Oleh Wahyu B. Prasojo
وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
"...adapun orang-orang beriman amat sangat cintanya kepada Allah...(Al Baqarah:165)
Kecintaan seseorang kepada Allah wajib ada di atas segala bentuk kecintaannya kepada selain-Nya, karena cinta Allah adalah dasar dari agama Islam ini, dengan sempurnanya cinta ini pada hati seseorang, menjadi sempurna pula keimanannya, dan sebaliknya, dengan berkurangnya kadar kecintaan seseorang kepada Allah, akan berkurang pula keimanannya.
Sebagaimana penjelasan Imam Ibnul Qoyyim bahwa dasar cinta terpuji yang Allah Ta’ala perintahkannya dan Allah ciptakan makhluk karenanya adalah mencintai Allah semata, tiada sekutu baginya. Cinta Allah mengandung peribadahan kepada-Nya semata dan tidak menyembah selain-Nya, karena sesungguhnya ibadah mengandung puncak cinta diiringi dengan puncak perendahan diri. Sikap ini tidak boleh dipersembahkan kecuali kepada Allah Azza wa Jalla semata”
Imam Al Ghazali menjelaskan, adapun kecintaan kepada Allah akan melingkupi (mencelup) hati, kecintaan ini membimbing hati dan bahkan merambah ke segala hal.
Imam Ibnul Qoyyim menjelaskan, ada yang berpendapat, arti cinta yang hakiki ialah menyerahkan apapun yang ada pada dirimu kepada orang yang di cintai, sehingga tak ada lagi yang menyisa.
Cinta sejati memiliki tanda-tanda. Kasih sayang yang tulus menuntut bukti-buktinya. Adalah seorang wanita dari keturunan Bani Dinar. Saat suami, ayah, saudara laki-lakinya pergi ke medan Uhud lalu mereka semua mati syahid di jalan Allah, berita kematian mereka pun sampai kepadanya. Lalu wanita itu memandang Rasulullah kemudian mengatakan: “musibah apapun selainmu adalah kecil”
Ibnul Qoyyim juga menjelaskan bahwa cintalah yang menggerakkan orang yang mencintai sesuatu mencari sesuatu tersebut. Maka orang yang mencintai Allah dengan benar dan baik, akan tergerak untuk mencari perkara yang dicintai oleh Allah pada setiap ucapan maupun perbuatannya. Lahirnya maupun batinnya akan ia pantau terus agar sesuai dengan kecintaan dan keridhaan Rabbnya. Inilah yang kita fahami sebagai definisi ibadah.
Perkara yang dicintai oleh Allah terdapat dalam syari’at-Nya yang dibawa oleh Rasul-Nyashallallahu ‘alaihi wa sallam, mencintai Allah yang benar adalah dengan mengikuti Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
"Katakanlah (Muhammad) jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah oleh kalian akan aku. Maka Allah akan mencintai kalian..."(Ali Imran:31)
Mengikuti jalan hidup Rasulullah berarti menempuh jalan dakwah. Ia adalah wujud dan bukti cinta. Maka sahabat Rasulullah, Abdullah bin Mas'ud ra berpesan, "jadilah kalian sumber mata air ilmu; lampu-lampu (cahaya) petunjuk yang menetap di rumah rumah; pelita di waktu malam yang hatinya selalu baru, yang kusut pakaiannya, dan dikenal oleh penduduk langit, tetapi tersembunyi dari penduduk bumi.
Ustadz Rahmat Abdullah pernah berpesan, dan cinta akan meminta semuanya dari dirimu. Sampai pikiranmu. Sampai perhatianmu. Berjalan, duduk dan tidurmu. Bahkan di tengah lelapmu, isi mimpimu pun tentang dakwah. Tentang umat yang kau cintai. Menyedot saripati energimu. Sampai tulangmu. Sampai daging terakhir yang menempel di tubuh rentamu. Tubuh yang luluh lantak diseret-seret. Tubuh yang hancur lebur dipaksa berlari.
Muhammad Idris asy Syafi'iy memperingatkan, "Lalu, jika kalian sudah berada di jalur menuju Allah, maka berlarilah.
Jika itu sulit bagimu, maka berlari kecillah.
Jika engkau lelah, maka berjalanlah. Namun jangan pernah berbalik arah atau berhenti".
Wallahu'a'lam bishawwab.
