Friday, April 14, 2017

DEFINISI SEJARAH

oleh wahyu bhekti prasojo


Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia sejarah diartikan sebagai kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa yang lampau atau peristiwa penting yang benar-benar terjadi.[1] Pengertian ini memberi tekanan pada materi peristiwa yang terjadi di masa lampau, seolah peristiwa-peristiwa itu berdiri sendiri-sendiri, tidak saling terkait.  Padahal tidak semua peristiwa pada masa lampau dapat dimasukkan dalam lingkup sejarah. Yang masuk kedalam lingkup sejarah adalah kejadian, institusi dan pribadi yang mempunyai signifikansi secara historis, yaitu yang cukup punya pengaruh terhadap orang lain, kejadian-kejadian lain dan institusi-institusi lain, sehingga membuatnya bermanfaat untuk diingat.[2]


Pengertian yang lebih dinamis terkandung dalam kata history dalam bahasa Inggris yaitu; branch of knowledge dealing with past events, political, social, economic, of the country, continent or the world.[3]


Sedangkan dalam bahasa Arab, sejarah disebut dengan at Tarikh  (.(التاريخ  


جملة الأحوال والأحداث التي يمر بها كائن ما, ويصدق على الفرد والمجتمع, كما يصدق على الظواهر الطبيعية والإنسانية.[4]


Secara terminologis sejarah diambil dari bahasa Arab, syajaratun, yang berarti pohon atau silsilah, menjadi kata yang digunakan dalam bahasa Indonesia melalui perantaraan bahasa melayu.[5] Istilah ini kemudian banyak dikaitkan dengan silsilah, babad, tarikh, mitos, legenda dan sebagainya. Jadi sejarah adalah riwayat masa lampau yang menjelaskan asal dan proses suatu peristiwa.[6]


Kalimat syajarah ini memberikan gambaran analogis petumbuhan peradaban manusia dengan pohon yang tumbuh dari biji yang kecil menjadi pohon yang rindang dan berkesinambungan.[7] Nampaknya pengertian yang menjelaskan makna analogis sejarah itu adalah yang ditulis Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya:


Sejarah adalah catatan tentang masyarakat manusia atau peradaban dunia; perubahan-perubahan yang terjadi dalam sifat masyarakat itu seperti kekejaman, keramahan, dan solidaritas kelompok, golongan dan suku, revolusi-revolusi, pemberontakan-pemberontakan oleh sekelompok masyarakat terhadap masyarakat lainnya yang kemudian melahirkan kerajaan-kerajaan atau negara-negara, dengan berbagai macam tingkatannya, tentang perbedaan kegiatan-kegiatan dan kedudukan orang, baik untuk mencari penghidupan mereka, atau dalam berbagai ilmu pengetahuan dan pertukangan, dan pada umumnya bagi semua perubahanan yang terjadi dalam peradaban sebagai watak dari peradaban itu sendiri.[8]


Maka jelaslah bahwa sejarah bukan hanya berbicara tentang peristiwa itu sendiri tetapi juga tentang hubungan-hubungan dan dinamika-dinamika yang melatarinya dan mengiringinya.




[1] W.J.S. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,1991, hal.887.
[2] Hariyono, Mempelajari Sejarah Secara Efektif, Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, 1995, hal.88.
[3] A.S. Hornby, etc, The Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Oxford University Press, 1973, p. 469.
[4] Ibrahim Musthafa dkk, Al Mu’jam Al Wasith, Al Maktabah Al Islamiyah li Tiba’ah wa an Nasyr wa at Tawzi’, Istambul, 1972, hal.13.
[5] Hariyono, Mempelajari Sejarah Secara Efektif, op.cit, hal.51.
[6] Hariyono, ibid, hal.51.
[7] Ahmad Manshur Suryanegara, Menemukan Sejarah, Wacana Peregarakan Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, 1995, hal.21.
[8]Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, alih bahasa Ahmadie Thaha, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001, h.57.

