Tuesday, November 28, 2017

Amar Ma'ruf Nahy Munkar

Oleh wahyu bhekti prasojo

Amar ma’ruf nahy munkar adalah memerintahkan semua kebaikan yang ada dalam syari’at. Ia adalah tugas utama para nabi dan rasul sejak Adam as, sampai Muhammad saw. Imam Al Ghazali meyebutnya sebagai bagian terbesar dari agama.
Allah swt berfirman dalam Surah Ali Imran ayat 104.
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh dengan cara yang makruf dan mencegah kemunkaran; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali Imran [3]:104).
كنتم خير أمة أخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر وتؤمنون بالله ولو آمن أهل الكتاب لكان خيرا لهم منهم المؤمنون وأكثرهم الفاسقون
Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS Ali Imran[3] : 110)
Dari sekian banyak sarana dakwah yang diketahui, amar ma’ruf nahy munkar adalah sarana terbesarnya. Meyuruh manusia, memandu dan membimbing mereka kepada perbuatan yang seharusnya ia lakukan, mencegah mereka dari hal-hal yang seharusnya dijauhi. Ia adalah perjuangan untuk melindungi kemanusiaan dari kehinaan, kebinasaan dan kepunahan. Diriwayatkan dari sahabat Nabi, Nu’man bin Basyir ra, bahwa beliau saw bersabda,
" مَثَلُ القَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالوَاقِعِ فِيهَا، كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ، فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلاَهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا، فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ المَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ، فَقَالُوا: لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا، فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا، وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا، وَنَجَوْا جَمِيعًا "
Artinya, “Perumpamaan orang yang melanggar aturan Allah dengan orang yang menegakkannya adalah seperti suatu kaum yang berada di atas kapal, sebagian di atas dan sebagian lagi di bawah. Ketika orang-orang di bagian bawah ingin mengambi air, mereka haus melewati orang-orang di bagian atas. Mereka lalu berkata, ‘Kita lubangi saja bagian bawah ini sehingga kita tak perlu mengganggu orang-orang di atas kita.’ Jika mereka itu dibiarkan dengan keinginan mereka, semuanya akan binasa; jika dilarang, semuanya akan selamat.” (HR. Bukhary)
Maka kebinasaan ummat manusia dan kemanusiaan sesungguhnya adalah akibat kelalaian manusia itu sendiri. Dari Hudzayfah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda,
«وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ المُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُونَهُ فَلَا يُسْتَجَابُ لَكُمْ»
Artinya, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh kalian harus menyuruh yang ma’ruf dan harus mencegah dari yang munkar atau segera Allah kirimkan azabnya atasmu, kemudian ketika kalian berdo’a, tidak dikabulkan doa kalian itu.” (HR. At Tirmidzy)