Saturday, December 24, 2016
Friday, December 9, 2016
Hadits Dakwah : Agama adalah Nasihat
oleh wahyu bhekti prasojo
1. Teks dan
Sanad Hadits
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبَّادٍ الْمَكِّيُّ،
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، قَالَ: قُلْتُ لِسُهَيْلٍ: إِنَّ عَمْرًا حَدَّثَنَا عَنِ
الْقَعْقَاعِ، عَنْ أَبِيكَ، قَالَ: وَرَجَوْتُ أَنْ يُسْقِطَ عَنِّي رَجُلًا،
قَالَ: فَقَالَ: سَمِعْتُهُ مِنَ الَّذِي سَمِعَهُ مِنْهُ أَبِي كَانَ صَدِيقًا
لَهُ بِالشَّامِ، ثُمَّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ سُهَيْلٍ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ
يَزِيدَ، عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، قَالَ: «الدِّينُ النَّصِيحَةُ» قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: «لِلَّهِ
وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ»[1]
2. Terjemah Hadits
Dari Tamiim ad Dariy ia berkata: Bersabda Rasulullah shallallahu’alayhi
wasallam : Sesungguhnya Agama adalah Nasihat. Kami berkata: Bagi siapa wahai
Rasulullah? Beliau bersabda: Bagi Allah dan kitabNya, dan RasulNya, bagi para
pemimipin ummat Islam dan seluruh kaum muslimin.(HR. Muslim)
3. Takhrij
Hadits
Hadits
ini diriwayatkan Imam Muslim dari riwayat Suhayl bin Abu Shalih dari Atha’ bin
Yazid Al Laitsi dari Tamim Ad Dariy. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim
pada Bab Bayan ana al Diin an Nashihah. Imam An Nawawi berkata, “Dalam
Shahih Bukhory tidak ada hadits ini, sedangkan pada Shahih Muslim hanya pada
bab ini, tidak ada pada tempat lainnya.[2]
Hadits
ini juga diriwayatkan Imam At Turmudzy dari jalur Suhayl dari Abu Shalih dari
Abu Hurayrah.[3] Sebagian
ulama menshahihkan kedua jalur tersebut, tetapi ada ulama yang hanya
menshahihkan yang dari jalur Tamim Ad Dariy.[4]
Imam
Abu Dawud juga meriwayatkan hadits ini dalam Sunannya, Bab Fi an Nashihah,
Juz 4 halaman 286, hadits nomor 4944. Syaikh Al Albany menshahihkannya.[5]
Demikian pula oleh Imam An Nasa’iy dalam Sunan An Nasa’iy, yaitu pada Bab An
Nashihah lil Imam, juz 7 halaman 156. [6]
Adapun Tamim Ad Dariy adalah salah seorang Sahabat Nabi saw, yang
banyak melakukan sholat tahajjud. Beliau masuk Islam pada tahun ke 9 H. Pasca
terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan ra, beliau pindah ke Syam dan menetap di
Palestina hingga wafatnya pada tahun 40 Hijriyah.[7]
4. Penjelasan
Hadits dan pelajaran
a.
Nashihat
adalah ucapan yang dimaksudkan untuk perbaikan.[8]Nabi
saw menjelaskan bahwa agama adalah nasihat. Ini menunjukkan bahwa nasihat itu
mencakup seluruh bagian-bagian Islam, Iman dan Ihsan seperti dijelaskan dalam
hadits Jibril, dan beliau menyebutnya sebagai agama.[9]
Sedangkan maksud dari Agama adalah Nashihat dalam hadits ini adalah bahwa tiang
yang menegakkan agama adalah nasihat.[10]
Ini adalah bentuk kalimat yang menjelaskan pentingnya sebuah amal di antara amal-amal
yang lain, dalam sebuah proses yang besar, seperti perkataan Nabi yang lainnya,
haji adalah ‘arofah. Yakni tiang dan hal utama dalam haji adalah wukuf di
Arofah.[11]Imam
Abu Sulayman Al Khataby mengatakan, “Nasihat adalah kata yang menjelaskan
sejumlah hal, yaitu yang menginginkan kebaikan kepada orang yang diberi
nasihat. Asal kata nasihat menurut bahasa ialah murni. Nashahtu al Asala,
maksudnya engkau memurnikan madu tersebut dari lilin.”[12]
Abu Amr bin Ash Shalah berkata, “Nasihat adalah kata universal yang mencakup
pengerjaan oleh pemberi nasihat terhadap sejumlah kebaikan; dalam bentuk
keinginan dan amal perbuatan, untuk pihak penerima nasihat.”[13]
b.
Nasihat
untuk Allah ialah mentauhidkanNya, mensifatiNya dengan sifat-sifat kesempurnaan
dan keagungan, membersihkanNya dari apa saja yang berlawanan dan menyalahi
sifat-sifatNya, menjauhi maksiat, ta’at dan cinta kepadaNya dengan ikhlas,
mencintai dan membenci karenaNya dan mendorong manusia berjihad di jalanNya.[14]
Syaikh Muhammad Fuad Abdul Baqy menambahkan bahwa nasihat kepada Allah pada
hakikatnya adalah seorang hamba menasihati jiwanya sendiri karena Allah tidak
membutuhkan nasihat.[15]
c.
Adapun
nashihat bagi kitab Allah adalah beriman kepadanya, mengagungkan dan
membersihkannya, membacanya dengan bacaan yang benar, memikirkan perintah dan
larangannya, memahami ilmu, mengkaji ayat-ayatnya, mengajak manusia kepadanya
dan membelanya dari pelecehan orang kafir dan yang melampaui batas.[16]
d.
Sedangkan
nashihat bagi Rasulullah saw adalah membenarkan risalahnya dan beriman kepada
semua yang dibawanya, hormat dan patuh kepada beliau. Menghidupkan sunnah
beliau dan menyebarkannya.[17]
e.
