Sunday, April 22, 2018

FIQH SIYASAH

Pengertian Fiqih Siyasi Fiqih Siyasiy terbentuk dari dua kalimat yaitu Fiqih dan siyasah. Fiqih berarti, pemahaman, kecerdasan dan pengetahuan. Sedangkan siyasah berarti pengendalian, manajemen, organisasi dan loyalitas. Maka fiqh Siyasi berarti organisasi negara dan apa-apa yang terkait dengannya meliputi hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara pemimpin dan rakyat serta hubungan luar negeri. Siyasah dalam Islam Siyasah atau politik dalam Islam adalah sistim pengaturan dan penataan negara berlandaskan syari’ah Islamiyah untuk menegakkan atau untuk mengaplikasikan syari’ah Islamiyah. Istilah lain yang sering digunakan adalah Imamah (kepemimpinan). Adalah mengatur dunia dengan agama dan menjaga agama dengan dunia. Ia terkait dengan kekuasaan dan cara penggunaan kekuasaan. Juga bagaimana memperoleh kekuasaan. Amal siyasi atau politik adalah bagian penting dalam kehidupan keislaman. Sangatlah aneh jika kaum muslimin memencilkan diri dari percaturan politik. Karena sebagaimana pengertian yang dikandungnya, terlibat dalam urusan politik adalah usaha nyata untuk menentukan nasib kaum muslimin sendiri. Memencilkan diri secara fisik dari percaturan dunia (‘uzlah) bukanlah dari ajaran Islam. Memang Rasulullah pernah ber’uzlah secara fisik sebelum beliau secara resmi dilantik Allah sebagai RasulNya. Tapi setelah itu beliau terjun dalam masyarakat dan berikhtiar untuk dapat mempengaruhi arah gerakan sosialnya. ‘Uzlah yang kemudian dikenal pasca bergulir dan berlangsungnya proses gerakan da’wah Islam itu adalah ‘uzlah untuk beribadah bertaqarub kepada Allah sebagai tanggung jawab hamba secara individual. Dasar-dasar Sistim Politik Islam 1. Hakimiyatullah Tujuan dari gerakan politik adalah untuk menegakkan syari’at Islam. Amal politik adalah berasal dari universalitas sistem Islam yang menghendaki tegaknya di muka bumi. Maka politik harus mengikuti patokan-patokan syari’at. Sarana-sarananya harus sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Ia tidak boleh menyimpang dari amal sholeh, tidak boleh menyalahi janji dan kesepakatan, tidak pragmatis dan tidak memutar balikkan fakta untuk mencapai tujuan. Dengan kata lain untuk mencapai tujuan, Islam tidak menghalalkan segala cara. Dalam khasanah politik barat kita mengenal Machiavelli yang mengajarkan kekerasan adalah salah satu cara yang kadang perlu dilakukan untuk memperoleh kekuasaan dan mencapai tujuan-tujuan politik. Ia juga mengajarkan bahwa musuh-musuh harus ditaklukkan secara total, jangan sampai ada celah atau kesempatan untuk mereka dapat menyusun kekuatan dan bangkit lagi. Maka jika ada kesempatan menang, pukullah lawan dengan pukulan yang mematikan sehingga tidak ada lagi lawan di masa datang. Yang ketiga penguasa perlu tampil seperti singa untuk menggertak jiwa-jiwa srigala, tapi harus bertindak seperti anjing pemburu untuk mengendus musuh-musuhnya dan bersikap seperti musang berbulu domba. Ia harus pandai menyebar perangkap sebagai upaya untuk mempertahankan kekuasaannya. Manusia pada umumnya bersikap sederhana dan terbuka sehingga akan mudah masuk kedalam perangkap penguasa yang suka menipu. Islam tidak mentolerir perilaku politik semacam ini. Allah SWT berfirman, “Mereka adalah orang-orang yang apabila Kami beri kekuasaan yang teguh di muka bumi, niscaya mereka menegakkan sholat, membayar zakat dan menyuruh manusia berbuat kebaikan serta mencegah kejahatan, dan bagi Allah saja kembalinya segala urusan” (Al Hajj : 41). 