Thursday, November 16, 2017

HAK DAN KEBEBASAN MANUSIA MENURUT AL QUR’AN


Allah swt berfirman dalam surat Al Kahfi ayat 29.
وقل الحق من ربكم فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر إنا أعتدنا للظالمين نارا أحاط بهم سرادقها وإن يستغيثوا يغاثوا بماء كالمهل يشوي الوجوه بئس الشراب وساءت مرتفقا
Allah Swt berfirman: “Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa ingin (kafir) biarlah ia kafir.” Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (Qs. Al-Kahfi [18] : 29)
Maksudnya adalah Allah Swt menurunkan ayat tersebut, yang memerintahkan Nabi untuk mengumumkan bahwa kebenaran adalah milik-Nya, lalu mengatakan kepada orang-orang kafir yang tenggelam pada kenikmatan dunia bahwa kebenaran adalah milik Tuhan dan dari-Nya, barang siapa yang ingin beriman maka akan beriman dan barang siapa ingin kafir maka ia akan kafir. [1]
Imam Al Maraghy menambahkan bahwa kebenaran dari Tuhan itu wajib bagi manusia untuk mengikutinya dan mengamalkannya, maka siapa yang mau beriman dengannya dan masuk kedalam golongan orang beriman, dan tidak terjebak dengan hal-hal yang tidak berguna baginya dan menjadi penyelamat baginya, maka ia bebas melakukannya.[2] Adapun orang yang ingin mengingkarinya dan membelakanginya, maka urusannya diserahkan kepada Allah, dan tidak menjadi tanggung jawab Nabi Muhammad untuk membuat mereka mengikuti kebenaran, dan beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada beliau.[3]
Kekufuran mereka tidak akan membahayakan bagi Allah dan iman mereka pun tidak akan memberi manfaat buat Allah. Karena iman dan pahalanya serta kufur dan siksanya semua itu kembali kepada diri mereka sendiri. Oleh itu apapun yang mereka mau harus mereka pilih.
«إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَها» .
Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri, (QS Al Isra’ [17]: 7)
Mereka bebas memilih, karena akibat dibelakang hari telah diperingatkan Allah pada penggalan ayat selanjutnya, Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka…dan seterusnya.
Sa’id Hawwa menjelaskan bahwa manusia bebas memilih apa yang dikehendaki untuk dirinya, apakah mau mengambil jalan menuju keselamatan atau memilih jalan menuju kehancuran. Kemudian Allah kemukakan ancaman bagi orang yang memilih kekufuran yaitu neraka dengan api yang bergejolak.[4]
Di sinilah berlaku apa yang disebut sebagai teori peran. Teori peran adalah analogi perilaku manusia dalam masyarakat seperti actor yang memerankan suatu karakter dalam theater. Perilaku yang diharapkan dari seseorang tidak berdiri sendiri melainkan selalu terkait dengan perilaku orang-orang lain yang berhubungan.[5] Teori ini memandang bahwa semua manusia telah ditentukan perannya masing-masing. Maka setiap orang diharapkan melaksanakan perannya dengan baik, agar kehidupan berjalan dengan baik.
Harapan agar setiap orang menjalankan perannya dengan baik itu melahirkan norma.[6] Perwujudan peran ditimbang dengan norma-norma yang berlaku, maka lahirlah penilaian dan sanksi.[7] Penilaian dan sanksi didasarkan pada harapan tentang norma yang ditimbul sebagai hasil komunikasi yang terbuka. Jika norma, penilaian dan sanksi ini telah meresap kedalam diri setiap individu ia berubah menjadi nilai (values) yang mengatur perwujudan perannya.[8] Selanjutnya  jika nilai dan sanksi atas perilaku yang sesuai ataupun menyimpang dari norma telah diketahui bersama, maka setiap orang bertanggungjawab atas perilakunya masing-masing.



[1] Ibnu Katsir, op.cit, Juz 5, hal. 139.
[2] Imam Al Maraghy, op.cit, Juz 15, hal. 143.
[3] Imam Al Maraghy, ibid, Juz 15, hal. 143.
[4] Said Hawwa, Al-Asas fi at Tafsir, Darussalam, Mesir, 1993 M/ 1414 H), Jilid 6, hlm 3175-3176.
[5] Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-teori Psikologi Sosial, Rajawali Press, Jakarta, 1984, hal.234.
[6] Sarlito Wirawan Sarwono, ibid, hal.236.
[7] Sarlito Wirawan Sarwono, ibid, hal.237.
[8] Sarlito Wirawan Sarwono, ibid, hal.241.