Nasihat
bagi pemimpin kaum muslimin adalah menolong mereka dalam kebenaran dan mematuhi
mereka karena kebenaran dan mematuhi kebenaran yang mereka perintahkan,
mengingatkan mereka kepada kebenaran, menasihati mereka dengan santun, tidak
menyerang mereka serta mendoakan mereka.[18]
Adapun yang dimaksud pemimpin kaum muslimin adalah para Khalifah dan yang
lainnya yang mengurusi kaum muslimin, yang memegang wewenang.[19]
f.
Adapun
nashihat bagi kaum muslimin secara umum membimbing mereka kepada kemaslahatan
dunia dan akhirat mereka. Mengajari mereka dalam urusan dunia dan akhirat,
menutup aurat mereka, menolong dan membela mereka, mencintai kebaikan bagi
mereka dan lain-lain.[20]
g.
Nashihat
adalah Islam itu sendiri. Di mana, Islam dilakukan melalui ucapan dan
perbuatan.[21] Maka
saling menasihati adalah hal penting yang mengokohkan bangunan masyarakat
Islam. Mengenai pentingnya nasihat beberapa Ulama’ menjelaskan tentang nashihat[22]:
Hasan Al Bashry berkata, bahwa beberapa sahabat Nabi pernah
berkata, “Demi Dzat yang jiwaku ada di tanganNya orang yang paling dicintai
Allah adalah orang yang menyebabkan Allah mencintai hambaNya, menyebabkan hamba
cinta kepada Allah, dan menyebarkan nashihat di muka bumi.”
Abu Bakar al Mazny berkata, “Yang menjadikan Abu Bakar lebih tinggi
derajatnya dibanding sahabat-sahabat lainnya bukanlah puasa atau sholat. Akan
tetapi karena sesuatu yang ada dalam hatinya, yaitu kecintaan kepada Allah dan
nashhat terhadap makhluqNya.”
Fudhail bin Iyadh berkata, “Orang yang berjumpa kami tidak melihat
kami banyak sholat dan puasa, namun ia melihat kami karena murah hati, lapang
dada dan suka memberi nashihat kepada ummat.”
[1]
Muslim bin Hajjaj Abul Hasan Al Qusyairy An Naysabury, Shahih Muslim,
tahqiq Muhammad Fu’ad Abdul Baqy, Darul Ihya at Turats Al Araby, Beyrut, Juz 1,
hal 74.
[2]
Musthofa Dieb al Bugho & Muhyidin Misthu, Al Wafiy, Syarah Kitab
Arba’in An Nawawiyah, alih bahasa Muhil Dhofir, Al I’tishom,
Jakarta, 2013, hal.38.
[3]
Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin Ad Dhahak At Turmudzy, Sunan At
Tirmidzy, Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafa Al Baaby Al Halaby,
Mesir, 1975, Juz 4, hal 324.
[4]
Zaynudin Abdurrahman bin Ahmad ad Dimasyqi Al Hambali, Ibnu Rajab, Jami’ul
Ulum wal Hikmah, alih bahasa Fadhli Bahri, Darul Falah, Jakarta, 2011,
hal.165.
[5]
Abu Dawud Sulayman bin Asy’ats Al Azdy As Sijistany, Sunan Abu Dawud,
tahqiq Muhammad Muhyidin Abdul Hamid, Al Maktabah Al ‘Ashriyah Shida Beyrut,
Juz 4 hal.286.
[6]
Abu Abdurrahman Ahmad bin Syu’ayb ‘Ali al Khurasany an Nasa’iy, Sunan An
Nasa’iy, tahqiq Abdul Fattah abu Ghuddah, Maktab Al Mathbu’at Al
Islamiyah, Halab, 1986, Juz 7, hal.156.
[7]
Musthofa Dieb al Bugho & Muhyidin Misthu, op.cit, hal.428.
[8]
Ibid, hal.39.
[9]
Ibnu Rajab, op.cit, hal.169.
[10]
Muslim bin Hajjaj Abul Hasan Al Qusyairy An Naysabury, loc.cit,
juz 1, hal.74.
[11]
Muslim, ibid.
[12]
Ibnu Rajab, op.cit, hal.170.
[13]
Ibid, hal. 173.
[14]
Ibid, hal. 173.
[15]
Muslim, loc.cit.
[16]
Ibnu Rajab, loc.cit.
[17]
Ibid, hal. 173.
[18]
Ibid, hal.173.
[19]
Muslim, loc.cit.
[20]
Ibnu Rajab, loc.cit.
[21]
Musthofa Dieb al Bugho & Muhyidin Misthu, op.cit, hal.44.
[22]
Ibnu Rajab, op.cit, hal.175.
