Sunday, August 28, 2016

Rasulullah Teladan Para Da'i

Allah swt berfirman,
لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة لمن كان يرجو الله واليوم الآخر وذكر الله كثيرا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.(QS Al Ahzab 21)
Sungguh telah sepakat orang-orang yang hidup bersama Nabi saw, dan melihat risalahnya bahwa beliau selalu mendahului mengucap salam kepada para sahabatnya. Mengarahkan wajahnya pada lawan bicaranya, baik dengan orang dewasa atau anak kecil. Beliau selalu belakangan menarik tangannya ketika berjabat tangan. Bila datang terlambat selalu duduk di manapun tempat yang masih tersisa.[1]
            Tidak pernah enggan mengerjakan pekerjaan buruh dan kuli bangunan, seperti pada pembangunan Masjid Nabawi juga ketika menggali parit pada Perang Khandaq. Selalu menghadiri undangan baik dari orang merdeka, hamba sahaya atau ummat pada umumnya dan selalu memberi idzin pada  orang yang punya udzur.[2]
Beliau biasa pergi ke pasar membawa sendiri barang keperluannya. Suka menambal baju, memperbaiki sandal dan membantu pekerjaan istri-istrinya. Selalu mengikat untanya sendiri, makan bersama pembantunya. Membantu mengatasi kebutuhan orang lemah dan fakir serta biasa duduk di lantai bersama mereka.[3]
واخفض جناحك لمن اتبعك من المؤمنين
dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.(QS Asy Syu’ara 215)
            Hendaklah para da’i adalah orang-orang yang terlebih dahulu menyucikan jiwanya sebelum orang lain. Selalu menuduh dirinya sebelum menuduh orang lain. Lebih cepat kepada amal kebaikan ketimbang orang lain. Senantiasa menyadari bahwa godaan hawa nafsu selalu mengintainya tanpa lelah, menunggu saat dirinya lengah.
Maka hendaklah ia senantiasa mengingat akan perjanjiannya dengan Allah dalam kalimat syahadatnya, bahwa ia tidak akan pernah menyekutukan Allah sepanjang hidupnya.
            Hendaklah ia selalu merasakan keagungan Allah Azza wa Jalla dalam setiap waktu dan keadaannya, bahwa Kebesaran Allah itu selalu menyertainya di kala ramai atau pun sepi.
            Hendaklah ia menghisab dirinya ketika beramal, apakah ia bertujuan menggapai ridho Allah dengannya? Atau ada sesuatu yang lain? Apakah kehidupannya hari ini sudah sesuai dengan perintah dan larangan Allah dan RasulNya?
            Hendaklah ia menuduh dirinya sendiri dan menghukumnya jika menemukan dirinya dalam keadaan bersalah, karena membiarkan kesalahannya sendiri tanpa hukuman akan mempermudah datangnya kesalahan demi kesalahan berikutnya.
            Hendaklah ia memaksa diri, hati dan jiwanya untuk melawan kemalasan, kelalaian, dan godaan-godaan hawa nafsunya dengan melakukan kebaikan yang lebih banyak, segera begitu disadarinya bahwa ia sedang diliputi malas dan lalai.
Waallahu a’lam bi ash shawwab.



[1] Abdullah Nashih ‘Ulwan, Tarbiyah Akhlaqiyah, alih bahasa Abu Muthi’ah, Amal Sehat Press, 1994, h 57.
[2] Loc.cit.
[3] Loc.cit.

Saturday, August 20, 2016

Tadabbur Surat Al Hasyr ayat 19

Dan janganlah keadaan kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah; lalu Allah pun membuatnya lupa kepada dirinya sendiri." (pangkal ayat 19)

Artinya menurut Ibnu Katsir ialah; "Janganlah kamu lupa mengingat kepada Allah, atau zikir. Karena bila kamu telah lupa mengingat Allah, Allah pun akan membuat lupa apa-apa yang patut dikerjakan untuk kepentingan dirimu sendiri, yang akan membawa manfaat bagimu di akhir kelak kemudian hari."