MEMAHAMI GLOBALISASI

oleh wahyu bhekti prasojo




Globalisai adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas ruang dan waktu. Kata globalisasi sendiri berasal dari bahasa Inggris, global yang berarti sedunia, sejagat, atau mencakup keseluruhan dari suatu kelompok. [1]  Globalisasi adalah proses integrasi karakteristik lokal kepada arus global, yang sebagian besar dilakukan melalui teknologi komunikasi dan informasi. Meskipun awalnya –secara historis globalisasi- dipandang sebagai proses mengintegrasikan perekonomian lokal ke dalam ekonomi  dunia,  namun  globalisasi
merujuk kepada ruang di mana terjadi proses interaksi global melalui sarana teknologi komunikasi.[2]


Globalisasi adalah efek perkembangan ilmu pengetahuan, daya inovasi dan teknologi yang dibuat oleh manusia. Oleh karena itu menurut Nurcholish Madjid, globalisasi terjadi karena munculnya “Zaman Teknik” (Technical Age), yaitu adanya peran sentral teknikalisme serta bentuk-bentuk kemasyarakatan yang terkait dengan teknikalisme itu. Dengan tibanya zaman teknik itu, maka manusia sudah tidak lagi dihadapkan pada persoalan kulturalnya sendiri secara terpisah dan berkembang secara otonomi dari yang lain, tetapi terdorong menuju masyarakat global yang terdiri dari berbagai bangsa yang erat berhubungan satu dengan yang lain. [3]  


Perkembangan globalisasi terjadi begitu cepat dan masiv pada awal abad ke-20 dengan berkembangnya teknologi komunikasi. Kontak menggunakan media mampu menggantikan kontak fisik sebagai sarana komunikasi antar bangsa. Perkembangan ini menjadikan komunikasi antar bangsa semakin mudah di lakukan, menyebabkan semakin cepatnya perkembangan globalisasi kebudayaan.


Di era global koran dan majalah tidak menjadi sumber informasi yang utama karena sudah ada media online yang dapat diakses dan berubah tiap detik. Tidak hanya berita dari dalam negeri tetapi juga berita dari luar negeri dan segala penjuru dunia dapat di akses secara cepat, mudah dan murah.


Sebagai perkembangan sejarah, globalisasi bukanlah fenomena baru tapi perubahannya dapat diselidiki dalam hal skala, kecepatan dan kognisi. Dalam kerangka skala, hubungan ekonomi, politik dan sosial antara negara telah menjadi lebih dari sebelumnya. Globalisasi telah mengalami semacam kompresi temporal dan spasial dalam hal kecepatan yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Dalam kerangka kognisi yang dianggap dunia sebagai ruang kecil di mana setiap fenomena dan peristiwa memiliki beberapa konsekuensi pada kehidupan ekonomi, sosial dan politik.[4] Tidak ada satupun masyarakat yang tidak terkena dampaknya baik secara positif maupun negative. Globalisasi mampu mempengaruhi kondisi ekonomi, politik, budaya, perilaku kehidupan. Bahkan cara manusia makan dan minum pun tak luput terkena dampak dari globalisasi. Hampir tidak ada sisi kehidupan yang tidak terjangkau oleh perkembangan globalisasi. Sampai saat inipun belum ada tanda-tanda bahwa pengaruh tersebut akan berkurang.




[1] AS Hornby, Oxford Advanced Learners Dictionary of Current English, (Oxford, Oxford University Press, 1974), hal.366.
[2]  H. Tapper, “The Potential Risks of the Local in the Global Information society”,Journal of Social Philosophy,, 31, April 2000, hal.524.
[3] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, (Jakarta:Yayasan Wakaf PARAMADINA, 2000), 451-452.
[4] Hassan Danaeefard dan Tayebeh Abbasi, “Globalization and GlobalInnovation”, (2011), 67-80, http://cdn.intechopen.com/pdfs/17417/InTech- diakses pada 8 Februari 2015.