TEORI DAKWAH
oleh wahyu bhekti prasojo
PENGERTIAN-PENGERTIAN
1. DEFINISI TEORI
Secara
bahasa, teori adalah suatu pendapat yang dikemukakan sebagai suatu keterangan
mengenai suatu peristiwa atau kejadian; juga berarti asas-asas dan hukum-hukum
umum yang menjadi dasar suatu kesenian atau ilmu pengetahuan. Teori juga dapat
berarti pendapat, cara-cara dan aturan-aturan untuk melakukan sesuatu.[1]
Menurut
Oxford Reference Dictionary, teori adalah: A system of ideas
formulated (by reasoning from known fact) to explain something. An opinion,
supposition in general (opp. practice) an exposition of the principles on wich
a subject is based.[2]
Sedangkan
secara istilah, para ahli banyak memberikan pengertian teori. Agak dekat dengan
pengertian secara bahasa, Snelbecker mendefinisikan teori sebagai seperangkat
preposisi yang berinteraksi secara sintaksi(yaitu yang mengikuti aturan
tertentu yang dapat dihubungkan secara logis dengan yang lainnya dengan data
atas dasar yang dapat diamati) dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan
dan menjelaskan fenomena yang diamati.[3] Sarlito
Wirawan menyatakan dengan ringkas, teori adalah serangkaian hipotesa atau
preposisi yang saling berhubungan tentang suatu gejala (fenomena) atau sejumlah
gejala.[4]
Marx dan Goodson,
menyatakan :
Teori adalah aturan yang
mejelaskan proposisi atau seperangkat preposisi yang berkaitan dengan beberapa
fenomena alamiah dan terdiri atas representasi simbolik dari (1)
hubungan-hubungan yang dapat diamati di antara kejadian-kejadian (yang dapat
diukur), (2) mekanisme atau struktur yang diduga mendasari hubungan-hubungan
demikan, dan (3) hubungan-hubungan yang disimpulkan serta manifestasi hubungan
empiris apa pun secara langsung.[5]
Berdasarkan
pengertian-pengertian di atas, dapat difahami bahwa teori setidaknya terdiri
dari tiga bagian yaitu; merupakan ringkasan fakta-fakta, merupakan perkiraan
tentang implikasi (akibat) dari fakta-fakta tersebut dan kemungkinan hubungan
antara fakta-fakta tersebut.
Dengan bahasa yang lain
teori dapat diperinci sebagai berikut:
1.
Teori adalah serangkaian proposisi antar
konsep-konsep yang saling berhubungan,
2.
Teori menerangkan secara sistematis suatu
fenomena sosial dengan cara menentukan hubungan antar konsep,
3.
Teori menerangkan fenomena tertentu dengan
cara menentukan konsep mana yang berhubungan dengan konsep lainnya dan
bagaimana bentuk hubungannya.
2. FUNGSI DAN KEGUNAAN
TEORI
Secara umum, teori
mempunyai tiga fungsi yaitu untuk menjelaskan, meramalkan dan pengendalian
suatu gejala.[6]
Sedangkan Glaser dan Strauss yang lebih focus dalam bidang sosiologi, menyatakan
fungsi teori sebagai berikut[7]:
1.
Memberikan kesempatan untuk meramalkan dan
menerangkan perilaku,
2.
Bermanfaat dalam menemukan teori
sosiologi,
3.
Digunakan dalam aplikasi praktis-peramalan
dan penjelasannya harus memberikan pengertian kepada para praktisi dan beberapa
pengawasan terhadap situasi,
4.
Memberikan perspektif bagi perilaku, yaitu
pandangan yang harus dijaring dari data,
5.
Membimbing serta menyajikan gaya bagi
penelitian dalam beberapa bidang perilaku.
Kedua
pandangan di atas memiliki kesamaan bahwa teori berfungsi untuk menjelaskan,
meramalkan dan mengontrol gejala atau fenomena. Teori sebagai alat Eksplanasi
berusaha menjelaskan melalui gejala-gejala yang timbul dalam satu permasalahan.
Misalnya: munculnya gerakan-gerakan yang menggunakan pola teror dipahami
sebagai bentuk perlawanan terhadap keangkuhan sebuah negara Adi Kuasa.
Kemudian,
Teori sebagai alat Peramal memberikan bentuk-bentuk prediksi tentang apa yang
akan terjadi. Misalnya: berdasarkan cara negara-negara barat seperti Amerika
menghadapi gerakan terror, justru akan menumbuh-suburkan gerakan-gerakan
ekstrim di berbagai-bagai wilayah sebagai bentuk perlawanan.
Sedangkan
Teori sebagai Alat pengontrol bukan hanya meramalkan tetapi juga memberikan
kemungkinan-kemungkinan solusi berdasarkan ramalan yang diajukan dari gejala-gejala yang difahami di lapangan.
Misalnya: karena terorisme adalah akibat dari ketidak-adilan yang dirasakan
sebagian kelompok di dunia, maka ia mungkin dapat diminimalisir dengan antara
lain; membangun dialog timur dan barat, menciptakan hubungan yang lebih adil
antara timur dan barat.
