Saturday, February 10, 2018

Hukum Amar Ma'ruf Nahy Munkar

Tawfiq Al Wa’iy menyebutkan sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa ia adalah kewajiban kifayah. Ayat ini memuat dua hal: kewajiban amar ma’ruf nahi munkar dan bahwasanya hukumnya adalah fardhu kifayah. Karena berdasarkan ayat ini, kalimat “min” itu menunjukkan makna tab’idh, yaitu sebagian, yang menunjukkan hukum fardhu kifayah. Jadi dakwah menghendaki adanya suatu kelompok khusus dari kalangan kaum muslimin yang bekerja dibidang ini di tengah-tengah ummat manusia.
Maka kalimat ummat dalam ayat ini menurut Imam Al Maraghi adalah kelompok yang terbentuk dari individu-individu yang merasakan ikatan yang menyatukan mereka, kesatuan mereka itu seperti bersatunya anggota-anggota tubuh seseorang.
Berkata Imam Adh Dhahak: Mereka itu kekhususan bagi para sahabat dan kekhususan bagi para rawi, yaitu para mujahid dan ulama. Dakwah tidak dapat dikerjakan oleh setiap orang kecuali para ulama karena ia mengandung tiga hal yaitu dakwah kepada al khayr, amar ma’ruf dan nahi munkar.
Orang yang tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang tiga hal tersebut, mungkin akan mengajarkan sesuatu yang berbeda. Atau karena terbatasnya pengetahuannya ia mungkin melarang sesuatu yang tidak mungkar. Atau bersikap keras pada situasi lunak dan sebaliknya, atau mengingkari sesuatu yang justru dengan diingkari ia semakin bertambah kemunkarannya.
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa ia adalah fardhu ‘ain, berdasarkan firman Allah,
كنتم خير أمة أخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر وتؤمنون بالله ولو آمن أهل الكتاب لكان خيرا لهم منهم المؤمنون وأكثرهم الفاسقون
Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS Ali Imran[3] : 110)
Adapun pengertian hendaklah ada sebagian dari kalian…, bukanlah untuk menunjukkan makna tab’idh (sebagian) melainkan untuk tabyin (penjelasan), lil bayanil jinsi (menjelaskan jenis), yang berarti “hendaklah kalian seperti itu”.
Dengan demikian setiap mukallaf memiliki kewajiban amar ma’ruf nahy munkar, yang bisa ia lakukan dengan tangannya, lisannya, atau hatinya. Sebagaimana setiap orang wajib untuk menolak bahaya yang mengancam dirinya.
Disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda :
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
“Barang siapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, hendaklah ia mencegahnya dengan tangannya. Dan jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Dan jika masih tidak mampu juga, maka dengan hatinya, yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.”
Jalan tengah di antara kedua pendapat ini disampaikan Imam Ibnu Katsir bahwa makna yang dimaksud dari ayat ini ialah hendaklah ada segolongan orang dari kalangan umat ini yang bertugas untuk mengemban urusan ini, sekalipun urusan tersebut memang diwajibkan pula atas setiap individu dari umat ini, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah ini.
Demikian pula Imam Ar Raghib secara lebih rinci dan operasional, berdasarkan hadits tersebut di atas, menjelaskan,
bahwa hak semua manusia adalah menjadi khalifah Allah di bumiNya, dan menjadi pemimpin bagi manusia lainnya. Adapun kepimpinan itu terbagi menjadi tiga; kepemimpinan  manusia atas dirinya sendiri, kepeminpinan para ahli dan pakar  dan kepimpinan negara. Kepemimpinan negara adalah tanggung jawab para pemimpin. Mereka mangatur manusia dengan paksaan kekuasaan. Kewajiban orang-orang bijaksana dan ulama. – adalah dengan pemahaman dan pengajaran mereka – mereka mengatur manusia dengan cara mengajari mereka. Dengan yang demikian ini dakwah mejadi fardhu kifayah. Adapun kepemimpinan manusia atas dirinya sendiri adalah wajib bagi semua mukallaf untuk membatasi dan mencegah kemungkaran itu.
Jadi para pemimpin bertanggungjawab menegakkan yang makruf dan mencegah yang munkar dengan kekuasaan yang diamanahkan kepada mereka. Sementara para pakar dan ahli, maka dakwah adalah wajib karena mereka memiliki ilmu dan pengetahuan, maka ini adalah dasar dakwah sebagai fardhu kifayah. Sedangkan bagi manusia seumumnya, secara individual bertanggungjawab mengajak kepada yang makruf dan mencegah kemungkaran sekurangnya bagi dirinya, yaitu dengan membatasi menyebarnya kerusakan di sekitar diri dan lingkungannya. Dengan demikian dakwah adalah fardhu ‘ain. Pelakunya mendapat pahalanya seperti pahala berjihad dan menuntut ilmu, sebagaimana mereka juga diancam dengan dosa jika meninggalkannya, karena mengabaikan hak orang lain.