Wednesday, April 5, 2017

Dimensi Robbaniyah Ajaran Islam


oleh wahyu b prasojo

Yusuf Al Qaradhawy menjelaskan Rabbaniyah meliputi dua dimensi; yang pertama dimensi tujuan dan sudut pandang (rabbaniyah ghoyah wal wijhah) dan yang kedua dimensi sumber ajaran dan sistemnya (rabbaniyah mashdar wal manhaj).[1]

Maksud Rabbaniyah Ghoyah (Tujuan) dan Wijhah (sudut pandang) yaitu Islam itu menjadikan tujuan akhir dari ajaran-ajarannya jauh ke depan, yaitu untuk membangun hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridho-Nya. Hal ini pada gilirannya merupakan puncak cita-cita, usaha dan kerja keras manusia dalam kehidupan dimuka bumi.[2]

Sebagaimana firman Allah,

يا أيها الإنسان إنك كادح إلى ربك كدحا فملاقيه

“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Rabbmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya”. (QS. Al Insyiqaq :6).

Pada intinya segala sesuatu yang ada dalam Islam semata-mata dimaksudkan untuk menjadikan seseorang Ikhlash kepada Allah.  Karenanya ruh dan globalitas Islam adalah Tauhid atau mengesakan Allah.

Adapun maksud dari   Rabbaniyah Mashdar (sumber hukum)  dan Manhaj (sistem) adalah bahwa manhaj (metode/sistem) yang ditetapkan oleh Islam guna mencapai sasaran dan tujuan itu adalah Manhaj Rabbani yang murni dan sumbernya adalah Wahyu Allah yang turun kepada Rasulullah SAW. Dia tidak dibuat berdasarkan kecendrungan individual, kekeluargaan, kesukuan, kepartaian dan lain-lain yang sifatnya manusiawi.[3]

يا أيها الناس قد جاءكم برهان من ربكم وأنزلنا إليكم نورا مبينا

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu, (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Qur'an). (QS.An Nisaa:174). 

ويوم نبعث في كل أمة شهيدا عليهم من أنفسهم وجئنا بك شهيدا على هؤلاء ونزلنا عليك الكتاب تبيانا لكل شيء وهدى ورحمة وبشرى للمسلمين

(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami, bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (QS An Nahl:89).

Jadi sumber manhaj ini adalah datang dari Allah yang menginginkan petunjuk dan cahaya bagi hamba-hambaNya dalam menjalani hidup keseharian mereka sampai saat kembalinya tiba. Karena dalam agama Islam, ibadah itu mencakup keseluruhan kegiatan manusia dalam hidup di dunia ini, termasuk kegiatan yang sifatnya duniawi. Jika kegiatan itu dilakukan dengan sikap bathin yang berniat menghamba hanya kepada Allah saja.[4]

Secara rinci, Hasan Al Banna menguraikan Islam sebagai;

negara dan tanah air atau pemerintahan dan ummat, moral dan kekuatan atau kasih sayang dan keadilan, wawasan dan undang-undang atau ilmu pengetahuan dan hukum, materi dan kekayaan alam atau penghasilan dan kekayaan, serta jihad dan dakwah atau pasukan dan pemikiran. Sebagaimana juga ia adalah aqidah yang murni dan ibadah yang benar.[5]

Rasulullah sebagai da’i Allah mempunyai tugas menyeru kepada manhaj ini dan menjelaskan perintah-perintah Allah kepada manusia.

Dimensi-dimensi robbaniyah tersebut di atas jika dirumuskan dalam konsep ajaran dapat dirinci dengan rumusan sebagai berikut:

1. Islam adalah petunjuk yang sesuai untuk totalitas kesempurnaan manusia

Islam adalah  risalah bagi manusia dalam kapasitasnya sebagai makhluq yang sempurna. Islam sebagai risalah untuk manusia, mengatur dan mengarahkan akal, ruh, fisik, kemauan dan naluri maupun instink. Karenanya tidak ada pemisahan dalam mengatur dan mengarahkan  potensi yang dimiliki manusia, karena manusia merupakan makhluq Allah  yang sempurna dan satu eksistensinya, dimana ruhnya tidak berpisah dari materi dan materinya tidak berpisah dari akalnya.[6]