2. Musyawarah Syuro atau musyawarah adalah demokrasi Islami. Ia adalah sokoguru amal siyasi. Perbedaannya dengan demokrasi buatan manusia adalah ia dilandasi syari’at dan dipandu dengan patokan-patokan syari’at. Sedangkan demikrasi buatan manusia dilandasi oleh hawa nafsu manusia sehingga tidak memiliki patokan-patokan sama sekali dalam prakteknya. Syuro membawa konsekuensi tidak bolehnya memaksakan pendapat kepada pihak lain. Semua orang harus diberi kesempatan untuk memberikan pendapatnya. Sehingga diharapkan dapat dieksplorasi kemungkinan-kemungkinan solusi yang terbaik bagi permasalahan yang dimusyawarahkan. Selanjutnya pendapat yang disepakati sifatnya mulzimah (mengikat) semua yang terlibat. Maksudnya harus dilaksanakan oleh semua orang yang terlibat dalam syuro. Firman Allah dalam surat 61 ayat 2 dan 3 : “Hai orang-orang beriman mengapa kamu katakan apa-apa yang tidak kamu perbuat? Sangat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan”. Sesungguhnya Islam adalah agama demokrasi. Maka sekiranya ummat Islam berkuasa tidak akan menghalangi manusia untuk menyampaikan pendapatnya dalam musyawarah. Dalam aqidah Islam saja telah terkandung makna demokrasi. لا إكرَاهَ فِي الدين أو لَكُم دِينُكُم وَلِيَ الدِين. “Tidak ada paksaan dalam agama atau bagimu agamamu bagiku agamaku”. Dalam bidang fiqih misalnya juga telah berkembang berbagai madzhab yang berbeda satu sama lain. Kita akan menjaga dan kita adalah satu-satunya penjaga sistem syuro ini karena kitalah pemilik hakikat kebenaran. Sedangkan syuro adalah salah satu hakikat kebenaran itu. Biasanya pada pertarungan ide di lapangan politik, ketika musuh-musuh Islam mengalami kekalahan, mereka akan menggunakan kekuatan senjata yang mereka miliki untuk mengkhianati demokrasi yang mereka gembar gemborkan itu. 3. Keadilan Allah telah memberikan kemampuan kepada manusia untuk membuat aturan-aturan yang akan menjamin keadilan mereka di mula bumi. Prinsip prinsip keadilan menyebabkan perbuatan-perbuatan riba, bakhil, israf (berlebih-lebihan), penipuan, pemalsuan, berkata-kata kotor, namimah (menggunjing keburukan orang), adu domba menjadi haram. Dengan demikian manusia akan mampu melaksanakan perannya sebagai khalifah di muka bumi. Oleh karena itu berdirinya suatu negara dalam Islam haruslah bertujuan menegakkan keadilan dalam makna yang luas. Harus tegak bukan hanya keadilan hukum, melainkan juga keadilan sistem sosial dan ekonomi. Keadilan hukum telah jelas digambarkan Rasulullah dalam kasus pencurian yang dilakukan seorang wanita bani Makhzum. Beliau mengatakan bahwa jika Fathimah putrinya sendiri yang mencuri, beliau sendiri yang akan memotong tangannya. Sedangkan keadilan sisitem sosial dan ekonomi dapat dilihat pada beberapa ketentuan Islam tentang harta dan cara-cara pendistribusiannya. Misalnya Allah menetapkan al khumus (bagian seperlima) dari rampasan perang bagi Rasulullah. Al Khumus ini oleh Rasulullah dibagikan saja kepada orang-orang miskin. Perilaku ini kemudian dicontoh oleh para Khalifahnya. Allah juga menetapkan zakat, yaitu bagian yang harus dikeluarkan dari perolehan harta yang bergerak maupun yang tidak bergerak yang angkanya berkisar 2.5% hingga 20%, yang diperuntukkan bagi orang-orang miskin dan keperluan sosial lainnya yang relevan. Ibnu Hazm bahkan berpendapat bahwa jika dari besaran itu perolehan zakat ternyata belum cukup memenuhi kebutuhan, maka pemerintah dengan perangkat kekuasaannya dapat mengambil lagi dari orang-orang kaya sampai terselenggara keadilan ekonomi, bahkan dengan paksa jika perlu. Yaitu dengan aturan dan ketentuan diluar yang ditentukan Allah seperti zakat tersebut. 