Dalam ayat lain yang senada Allah memperingatkan ;

"Dan janganlah engkau ikuti orang yang telah Kami jadikan lalai hatinya dari mengingat Kami, lalu diperturutkannya kehendak hawanafsunya, dan jadilah segala perbuatannya di luar batas." (al-Kahfi: 28)

Dia telah lalai dan lengah dari mengingat Tubuhnya. Sebab itu maka segala tindak-tanduknya dan rasa hatinya tidak ada yang beres lagi, sehingga tidak ada perhatiannya untuk memperbaiki diri dan mencari yang muslihat, hati pecah berderai, jiwa porak-peranda, apa yang dikerjakan kucar-kacir, bingung tidak tentu arah hidup yang akan ditempuh.

.."Itulah orang-orang yang fasik." (ujung ayat.19).

Imam Abu Ja’far At-Thabari menerangkan bahwa ‘fasiq’ , dalam dialek masyarakat Arab adalah:
الخروجُ عن الشيء
keluar dari sesuatu
Karena itu, tikus gurun dinamakan fuwaisiqah [Arab: فُوَيْسِقة] karena dia sering keluar dari tempat persembunyiannya.

Demikianlah keadaan orang munafik dan orang kafir disebut orang fasik. Karena dua orang ini telah keluar dari ketaatan kepada Allah. Karena itu, Allah menyifati iblis dengan firman-Nya:

إِلا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ

“Kecuali iblis (tidak mau sujud), dia termasuk golongan jin, dan dia berbuat fasik terhadap perintah Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi, 50)

Maksud kalimat “dia berbuat fasik” keluar dari ketaatan kepada-Nya dan tidak mengikuti perintahnya. (Tafsir At-Thabari, 1:409)

Saturday, August 6, 2016

PILAR PILAR ISTIQOMAH

Biah Sholihah atau Lingkungan yang Baik.

Allah menyatakan dalam Al Qur’an bahwa salah satu sebab utama yang membantu menguatkan iman para shahabat Nabi adalah keberadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah-tengah mereka. Allah Ta’ala berfirman,
وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنْتُمْ تُتْلَى عَلَيْكُمْ آَيَاتُ اللَّهِ وَفِيكُمْ رَسُولُهُ وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Bagaimana mungkin (tidak mungkin) kalian menjadi kafir, sedangkan ayat-ayat Allah dibacakan kepada kalian, dan Rasul-Nyapun berada ditengah-tengah kalian? Dan barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya dia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Ali ‘Imran: 101)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan kepada kita agar bersahabat dengan orang yang dapat memberikan kebaikan dan sering menasehati kita.
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً
“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.” [HR. Bukhari no. 2101, dari Abu Musa]

Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Hadits ini menunjukkan larangan berteman dengan orang-orang yang dapat merusak agama maupun dunia kita. Dan hadits ini juga menunjukkan dorongan agar bergaul dengan orang-orang yang dapat memberikan manfaat dalam agama dan dunia.”[Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 4/324]

Dalam lingkungan orang2 sholeh setiap Muslim akan mendapatkan hal-hal yang sangat berguna dalam usahanya untuk tetap istiqomah yaitu :