Tuesday, November 14, 2017

Batalyon[1] Malaikat di Pertempuran Badar


oleh Wahyu Bhekti Prasojo

Beberapa saat menjelang pertempuran di Badar, Rasulullah berdiri di hadapan pasukannya untuk mengatur barisan. Setelah melihat perbandingan jumlah pasukannya dengan pasukan Quraisy, Nabi saw kembali ke kemahnya, kemudian menghadapkan wajahnya kearah kiblat dan dengan seluruh jiwanya beliau menyeru mengharap kepada Allah. Tenggelam dalam do’anya beliau berbisik:
“Yaa Allah, saat ini Quraisy telah datang dengan segala keangkuhan. Mereka berusaha mendustakan RasulMu. Yaa Allah, aku memohon pertolongan yang telah engkau janjikan kepadaku. Yaa Allah, jika hancur pasukan(ku) ini maka setelah itu tidak ada lagi yang akan beribadah kepadaMu.”[2]
Maka Allah mengabulkan permohonan RasulNya dengan mengirimkan bala tentara Malaikat untuk berperang bersama kaum muslimin.
Peristiwa ini diceritakan dalam AlQur’an surat Al anfal ayat ke 9 dan 10. Allah Ta'ala berfirman:
إِذۡ تَسۡتَغِيثُونَ رَبَّكُمۡ فَٱسۡتَجَابَ لَكُمۡ أَنِّي مُمِدُّكُم بِأَلۡفٖ مِّنَ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ مُرۡدِفِينَ ٩ وَمَا جَعَلَهُ ٱللَّهُ إِلَّا بُشۡرَىٰ وَلِتَطۡمَئِنَّ بِهِۦ قُلُوبُكُمۡۚ وَمَا ٱلنَّصۡرُ إِلَّا مِنۡ عِندِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ ١٠
“(ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: "Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu Malaikat yang datang berturut-turut". Dan Allah tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan itu), melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Alloh. Sesungguhnya Alloh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Anfal: 9-10)
Umar Ibnul Khaththab ra. mengisahkan situasi menjelang pertempuran dalam sebuah riwayat yang disampaikan Imam Ahmad, sebagai berikut:
“Pada hari perang Badar, Nabi saw. memandang kepada para sahabatnya dan mereka terdiri dari tiga ratus orang lebih, memandang kepada orang-orang musyrik, ternyata mereka lebih dari seribu orang, maka Nabi menghadap kiblat dan beliau memakai selendang dan sarung, kemudian beliau bersabda: “Ya Allah, penuhilah apa yang Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, jika kelompok ini binasa, niscaya Engkau tidak akan disembah lagi di bumi.”
“Rasulullah terus-menerus memohon pertolongan kepada Rabbnya dan berdo’a kepada-Nya hingga selendangnya terjatuh dari pundaknya, maka Abu Bakar mengambil selendang itu, lalu memakaikannya kepada Nabi dan mendekapnya dari belakang, lalu berkata: “Wahai Nabi Allah, cukuplah permohonanmu kepada Rabbmu, sesungguhnya Dia akan memenuhi apa yang telah dijanjikan-Nya kepadamu, lalu Allah menurunkan firman-Nya: Idz tastaghitsuuna rabbakum fastajaaba lakum annii mumiddukum bi-alfim minal malaa-ikati murdifiin (“[Ingatlah] ketika kamil memohon pertolongan kepada Rabbmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: ‘Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu Malaikat yang datang bertutut-turut.’)[3]
Al-Bukhari juga meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas rodhiyallohu ‘anhuma, ia berkata bahwasanya Rasulullah shollallahu ‘alayhi wa sallam berdo’a ketika perang badar:
اللهُمَّ أَنْشُدُكَ عَهْدَكَ وَوَعْدَكَ، اللهُمَّ! إِنْ شِئْتَ لَمْ تُعْبَدْ[4]
“Ya Allah, Aku memohon kepada-Mu penuhilah janji-Mu. Ya Allah, jika engkau menghendaki, maka Engkau tidak diibadahi lagi.”
Kaum muslimin mendengar munajat Rasulullah itu, kemudian mulai juga bermunajat:
يا غياث المغيث أغِثنَا وَانصُرنَا علىَ عَدُوكَ
“Wahai Tuhan penyuluh keselamatan, selamatkanlah kami dan menangkan kami atas musuhMu.”[5]
Allah mengabulkan do’a mereka dan Dia turunkan ribuan malaikat untuk membantu mereka mengalahkan musuh. Setelah bernunajat, Rasulullah tertidur sejenak, kemudian mengangkat kepalanya seraya berkata: “Hai Abu Bakar, bergembiralah, petolongan Allah telah datang kepadamu. Itu Jibril di bawah hamburan debu.” Dalam riwayat Ibnu Ishaq; “Itulah Jibril memegang tali kekang kudanya di atas hamburan debu.”[6]
Kemudian beliau bangkit menuju musuh seraya membacakan Ayat :
سَيُهْزَمُ الجَمْعُ وَيُوَلُّوْنَ الدُّبُرَ
Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang. (AlQomar 45).[7]
            Kemudian beliau mengambil segengggam pasir dan melemparkannya kea rah pasukan Quraisy sambil berkata, “Hancurlah wajah mereka”. Tidak seorangpun dari mereka kecuali terkana lemparan tersebut pada mata, hidung dan mulutnya.[8]