4. Kemerdekaan Manusia Kemerdekaan memungkinkan manusia beribadah dengan benar kepada Allah. Untuk itu Allah telah menjamin dua hal bagi manusia agar ia dapat hidup merdeka yaitu jaminan akan rizqinya dan jaminan atas umurnya. Dengan dibebaskannya manusia dari dua hal tersebut ia akan dapat memahami esensi ibadah yang sebenarnya kepada Allah. Esensi ibadah itulah hakikat kemerdekaan manusia seperti yang digambarkan dalam إيَّاكَ نَعبُدُو وَإيَّاكَ نَستَعِين , kepada Engkaulah kami beribadah dan kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. Dalam makna itu juga terkandung bahwa kemerdekaan berarti tanggung jawab untuk beramal. Amal adalah pembuktian dari iman kepada Allah. Iman kepada Allah adalah yang membebaskan manusia dari perbudakan manusia. Maka iman yang benar dibuktikan dengan amal sholih, itulah bukti kemerdekaan. Maka kemerdekaan akan menghasilkan produktifitas. Tak adanya produktifitas pada bangsa-bangsa muslim menyebabkan mereka menjadi pengikut bangsa-bangsa barat yang lebih produktif. Mental pengikut selamanya tidak merdeka, menganggap bangsa yang diikuti menolong mereka dalam masalah rizqi dan keselamatan. 5. Persamaan atau Kesetaraan Islam telah memandang bahwa manusia memiliki kedudukan setara diantara mereka. Tidak ada suatu golongan yang lebih tinggi atau lebih rendah dari golongan yang lain. Kemulyaan tidak diukur dari asal-usul ras dan keturunan, jenis kelamin, warna kulit, bahasa, faktor ekonomi, latar belakang sejarah dan budaya atau yang semacamnya. Kelebihan dan keutamaan dalam masyarakat manusia disebabkan oleh hal-hal seperti penguasaan atas ilmu pengetahuan, ketinggian akhlaq atau keshalihan amal-amal baik skala individu atau sosial. Tidak boleh suatu negara dibangun untuk melakukan diskriminasi atau bahkan penindasan terhadap suatu golongan tertentu. Setiap orang punya kedudukan yang sama di mata hukum dan undang-undang. Setiap orang punya hak yang sama dalam politik, kesempatan belajar, bekerja untuk kepentingan ekonominya dan lain-lain. 6. Pertanggungjawaban Penguasa-penguasa Islam harus selalu dapat mempertanggungjawabkan semua kebijakan politiknya. Di dunia mereka bertanggungjawab kepada rakyatnya. Apakah suatu keputusan yang dikeluarkannya benar-benar memberi manfaat bagi rakyat atau sebaliknya, haruslah menjadi bagian penting dari kegiatan pengelolaan kekuasaan yang diembannya. Jika kebijakannya tenyata gagal memenuhi kemaslahatan bagi rakyat maka ia dapat saja diturunkan dan diganti dengan orang lain, sebagai salah satu bentuk pertanggungjawabannya. Yang kedua di akhirat ia harus mempertanggungjawabkan kekuasaannya di hadapan pengadilan Allah. Kebijakan politiknya didunia bukan saja berimplikasi dunia tapi juga akhirat. Bahan Bacaan Al Ghozaly, Abdul Hamid, Ats Tsawabit wal Mutaghoyirat fil Amal Siyasiy. Assiba’iy, Musthofa, Sistim Masyarakat Islam, CV Mulya, Jakarta,1963. Garaudy, Roger, Janji-janji Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1982. Rais, Muhammad Amin, Cakrawala Islam, Penerbit Mizan, Bandung, 1987.