ضرب الله مثلا رجلا فيه شركاء متشاكسون ورجلا سلما لرجل هل يستويان مثلا الحمد لله بل أكثرهم لا يعلمون

Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah kedua budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. ( Az Zumar :29)

2. Islam adalah petunjuk bagi manusia dalam semua fase kehidupannya.

Risalah Islam adalah hidayah Allah yang senantiasa menyertai manusia kemanapun menghadap dan berjalan dalam perkembangan-perkembangan hidupnya. Islam menyertai manusia semenjak masih bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa dan sampai masa tua.[7] Dalam semua periode ini, Islam telah menetapkan bagi manusia manhaj terbaik yang dicintai dan di ridhai oleh Allah.

Sehingga dalam Islam kita mendapatkan hukum-hukum yang berkaitan  dengan manusia ketika kecil, muda, dewasa dan masa tua. Tidak ada jenjang kehidupan manusia yang berlalu begitu saja, kecuali Islam mempunyai taujih (arahan) dan syari’at (tata cara/ketentuan) didalamnya. Contoh dalam Al Qur’an:

والوالدات يرضعن أولادهن حولين كاملين لمن أراد أن يتم الرضاعة وعلى المولود له رزقهن وكسوتهن بالمعروف لا تكلف نفس إلا وسعها لا تضآر والدة بولدها ولا مولود له بولده وعلى الوارث مثل ذلك فإن أرادا فصالا عن تراض منهما وتشاور فلا جناح عليهما وإن أردتم أن تسترضعوا أولادكم فلا جناح عليكم إذا سلمتم ما آتيتم بالمعروف واتقوا الله واعلموا أن الله بما تعملون بصير

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS.Al Baqarah:233).

Bahkan lebih dari itu, syari’at Islam menaruh kepedulian kepada manusia semenjak belum lahir sampai setelah meninggal dunia.

3. Islam adalah petunjuk bagi manusia dalam segala sektor kehidupannya.

Diantara dimensi (makna) syumul dalam Islam adalah bahwa Islam merupakan risalah bagi manusia pada semua sektor kehidupan dan segala aktifitas kemanusiaannya.[8] Maka Islam tidak pernah meninggalkan satu aspekpun dari aspek-aspek kehidupan manusia kecuali dia mempunyai sikap didalamnya. Aqidah Islam telah menjawab seluruh pertanyaan manusia tentang alam semesta, manusia, kehidupan, dan menetapkan bahwa semuanya itu adalah makhluk. Pada intinya adalah Islam tidak akan membiarkan manusia berjalan sendiri tanpa hidayah dari Allah. Kemanapun dia melangkah  dan dalam aktifitas apapun  dia lakukan, apakah itu yang bersifat materiil ataupun spiritual, individu atau sosial, gagasan atau operasional, keagamaan atau politis.



[1] Yusuf Al Qorodhowy, Al Khashaish Al ‘Aammah lil Islam, (Beyrut, Muasasah Risalah, 1983), hal.9.
[2] Ibid, hal.9.
[3]Ibid, hal.36.
[4] Yunan Yusuf, Al Qur’an di Bumi, dalam Agama di Tengah Kemelut, Komarudin Hidayat et.al, (Jakarta, Mediacita, 2001), hal.347.
[5] Hasan Al Banna,op.cit, Jilid 1, hal.291-292.
[6] Yusuf Al Qorodhowy, op.cit, hal.108.
[7] Ibid, hal. 109
[8] Ibid, hal.111.

Mewujudkan Kemandirian Ekonomi Ummat


oleh wahyu b prasojo

         
            Ummat Islam harus memiliki berbagai kemampuan, pengalaman, sarana dan prasarana yang memungkinkannya berproduksi guna memenuhi kebutuhannya. Tanpa kemandirian secara ekonomi ummat Islam tidak akan memiliki izzah atau harga diri, sehingga bisa berdiri sejajar di hadapan bangsa-bangsa lain.