Ali bin Abu Thalib berkata, Jibril turun bersama 1000 malaikat dan bergabng dengan sayap kanan pasukan Rasulullah di mana Abu Bakar berada, dan Mikail turun dengan 1000 malaikat dan bergabung dengan sayap kiri pasukan di mana aku berada.[9]
Bersama Jibril itu ada seribu Malaikat yang datang berturut-turut. Yakni datang dengan silih berganti, sebagaimana yang dikatakan oleh Harun bin Hubairah dari Ibnu ‘Abbas rodhiyallohu ‘anhuma مُرْدِفِيْنَ yaitu mutatabi’in’ (silih berganti atau susul menyusul atau terus berkelanjutan tanpa terputus). Maksudnya, sebagian mereka berada di belakang sebagian lainnya. Mungkin juga yang dimaksud murdifiin adalah mereka berada belakang kalian, maksudnya, sebagai bantuan kepada kalian.[10] Sementara Mubarakfury mengartikannya sebagai datang secara silih berganti, tidak sekaligus.[11]
 Menurut Mustafa AsSiba’iy, pada peperangan inilah turun ayat 123 sampai 127 surat Ali Imran.[12]
ولقد نصركم الله ببدر وأنتم أذلة فاتقوا الله لعلكم تشكرون إذ تقول للمؤمنين ألن يكفيكم أن يمدكم ربكم بثلاثة آلاف من الملآئكة منزلين بلى إن تصبروا وتتقوا ويأتوكم من فورهم هذا يمددكم ربكم بخمسة آلاف من الملآئكة مسومين وما جعله الله إلا بشرى لكم ولتطمئن قلوبكم به وما النصر إلا من عند الله العزيز الحكيم ليقطع طرفا من الذين كفروا أو يكبتهم فينقلبوا خآئبين
Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya. (Ingatlah), ketika kamu mengatakan kepada orang mukmin: "Apakah tidak cukup bagi kamu Allah membantu kamu dengan tiga ribu malaikat yang diturunkan (dari langit)?" ya (cukup), jika kamu bersabar dan bertakwa dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu Malaikat yang memakai tanda. Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala-bantuan itu melainkan sebagai kabar gembira bagi (kemenangan) mu, dan agar tenteram hatimu karenanya. Dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Allah menolong kamu dalam perang Badar dan memberi bala bantuan itu) untuk membinasakan segolongan orang-orang yang kafir, atau untuk menjadikan mereka hina, lalu mereka kembali dengan tiada memperoleh apa-apa.
            Ibnu Katsir menjelaskan bahwa dengan demikian jumlah malaikat yang diturunkan Allah pada peperangan ini bukanlah hanya seribu, melainkan susul menyusul -- sebagaimana yang difahami dari surat Ali Imran di atas-- sehingga mencapai jumah 5000 tentara.[13]
Abu Ja’far athThabari mengisahkan “Tatkala seseorang dari kaum muslimin sedang bersungguh-sungguh (melawan) orang musyrik yang ada dihadapannya, tiba-tiba ia mendengar suara lecutan cambuk di atasnya dan suara penunggang kuda yang berkata: ‘Majulah haizum,’ tiba-tiba ia melihat lawannya telah mati terkapar dihadapannya. Kemudian ia melihatnya dari dekat, ternyata hidungnya telah terpukul dan wajahnya terbelah, seperti pukulan cambuk, mukanya menjadi lebam (bekas pukulan), padahal ia yakin ayunan pedangnya belum menganai sasarannya.[14]            
Maka pada hari di saat mereka berhadapan, Allah mengalahkan orang-orang musyrik. Pasukan kecil dari Madinah itu bertarung dengan hebat tanpa rasa takut. Pasukan Quraisy yang besar itu porak poranda. Di antara mereka ada 70 orang yang terbunuh dan 70 orang tertawan. Mayoritas yang tewas adalah dari kalagan pembesar Quraisy.[15]
Pelajaran dan Hikmah:
1. Do’a Nabi saw dan para sahabat itu disebutkan dengan kata tastagitsuuna bukan tad’uuna. Mengandung  makna bahwa permohonan kaum muslimin itu adalah sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan, karena ketidaksiapan mereka sebelumnya.  Di mana terkumpul factor-faktor kekalahan pada mereka; jumlah yang sedikit, minimnya persenjataan, kelemahan mental, semangat dan ketidaksiapan jiwa.[16]
Pertanyaannya, apakah Nabi saw khawatir akan kalah?
Mustahil Nabi saw khawatir kalah, karena dua alasan; yang pertama karena Allah telah menjanjikan kemenangan kepada beliau. Bagaimana mungkin seorang Rasul Allah meragukan janji Tuhannya?[17] Yang kedua, Nabi saw telah mendapat informasi keadaan pasukan Quraisy. Yaitu ketika beliau bertemu dengan seorang lelaki badawi tua dalam penyelidikan beliau di sekitar jalur itu.[18] Juga ketika beliau menginterogasi dua orang budak Quraisy yang ditangkap oleh Ali bin Abi Thalib, Zubayr bin Awwam dan Sa’ad bin Abi Waqqash.[19] Panglima perang biasanya khawatir jika ia tidak mengetahui sama sekali keadaan lawannya. Tetapi dengan mengetahuinya, ia dapat mempersiapkan strategi yang tepat.
2. Banyak riwayat menerangkan tentang turunnya malaikat ini telah berperang dalam barisan kaum muslimin melawan tentara Quraisy. Mereka ikut menyerang lawan dengan senjata-senjata mereka. Begitu banyak riwayat sehingga sulit kita untuk membantahnya.
Meskipun demikian tujuan yang disebutkan Al Qur’a dalam pengiriman para Malaikat dan memberitahukannya kepada kaum muslimin adalah sebagai kabar gembira dan agar hati kaum muslimin menjadi tenang. Sebagian ahli berpendapat bahwa para malaikat turun sebagai pembangkit semangat juang kaum muslimin.[20]
Sebab jika bukan itu tujuannya, maka Alloh Ta’ala maha berkuasa untuk menenangkan kalian atas mereka tanpa pengiriman malaikat. Maka orang-orang beriman harus sadar, bahwa adakah pertolongan malaikat atau tidak, besar-kecilnya jumlah pasukan, lengkap-tidaknya persenjataan, sama sekali tak berpengaruh jika Allah telah berkehendak. Adapun memenuhi syarat-syarat kemenangan adaah wajib sifatnya. Karena Allah bermaksud menguji orang-orang beriman. Oleh karenanya Alloh SWT berfirman: “Dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah.” [21]
Hal ini sebagaimana Firman-Nya dalam surat lain:
فإذا لقيتم الذين كفروا فضرب الرقاب حتى إذا أثخنتموهم فشدوا الوثاق فإما منا بعد وإما فداء حتى تضع الحرب أوزارها ذلك ولو يشاء الله لانتصر منهم ولكن ليبلو بعضكم ببعض والذين قتلوا في سبيل الله فلن يضل أعمالهم
“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir. Demikianlah apabila Alloh menghendaki niscaya Alloh akan membinasakan mereka tetapi Alloh hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain. Dan orang-orang yang syahid pada jalan Alloh, Alloh tidak akan menyia-nyiakan amal mereka.” (Muhammad: 4)
ولنبلونكم حتى نعلم المجاهدين منكم والصابرين ونبلو أخباركم
“Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu; dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu.(Muhammad:31)
Dengan demikian Allah menambahkan keteguhan dan keikhlasan hati kaum muslimin dalam perang. Bahwa pertolongan dan kemenangan bukanlah dampak dari kuatnya persenjataan dan usaha mereka melainkan dari Allah.
3. Sikap Rasulullah dalam bermunajat adalah adab yang benar dan disunnahkan bagi siapa saja yang berdo’a kepada Allah, yaitu sikap pertengahan antara khauf (rasa takut) dan roja’ (penuh harap). Rasulullah tentu sangat yakin akan pertolongan Allah, tetapi adab kehalusan budinya kepada Tuhannya, mengharuskannya merendahkan dirinya di hadapanNya. Di samping itu, keyakinannya bahwa pertolongan memang hanya akan datang dari sisi Allah, tidak dari yang lainnya. Sebagaimana salah satu potongan dari doa’ beliau, “Wahai Tuhan yang Mahahidup, wahai Tuhan yang Berdiri sendiri”, yang beliau ulang-ulang sampai datang waktu pagi.[22]
ادعوا ربكم تضرعا وخفية إنه لا يحب المعتدين
Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.(Al A’raf 55)
فاستجبنا له ووهبنا له يحيى وأصلحنا له زوجه إنهم كانوا يسارعون في الخيرات ويدعوننا رغبا ورهبا وكانوا لنا خاشعين
Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan istrinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.(Al Anbiya 90)
4. Adalah penting menyiapkan pasukan sebelum pertempuran. Sebagaimana Rasulullah mengatur barisan tentaranya. Kegiatan ini melatih dan menjaga kedisplinan dan kesiapsiagaan. Di samping itu, briefing bisanya diakukan pada kesempatan ini, untuk memeriksa dan memastikan setiap anggota atau regu mengingat tugasnya masing-masing.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah sempat mengulang tentang kapan waktunya pasukan panah melepas  anak panah mereka dan sebagainya. Rasulullah juga sempat mengetuk Sawad bin Ghaziyah dengan tongkat, karena ia mengobrol dengan kawannya dalam briefing tersebut.[23]
Briefing juga digunakan untuk memompa semangat pasukan, sebagaimana Rasulullah mengatakan “Ingatlah bahwa surga berada di bawah kilatan pedang”. Beliau bahkan menunjukkan okasi-lokasi di mana tokoh-tokoh Quraisy akan terbunuh dalam pertempura itu.[24]
Wallahu a’lam bishshawwab.