Wednesday, February 7, 2018

AL IHSAN

A. PENGERTIAN

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata tentang al-Ihsaan:

أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ ، فَإِنَّهُ يَرَاكَ

“Al-Ihsan adalah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihatNya, maka jika engkau tidak bisa melihatNya maka sesungguhnya Ia melihatmu” (HR Al-Bukhari dan Muslim)

B.MUROQOBATULLAH

Untuk bisa selalu berbuat ihsan, ada dua perkara yang mesti dilakukan seorang muslim. Yang pertama hendaknya ia senantiasa bermuroqobah.

Secara sederhana Abdullah Nashih Ulwan menjelaskan pengertian Muroqobah yaitu merasakan kesertaan Allah SWT atau perasaan seorang hamba yang selalu merasa diawasi oleh Allah SWT dalam setiap gerak hidupnya.

Muroqobah berdekatan dengan taqwa. Taqwa adalah sifatnya, muroqobah adalah kegiatannya. Taqwa adalah konsekwensi logis dari keimanan yang kokoh, keimanan yang selalu dipupuk dengan muroqobatullah; merasa takut terhadap murka dan adzab-Nya, dan selalu berharap limpahan karunia dan maghrifah-Nya.

C. IHSANULLAH

Yang kedua, hendaknya ia senantiasa menyadari bahwa Allah telah memberikan nikmatnya yang besar kepada semua makhlukNya (QS. 28:77, buka juga QS. 108: 1-3)

Nikmat Allah sungguh tak sanggup untuk dihitung. Sebagaimana dijelaskanNya pada bagian awal surat An Nahl, seperti hewan ternak, hujan, tumbuhnya berbagai tanaman (zaitun, kurma, dan anggur), peralihan malam dan siang, laut yang penuh dengan karunia Allah, gunung-gunung yang dijadikan sebagai pasak agar bumi tidak bergoncang dan bintang sebagai petunjuk arah serta penanda musim.

D. MA'IYATULLAH

Lalu pada ayat ke 18, Allah berfirman,

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ

“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nahl: 18).

Pada dasarnya manusia selalu kurang bersyukur, bahkan gak jarang ia juga bermaksiat. Tetapi Allah Maharahman, mentolerir kekurangan dan kemaksiatan, sebagai kesempatan untuk bertaubat.

Pada tempat yang lain, Allah berfirman;

كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَى نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ أَنَّهُ مَنْ عَمِلَ مِنْكُمْ سُوءًا بِجَهَالَةٍ ثُمَّ تَابَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَصْلَحَ فَأَنَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Tuhanmu telah menetapkan atas Diri-Nya rahmat (kasih sayang), yaitu bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-An’aam [6]: 54).

Imam Ibnul Qoyyim menegaskan, bahwa Allah tidak lain adalah Zat Pemberi Kebaikan sedangkan manusia selalu lalai dan berbuat maksiat pada setiap kebaikan Allah yang diterimanya. Maka berbahagialah bagi yang mengerti tentang Rabbnya kemudian mengakui kesalahan-kesalahannya di hadapanNya.

Imam Ibnu Jarir Ath Thobari berkata, “Sesungguhnya Allah memaafkan kekurangan kalian dalam bersyukur. Jika kalian bertaubat, kembali taat dan ingin menggapai ridho Allah, Dia sungguh menyayangi kalian dengan ia tidak akan menyiksa kalian setelah kalian betul-betul bertaubat.”

Jadi sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak pernah meninggalkan hamba-hambanya yang bermaksiat kepadaNya, memberinya waktu untuk bertaubat sambil tetap saja mengawasi segala perbuatan, juga tetap memberi nikmat dan karunia. Tidakkah seharusnya kita malu? Tidakkah seharusnya kita selalu berbuat baik? Untuk membalas kebaikanNya, juga menambal kurangnya syukur kita?