3. PENGERTIAN DAKWAH
Secara
bahasa, dakwah mengandung makna: nida (panggilan), juga bermakna
mendorong kepada sesuatu atau mendukungnya; mengajak kepada sesuatu yang ingin
diadakan atau dihindarkan, baik benar ataupun salah; juga mengandung makna
upaya melalui perkataan atau perbuatan untuk mempengaruhi orang lain agar
mengikuti suatu madzhab atau agama; dapat pula bermakan memohon atau meminta.[8]
Sedangkan
secara istilah kalimat dakwah itu tidak jauh maknanya dari makna bahasa di
atas, yaitu upaya mengajak manusia lewat ucapan dan perbuatan kepada Islam,
menerapkan manhajnya, meyakini aqidahnya dan melaksanakan syari’atnya.[9]
Dengan kata lain, dakwah adalah usaha untuk mempengaruhi orang lain agar mereka
bersikap dan bertingkahlaku seperti apa yang didakwahkan, yaitu Islam.[10]
KESULITAN MEMBUAT TEORI
DALAM BIDANG DAKWAH
Secara
sejarah, dakwah adalah kegiatan yang langsung terikat dengan agama Islam sejak
awal diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Sehingga untuk menuliskan tentang
sejarah dakwah adalah hal yang relative mudah. Berbeda dengan dakwah secara
kelimuan. Ilmu dakwah adalah sesuatu yang baru di antara ilmu-ilmu Islam yang
lain. Sebagai disiplin ilmu yang masih baru, ilmu dakwah belum memiliki tradisi
keilmuan yang mapan dibanding dengan disiplin ilmu yang lain, termasuk di
antara sesame ilmu-ilmu keagamaan yang lain.[11]
Meskipun demikian, perkembangan ilmu dakwah tidak bisa lepas dari sejarah
dakwah itu sendiri.
1. KAITAN DAKWAH DENGAN
ILMU SOSIAL MODERN
Beberapa
sarjana Muslim percaya bahwa perkembangan dan focus ilmu-ilmu social modern
dapat dengan baik digunakan untuk telaah Islam.[12] Ilmu-ilmu
social semacam sosiologi, komunikasi, psikologi, anthropologi dan semacamnya dapat
menjadi alat bantu untuk memperkokoh kerangka dan bangunan disiplin ilmunya. Karena
pada tataran praktis, dakwah adalah peristiwa komunikasi. Dari sisi tujuannya
dakwah bersinggungan dengan ilmu sosiologi. Untuk mencapai efektifitas kerjanya
dakwah memerlukan untuk memahami latar belakang obyek dakwah secara psikologis,
anthropologis dan latar budaya yang lain.[13]
Meski
Abuddin Nata memperingatkan untuk tidak menggunakan pendekatan Eropa secara mentah-mentah
dalam memahami kebenaran-kebenaran Islam.[14] Maka
harus diupayakan dengan sangat serius agar tidak sekedar menempelkan
idiom-idiom istilah dan pengertian-pengertian dalam ilmu-ilmu yang dipinjam itu
secara semena-mena terhadap kandungan makna dakwah. Untuk itu Abubaker A.
Bageder mengusulkan untuk menyertakan perspektif-perspektif Islam ke dalam
ilmu-ilmu social modern, untuk mengimbangi “bias” pandangan Barat.[15]
Proses ini akan membantu ilmu-ilmu social dalam menganalisa dan memahami
realitas masyarakat Islam dan gerak sosialnya, berkaitan dengan dakwah itu
sendiri.
2. MENUJU KEMANDIRIAN
ILMU DAKWAH
Meski demikian, menurut
Jalaludin Rakhmat, dakwah dewasa ini telah menjadi ilmu mandiri, karena secara
metodologis dakwah telah memiliki syarat-syaratnya yaitu:
(1). Mempunyai
akar sejarah yang jelas. (2). Ada orang-orang yang dikenal sebagai ahli ilmu
dakwah yang mengembangkannya. (3). Ada masyarakat akademis yang menaruh
perhatian pada ilmu dakwah. (4). Diakui oleh lembaga-lembaga akademisi yang
memiliki reputasi ilmiah. (5). Ada sejumlah penelitian yang mengembangkan
metode-metode baru dalam ilmu dakwah.[16]
Ismail
Raji Al-Faruqi mengusulkan agar syarat-syarat tersebut dikerjakan dengan
beberapa tahap[17],
yang pertama agar orang-orang yang dikenal ahli mesti dihimpun dalam usaha
bersama untuk menyadarkan pentingnya pengembangan keilmuan. Kedua, himpunan ini
juga melibatkan universitas-universitas Islam yang diwakilinya secara
kelembagaan dengan segala sarana dan fasilitasnya, sehingga dapat tersedia
setidaknya ruang kelas dan gedung kuliah sebagai laboratorum buat penelaahan
berbagai penemuan. Ketiga, mengidentifikasi anggotanya dan membagi tugas secara
hierarkis intelektual dan akademis untuk menyusun kerangka kerja penelitiannya
dan ruang lingkupnya. Yang keempat, merancang latihan dan pendidikan untuk
melengkapi berbagai kecakapan yang dibutuhkan. Dengan tersedianya sumberdaya
pengkajian dan penelitian akan menjamin berkembangnya penemuan-penemuan baru
dan karya-karya ilmiah dalam lapangan ilmu dakwah yang berkesinambungan.[18]
Kemudian
menyusun kepustakaan secara topical sesuai dengan disiplin yang dibangun. Karena
tradisi belajar dunia Islam yang sangat kaya, belum dapat dimanfaatkan secara
optimal akibat terkubur di bawah judul-judul yang tidak terkategorisasi secara
sitematis.[19]
Begitu pula yang terjadi dalam akar historis dakwah, yang belum terrekonstruksi
secara sistematis sehingga dapat dibaca dengan perspektif dakwah.[20]
Maka diperlukan sebuah usaha untuk merelokasi topic-topik literature ke dalam
bagian-bagian yang relevan sesuai dengan disipilin ilmu dakwah, juga relevan
terhadap gerak social masyarakat yang dikenai dakwah.
