Thabary, ibid, Jilid 2, hal.453. Ia
meriwayatkan banyak peristiwa serupa dalam kitabnya ini.
[15] Al
Mubarakfury, op.cit, hal.311.
[16] Ali bin Ali Al
Kinani, loc.cit, hal.38.
[17] Ibid,
hal.39.
[18] Al
Mubarakfury, op.cit, hal.287.
[19] Abu Ja’far Ath
Thabary,op.cit, JIlid 2,
hal.436.
[20] Lihat; Ali bin
Ali Al Khinani, op.cit, hal.40, Husein Haekal, op.cit,
hal.396.
[21] Ali bin Ali Al
Khinani, ibid, hal.41
[22] Munawar
Kholil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad saw, Gema Insani Press,
Jakarta, 2001, Jilid 3, hal.14.
[23] Ibid,
Jilid 3, hal.20.
[24] Ibid,
Jilid 3, hal.20.
Subscribe to:
Posts (Atom)