Daftar Pustaka
Al Bukhary, Muhammad bin Ismail, Shahih Bukhary, Dar at Thuruq an Najah, 1422H.
Haekal, Muhammad Husein, Sejarah Hidup Muhammad, Pustaka Akhlaq, 2015.
Ibnu Katsir, Ismail bin Umar, Tafsir al Qur’an al Karim, Dar at Tiybah li an Nasyr wa at Tauzi’, 1999.
Al Khinani, Ali bin Ali, Islam tentang Perang dan Damai, Pustaka Nasional, Singapura, 1980.
Kholil, Munawar, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad saw, Gema Insani Press, Jakarta, 2001.
Al Mubarakfury, Shafiyyur Rahman, Ar Rahiiq Al Makhtum, Robbani Press,Jakarta, 2002.
As Siba’iy, Mustafa, Sirah Nabawiyah, Durus wal Ibar, Dar al Kutub al Arabiyah, 1972.
As Suyuthi, Jalaludin, Lubab an Nuqul fii Asbab an Nuzul, Gema Insani Press, Jakarta, 2008.
Ath Thabary, Abu Ja’far, Tarikh Thabary, Dar at Turats, Beyrut, 1387H.
___________,  Jami’ul Bayan fii Ta’wil Al Qur’an, Muasasah ar Risalah, 2000.