[1]
W.J.S Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta Balai
Pustaka, 1991) hal.1055.
[2]
Joyce
M. Hawkins, The Oxford Reference,(Great Britanian: Lcarendon
Press Oxford, 1990), hal. 854.
[3]
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung,
Remaja Rosdakarya, 2013), hal.57
[4]
Sarlito Wirawan Sarwono,Teori-teori Psikologi Sosial, (Jakarta,
Rajawali Press, 1984), hal.5.
[5]
Lexy J.Moleong, loc.cit, hal.57.
[6]
Sugiyono, Cara Mudah Menyusun Skripsi, Tesis dan Disertasi,
(Bandung, Alfabeta, 2013), hal.56.
[7]
Lexy J. Moleong, op.cit, hal.58.
[8]
Taufiq Al Wa’iy, Dakwah ke Jalan Allah, alih bahasa Muhith M
Ishaq, (Jakarta, Robbani Press, 2010) hal.10-11.
[9]
Jum’ah Amin Abdul Aziz, Fiqih Dakwah, alih bahasa Abdus Salam
Masykur, (Solo, Intermedia,1998), hal.29.
[10]
Achmad Mubarok, Psikologi Dakwah, (Malang, Madani Press, 2014),
hal.27.
[11]
Ahmad Anas, Paradigma Dakwah Kontemporer, (Semarang, PT Pustaka
Rizki Putra 2006), hal.2.
[12]
Abubaker A. Bageder (ed), Islamisasi Ilmu-ilmu Sosial, alih bahasa
Muchtar Effendi Harahap dkk, (Jogjakarta, Pusat Latihan, Penelitian dan
Pengembangan Masyarakat , 1985), hal.1.
[13]
Achmad Mubarok, op.cit, hal.28.
[14]
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta Rajawali Press,
2009), hal.206.
[15]
Abubaker A. Bageder, loc.cit, hal.1.
[16]
Ahmad Anas, op.cit, hal.6.
[17]
Ismail Raji Al Faruqi, Mengislamkan Ilmu-ilmu Sosial, dalam Abubaker A.
Bageder(ed), Islamisasi Ilmu-ilmu Sosial, hal.19-20.
[18]
Ahmad Anas, op.cit, hal.28.
[19]
Ismail Raji Al Faruqi, ibid, hal. 21.
[20]
Ahmad Anas, loc.it, hal.6.
Manusia, Arsitek Peradaban
oleh wahyu bhekti prasojo
Di dalam Al-Qur’an, Allah SWT menamakan manusia dengan
alinsan, annas dan albasyar. Sebagai manusia, kita perlu memahami makna-makna
tersebut agar dapat menangkap hakikatnya untuk selanjutnya menjalani kehidupan
sebagai manusia sebagaimana yang Allah SWT kehendaki, yakni mengabdi
kepada-Nya. Allah SWT berfirman: “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia
kecuali untuk mengabdi kepada-Ku” (QS.51:56).
Al Insan
Menurut Quraish Shihab, al insan terambil dari akar
kata yang berarti bergerak, lupa dan merasa bahagia atau senang. Ketiga arti
ini menggambarkan sebagian dari sifat atau ciri khas manusia. Ia bergerak
bahkan seharusnya memiliki dinamisme; ia juga memiliki sifat lupa atau
semestinya melupakan kesalahan-kesalahan orang lain dan ia pun merasa senang
bila bertemu dengan jenisnya atau seyogianya selalu berusaha memberi kesenangan
dan kebahagiaan kepada diri dan makhluk-makhluk lainnya.
Penggunaan kata alinsan untuk menyebut manusia
menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk Allah SWT yang diberi beban tanggung
jawab untuk mengabdi kepada-Nya dalam cakupan yang seluas-luasnya sebagaimana
dalam firman-Nya di atas. Manakala manusia tidak menggunakan waktu dalam
kehidupannya untuk mengabdi kepada Allah SWT, maka ia akan menjadi orang yang
rugi dunia dan akhirat. Dalam kaitan ini Allah SWT berfirman di QS.103:1-3 :
”Demi masa. Sesungguhnya manusia (alinsaan) benar-benar dalam kerugian. kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati
supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”.