1. Uswah hasanah atau keteladanan yang baik

Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur).” (QS. At Taubah: 119)
Ayat ini mengandung hikmah:
Bahwa dibutuhkan proses untuk menjadi baik (jujur) maka betapa pentingnya lingkungan yang kondusif, sehingga dapat mengambil contoh yang benar.
Bahwa orang jujur, jika tidak berada dalam lingkungan yang jujur juga, boleh jadi terancam, kejujurannya atau keselamatannya.
2. Kebersamaan dalam ibadah dan kebaikan
Para ulama menasehati agar kita selalu dekat dengan orang sholih untuk menguatkan hasrat beribadah. Al Fudhail bin ‘Iyadh berkata,
نَظْرُ المُؤْمِنِ إِلَى المُؤْمِنِ يَجْلُو القَلْبَ
“Pandangan seorang mukmin kepada mukmin yang lain akan mengilapkan hati.“[Siyar A’lam An Nubala’, 8/435]
Maksud beliau adalah dengan hanya memandang orang sholih, hati seseorang bisa kembali tegar. Oleh karenanya, jika orang-orang sholih dahulu kurang semangat dan tidak tegar dalam ibadah, mereka pun mendatangi orang-orang sholih lainnya.
‘Abdullah bin Al Mubarok mengatakan, “Jika kami memandang Fudhail bin ‘Iyadh, kami akan semakin sedih dan merasa diri penuh kekurangan.”
Ja’far bin Sulaiman mengatakan, “Jika hati ini ternoda, maka kami segera pergi menuju Muhammad bin Waasi’.”[Ta’thirul Anfas min Haditsil Ikhlas, Sayyid bin Husain Al ‘Afani, hal. 466]

3. Nasihat menasihati, QS Al Ashr 1-3.
Ibnul Qayyim mengisahkan, “Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan gundah gulana atau muncul dalam diri kami prasangka-prasangka buruk atau ketika kami merasakan sempit dalam menjalani hidup, kami segera mendatangi Ibnu Taimiyah untuk meminta nasehat. Maka dengan hanya memandang wajah beliau dan mendengarkan nasehat beliau serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang”.[Shahih Al Wabilush Shoyyib]

Oleh karena itu, sangat penting sekali mencari lingkungan yang baik dan mencari sahabat atau teman dekat yang semangat dalam menjalankan agama sehingga kita pun bisa tertular aroma kebaikannya. Jika lingkungan atau teman kita adalah baik, maka ketika kita keliru, ada yang selalu menasehati dan menyemangati kepada kebaikan.
Kalau dalam masalah persahabatan yang tidak bertemu setiap saat, kita dituntunkan untuk mencari teman yang baik, apalagi dengan mencari pendamping hidup yaitu suami atau istri. Pasangan suami istri tentu saja akan menjalani hubungan bukan hanya sesaat. Bahkan suami atau istri akan menjadi teman ketika tidur. Sudah sepantasnya, kita berusaha mencari pasangan yang sholih atau sholihah. Kiat ini juga akan membuat kita semakin teguh dalam menjalani agama.
bagaimana lingkungan yg baik itu?
QS Al Kahfi : 28
Sabar bersama orang2 yang dakwah pagi dan sore dengan ikhlas.
Jangan cenderung dgn orang2 yg hanya mencari dunia, lalai dari dzikir pd Allah, suka melewati batas menurut hawa nafsu.

Thursday, August 4, 2016

PILAR PiLAR ISTIQOMAH

Senantiasa menambah ilmu

Ilmu merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan ini, setiap waktu manusia membutuhkan ilmu untuk menjalani hidupnya, sebagaimana perkataan Imam Ahmad Bin Hambal “Manusia sangat berhajat pada ilmu lebih daripada hajat mereka pada makanan dan minuman, karena manusia berhajat pada makanan dan minuman sehari sekali atau dua kali akan tetapi manusia berhajat pada ilmu sebanyak bilangan nafasnya”.

1. Ilmu merupakan ciri kebaikan seseorang
Dalam sebuah hadits dari Muawiyah Radhiyallahu ‘anhu, Rosulullah bersabda : “Barang siapa yang Allah kehendaki padanya kebaikan, maka Allah akan pahamkan dia adalam (masalah) din (agama).” (Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari no.71 dan Muslim no. 1037). Hadits ini menunjukkan tentang tanda-tanda Allah hendak memberikan kebaikan pada seorang hamba yaitu dengan memberikan pemahaman dalam masalah agama. Hal itu karena dengan paham tentang masalah agama, maka dirinya akan menyembah Allah dengan ilmu dan juga akan menyeru orang lain dengan ilmu juga.