[1] Batalyon adalah nama bagi kesatuan tentara berkekuatan 700-1000 personel.
[2] Muhammad Husein Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Pustaka Akhlaq, 2015, hal.392.
[3] Jalaludin As Suyuthi, Lubab an Nuqul fii Asbabin Nuzul, Gema Insani Press, Jakarta, 2008,hal.253-254.
[4] Muhammad bin Ismail Al Bukhary, Shahih Bukhary, Dar at Thuruq an Najah, 1422H, Juz 5, hal.73.
[5] Ali bin Ali Al Khinani, Islam tentang Perang dan Damai, Pustaka Nasional, Singapura, 1980, hal.38.
[6] Shafiyyur Rahman Al Mubarakfury, Ar Rahiiq Al Makhtum, Robbani Press,Jakarta, 2002, hal.300.
[7] Abu Ja’far Ath Thabary,  Tarikh Thabary, Dar at Turats, Beyrut, 1387H, Juz 2, hal.447.
[8] Al Mubarakfury, loc.cit, hal.300.
[9] Abu Ja’far Ath Thabary, Jami’ul Bayan fii Ta’wil Al Qur’an, Muasasah ar Risalah, 2000, Juz 13.hal. 417.
[10] Ismail bin Umar ibnu Katsir, Tafsir al Qur’an al Karim, Dar at Tiybah li an Nasyr wa at Tauzi’, 1999, Juz 4, hal.18.
[11] Al Mubarakury, loc.cit, hal.300.
[12] Mustafa As Siba’iy, Sirah Nabawiyah, Durus wal Ibar, Dar al Kutub al Arabiyah, 1972, hal.100.
[13] Ibnu Katsir, op.cit, Juz 2, hal. 112.
[14] Abu Ja’far Ath Thabary,  ibid, Jilid 2, hal.453. Ia meriwayatkan banyak peristiwa serupa dalam kitabnya ini.
[15] Al Mubarakfury, op.cit, hal.311.
[16] Ali bin Ali Al Kinani, loc.cit, hal.38.
[17] Ibid, hal.39.
[18] Al Mubarakfury, op.cit, hal.287.
[19] Abu Ja’far Ath Thabary,op.cit,  JIlid 2, hal.436.
[20] Lihat; Ali bin Ali Al Khinani, op.cit, hal.40, Husein Haekal, op.cit, hal.396.
[21] Ali bin Ali Al Khinani, ibid, hal.41
[22] Munawar Kholil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad saw, Gema Insani Press, Jakarta, 2001, Jilid 3, hal.14.
[23] Ibid, Jilid 3, hal.20.
[24] Ibid, Jilid 3, hal.20.