Oleh karena itu, sebagai alinsan, manusia seharusnya
selalu waspada terhadap godaan-godaan syaitan karena syaitan ingin menyesatkan
manusia bukan secara fisik tapi manusia sebagai insan karena Allah SWT
menggunakan kata insan ketika berfirman dalam QS. 17:53 “Dan katakanlah kepada
hamha-hamba-Ku: 'Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik
(benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka.
Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.”
Namun, manusia yang disebut alinsan juga berarti lupa,
semestinya ia melupakan kesalahan-kesalahan orang lain terhadap dirinya
sehingga ia menjadi pemaaf. Kenyataan yang terjadi banyak manusia yang menjadi
lupa terhadap ketentuan-ketentuan Allah SWT sehingga mengabaikan perintah-Nya.
Untuk itu mansuia harus selalu berdzikir kepada Allah SWT dalam segala keadaan.
Sekiranya manusia menyadari hakikat dirinya sebagai
alinsan yang berarti harus selalu membuat senang manusia dan mahkluk Allah
lainnya, maka dalam hidupnya niscara manusia akan selalu memberikan yang
terbaik, melakukan kebaikan bahkan menjadi cermin dalam kebaikan dan kebenaran
dan segala perbuatannya selalu memberikan manfaat kepada manusia lain dan
lingkungannya, dan inilah manusia yang ideal.
Al Basyar
Penggunaan kata albasyar untuk manusia lebih ditekankan
kepada hal-hal yang bersifat jasmani dan naluri. Misalnya manusia itu bisa
dilihat, disentuh, memerlukan makan, minum, berkembang biak dan lain-lain.
Dalam kaitan ini Rasulullah SAW sebagai albasyar sama seperti kita yang merasa
lapar, haus, dan sebagainya. Allah SWT berfirman
:“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini
manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: 'Bahwa sesungguhnya Tuhan
kamu itu adalah Tuhan yang Esa.' Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan
Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia
mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.' (QS. 18:110)
Karena jasmani manusia memiliki berbagai macam kebutuhan,
maka sebagai albasyar manusia boleh memenuhi segala macam kebutuhannya dengan
cara yang sesuai dengan ketentuan Allah SWT. Manusia yang menghalalkan segala
cara dalam memenuhi kebutuhannya, sama halnya seperti binatang bahkan lebih
buruk lagi. “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam)
kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak
dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan
mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar
(ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih
sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.(QS. 7:179)
Kenyataan menunjukkan bahwa keinginan manusia yang
bersifat jasmaniyah sangat besar bahkan bisa jadi sangat dominan. Karena itu
sebagai albasyar manusia harus mampu mengendalikan hawa nafsunya bukan
membiarkannya sebebas-bebasnya, juga bukan membunuhnya. Manusia yang bisa
mengendalikan hawa nafsunya akan menjadi manusia yang bermartabat.
An Naas
Di dalam al-Qur’an, Allah SWT juga menyebutkan kata annas
untuk menyebut manusia. Secara harfiyah, annas diambil dari kata nausu yang
berarti gerak dan terambil dari kata unas yang berarti tampak. Demikian menurut
Dr. Quraish Shihab. Dari makna ini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa sebagai
manusia, keberadaan kita di dunia ini harus kita tunjukkan atau kita tampakkan
dengan gerakan kebaikan dan perbaikan. Secara fisik, manusia akan menjadi sehat
bila ia banyak bergerak. Pengabdian kepada Allah SWT yang salah satunya adalah
sholat dan haji, dilakukan dengan banyak melakukan gerakan.
Sebagai makhluk yang harus bergerak, manusia harus saling
mengenal antara satu dengan lainnya karena manusia memang terdiri dari
perbedaan jenis kelamin, suku, bangsa, bahasa, dan warna kulit. Namun, setelah
saling mengenal manusia harus menyadari bahwa kemuliaan itu bukan terletak pada
kebanggaan atas status bangsa, jenis kelamin, warna kulit dan lainnya, tapi
Allah SWT meletakkan kemuliaan mansuia itu pada taqwanya. Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa -bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS.49:13).
Peran Manusia
dalam Kehidupan
Allah
Swt berfirman yang artinya: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam
bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang
serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal shaleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya (QS 95:4-6)
Paling
kurang, ada tiga tugas dan peran yang harus dimainkan oleh manusia dan sebagai
seorang muslim, kita bukan hanya harus mengetahuinya, tapi menjalankannya dalam
kehidupan ini agar kehidupan umat manusia bisa berjalan dengan baik dan menyenangkan.
1. Beribadah Kepada Allah SWT
Beribadah
kepada Allah Swt merupakan tugas pokok, bahkan satu-satunya tugas dalam
kehidupan manusia sehingga apapun yang dilakukan oleh manusia dan sebagai
apapun dia, seharusnya dijalani dalam kerangka ibadah kepada Allah Swt
sebagaimana firman-Nya yang artinya: Dan Aku tidak menciptakan manusia kecuali
supaya mereka menyembah-Ku (QS 51:56).