Dalam hadits lain Rasulullah bersabda : ”Yang terbaik di antara kalian adalah orang yang belajar Al-Quran dan mengajarkannya” (HR. Al-Bukhari no. 5027).

Imam Ali berkata “nilai seseorang sesuai dengan apa yang dikuasainya”.

Imam Syafii mengatakan “Apabila engkau menghendaki dunia hendaklah dengan ilmu, apabila engkau menghendaki akhirat hendaklah dengan ilmu dan apabila engkau menghendaki keduanya hendaklah dengan ilmu”

2. Ilmu akan mengangkat derajat manusia
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman : “Allah mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antara kamu, sedangkan orang-orang yang diberi ilmu (Allah angkat) beberepa derajat ”(Al Mujaadilah 11).

Dalam ayat lain Allah berfirman : “Katakanlah!apakah sama orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui” (Az Zumar:  9).

3. Ilmu akan memudahkan seseorang masuk surga
Rosulullah bersabda :”Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR Muslim).

Imam Al Bukhari dalam Kitab Shahihnya no. 6412 meriwayatkan bahwa Rosulallah bersabda : “Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memasukkan orang tersebut pada salah satu jalan menuju surga. Sesungguhnya malaikat mengatupkan sayapanya karena ridha kepada seluruh penuntut ilmu. Penghuni langit dan bumi, sampai ikan sekalipun yang ada di dalam air memohonkan ampun untuk seorang alim. Keutamaan seorang alim dibandingkan seorang ahli ibadah seperti keutamaan cahaya bulan purnama dibandingkan cahaya bintang-bintang. Para ulama adalah pewaris para nabi, namun mereka tidak mewariskan dinar maupun dirham. Mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambil ilmu tersebut sungguh ia telah mendapatkan bagian yang banyak dari warisan tersebut”

4. Ilmu akan menghidupkan hati
Ibnu Qoyim mengatakan bahwa sesungguhnya hati itu terancam mendapatkan dua penyakit yaitu syubhat dan syahwat, jika penyakit hati itu menjangkitinya maka hati mati karenanya. Semua penyakit ini penyebabnya adalah kebodohan dan obatnya adalah ilmu.

Di dalam Al Muwaththo, Imam Malik menjelaskan bahwa Lukman berkata kepada anaknya:”Wahai anakku duduklah kamu bersama para ulama dan dekatilah mereka dengan kedua lututmu (bergaul dengan mereka). Maka sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta ‘ala menghidupkan hati-hati yang mati dengan cahaya hikmah sebagaimana menghidupkan (menyuburkan) bumi dengan hujan yang deras.

Oleh karena itu kebutuhan hati manusia terhadap cahaya ilmu merupakan kebutuhan yang mendesak. Sebagaimana kebutuhan bumi terhadap turunnya hujan tatkala terjadi kekeringan dan paceklik. Maka ilmu merupakan mutiara yang sangat berharga bagi setiap muslim. Karena dengan ilmu jiwa jiwa manusia akan hidup dan sebaliknya jiwa-jiwa mereka akan mati apabila tidak dibekali dengan ilmu.

Sebagian orang-orang yang arif berkata “Bukankah orang yang sakit akan mati tatkala tercegah dari makanan , minuman dan obat¬-obatan? maka dijawab “Tentu saja, ” Mereka mengatakan “Demikian pula halnya dengan hati jika terhalang dari ilmu dan hikmah maka akan mati.”

Maka tepat jika dikatakan bahwa ilmu merupakan makanan dan minuman hati, serta penyembuh jiwa. karena kehidupan hati bersandar kepada ilmu. Maka apabila ilmu telah sirna dari hati seseorang berarti hakekatnya dia telah mati. Akan tetapi dia tidak merasakan kematian tersebut. Orang yang hatinya telah mati ibarat seorang pemabuk yang hilang akalnya (disebabkan maksiat yang dia lakukan )