Di antara factor penting guna mewujudkan kemandirian bangsa adalah meningkatkan penguasaan teknologi pertanian, pengembangan medis dan obat-obatan serta penguasaan teknologi industry berat.[1]

Beberapa langkah menuju kemandirian ekonomi; antara lain:

  1. Optimalisasi asset sumber daya alam
    Kaum muslimin harus dapat mengelola sendiri sumber daya alamnya secara optimal. Jangan sampai mereka hanya menerima sisa dari hasil kerja orang lain yang memanfaatkannya. Oleh karena itu kaum muslimin harus menyiapkan:

  1. Sumber daya manusia yang tepat, yang sesuai dengan potensi kekayaan alam yang dimilikinya. Pada kasus Indonesia misalnya harus disiapkan sumber daya pertanian, pertambangan, perminyakan, kelautan dan perikanan dan sebagainya.
  2. Menyusun perencanaan yang matang. Perencanaan yang matang berdasarkan data-data statistic yang konkret, pengetahuan yang sempurna tentang realitas lapangan, mengenal kemampuan diri sendiri sehingga dapat menentukan prioritas pembangunan.
  3. Konsolidasi antar cabang produksi, jangan sampai terjadi ketimpangan hasil-hasil produksi sehingga masyarakat tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka secara seimbang. Ini salah satu hasil dari adanya perencanaan yang matang.

  1. Khazanah Perekonomian Islam
    Dewasa ini telah banyak bermunculan lembaga-lembaga ekonomi yang menggerakkan usahanya berdasarkan syari’at Islam. Sistem perbankan Islam memiliki kelebihan-kelebihan yang nyata, yang juga mulai diakui negara-negara maju di Eropa semacam Inggris, Jerman dll.
  2. Membangun Pasar Bersama Negara-negara muslim
    Sebuah perjanjian pasar bersama di antara negara-negara berpenduduk muslim akan menjamin keberlangsungan produksi mereka. Setiap produk dari negara-negara itu telah tersedia tempat pemasarannya. Dengan demikian akan terjamin pula keberlangsungan usaha penduduknya. Yang kedua pasar bersama diharapkan dapat lebih menjamin cadangan devisa negara-negara yang terlibat di dalamnya. Karena perputaran uang yang cendrung stabil di antara mereka.
  3. Penyatuan sistem mata uang Islam
    Meskipun ini bukanlah sebuah upaya seperti membalikkan telapak tangan, tapi kita optimis ia akan bisa diwujudkan suatu saat kelak. Kita sudah saksikan realitas bahwa Eropa telah berhasil memperkuat posisi keuangan mereka terhadap Amerika dengan menyatukan mata uang mereka. Selanjutnya yang kita harapkan dari penyatuan ini adalah digunakannya kembali mata uang intrinsic yaitu dinar dan dirham[2]. Mata uang dengan nilai intrinsic ini sesungguhnya adalah solusi yang nyata bagi inflasi yang seolah menjadi “barang wajib” dari hari ke hari.
    Pada awal 1970an nilai tukar dolar AS terhadap emas adalah $35 per ounce (31g). Pada tahun 2003, nilainya menjadi $350 per ounce. Jadi nilai dollar AS dalam kurun 30 tahun merosot hanya tinggal 1/10 nilai semula.[3]
    Harga 1 ekor ayam pada masa Rasulullah adalah 1 dirham,[4] harga ayam sekarang sekitar Rp 75.000,- (setara 1 dirham). Harga seekor kambing di zaman Nabi saw adalah 1 dinar[5], sekarang harga kambing sekitar Rp. 2.000,000,- (setara 1 dinar).



[1] Yusuf Qaradhawy, 2013,Malamih al Mujtama al Muslim,alih bahasa Abdus Salam Masykur & Nurhadi, Era Adicitra Intermedia, Surakarta, h.324.
[2] Dinar adalah koin emas 22 karat seberat 4,25gr. Dirham adalah koin perak murni seberat 2,975 gr.
[3] Zaim Saidi, 2003, Gemirincing Dinar, Muslihat Uang Kertas, Intisari Nomor 447, April 2003, h.173.
[4] Zaim Saidi,ibid, h.176.
[5] Loc.cit.