Agar segala yang kita lakukan bisa dikategorikan ke dalam
ibadah kepada Allah Swt, maka paling tidak ada tiga kriteria yang harus kita
penuhi. Pertama, lakukan segala sesuatu dengan niat yang ikhlas karena Allah
Swt. Keikhlasan merupakan salah satu kunci bagi diterimanya suatu amal oleh
Allah Swt dan ini akan berdampak sangat positif bagi manusia yang melaksanakan
suatu amal, karena meskipun apa yang harus dilaksanakannya itu berat, ia tidak
merasakannya sebagai sesuatu yang berat, apalagi amal yang memang sudah ringan.
Sebaliknya tanpa keikhlasan, amal yang ringan sekalipun akan terasa menjadi
berat, apalagi amal yang jelas-jelas berat untuk dilaksanakan, tentu akan
menjadi amal yang terasa sangat berat untuk mengamalkannya.
Kedua, lakukan segala sesuatu dengan cara yang benar,
bukan membenarkan segala cara. sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah Swt
dan dicontohkan oleh Rasul-Nya. Manakala seorang muslim telah menjalankan
segala sesuatu sesuai dengan ketentuan Allah Swt, maka tidak ada
penyimpangan-penyimpangan dalam kehidupan ini yang membuat perjalanan hidup
manusia menjadi sesuatu yang menyenangkan.
Ketiga, adalah lakukan segala sesuatu dengan tujuan
mengharap ridha Allah Swt dan ini akan membuat manusia hanya punya satu
kepentingan, yakni ridha-Nya. Bila ini yang terjadi, maka upaya menegakkan
kebaikan dan kebenaran tidak akan menghadapi kesulitan, terutama kesulitan dari
dalam diri para penegaknya, hal ini karena hambatan-hambatan itu seringkali
terjadi karena manusia memiliki kepentingan-kepentingan lain yang justeru
bertentangan dengan ridha Allah Swt.
2. Khalifah Allah di Muka Bumi
Nilai-nilai dan segala ketentuan yang berasal dari Allah
Swt harus ditegakkan dalam kehidupan di dunia ini. Untuk menegakkannya, maka
manusia diperankan oleh Allah Swt sebagai khalifah (wakil) Allah di muka bumi
ini untuk menegakkan syariat-syariat-Nya, Allah Swt berfirman yang artinya: Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi (QS 2:30).
Untuk bisa menjalankan fungsi khalifah, maka manusia
harus menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan serta menyiarkan kebaikan
dan kemaslahatan, ini merupakan perkara yang sangat mendasar untuk bisa
diterapkan dan tanpa kebenaran, keadilan serta kebaikan dan kemaslahatan, tidak
mungkin tatanan kehidupan umat manusia bisa diwujudkan, karenanya ini menjadi
persyaratan utama bagi manusia untuk menjalankan fungsi khalifah pada dirinya,
Allah Swt berfirman yang artinya: Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikajn kamu
khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) diantara
manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan
menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari
jalan Allah akan mendapat azab yang berat karena mereka melupakan hari
perhitungan (QS shad:26).
Untuk bisa memperoleh kehidupan yang baik di dunia ini,
salah satu yang menjadi penopang utamanya adalah penegakkan hukum secara adil
sehingga siapapun yang bersalah akan dikenai hukuman sesuai dengan tingkat
kesalahannya, karenanya hal ini merupakan sesuatu yang sangat ditekankan oleh
Allah Swt kepada manusia sebagaimana terdapat dalam firman-Nya yang artinya:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia
supaya menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat
(QS 4:58)
Mengingat keadilan begitu penting bagi upaya mewujudkan
kehidupan yang baik, kerharusan berlaku adil tetap ditegakkan meskipun kepada
orang yang kita benci sehingga jangan sampai karena kebencian kita kepadanya,
keadilan yang semestinya ia nikmati tidak bisa mereka peroleh. Manakala
keadilan bisa ditegakkan, maka masyarakat yang bertaqwa kepada Allah Swt cepat
atau lambat akan terwujud, Allah berfirman yang artinya: Hai orang-orang yang
beriman, hendaklah kamu jadi orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena
Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah,
karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS 5:8).
3.Membangun Peradaban
Kehidupan dan martabat manusia sangat berbeda dengan
binatang. Binatang tidak memiliki peradaban sehingga betapa rendah derajat
binatang itu. Adapun manusia, dicipta oleh Allah Swt untuk membangun dan
menegakkan peradaban yang mulia, karenanya Allah Swt menetapkan manusia sebagai
pemakmur bumi ini, Allah berfirman yang artinya: Dia telah menciptakan kamu
dari bumi (tanah) dan menjadikan pemakmurnya (QS 11:61).
Untuk bisa membangun kehidupan yang beradab, ada lima
pondasi masyarakat beradab yang harus diwujudkan dan diperjuangan
pelestariannya, yaitu: Pertama, nilai-nilai agama Islam yang datang dari Allah
Swt, Kedua, akal yang merupakan potensi besar untuk berpikir dan merenungkan
segala sesuatu. Ketiga, harta yang harus dicari secara halal dan bukan
menghalalkan segala cara. Keempat, kehormatan manusia dengan akhlaknya yang
mulia yang harus dijaga dan dilestarikan. Dan Kelima, keturunan atau nasab
manusia yang harus jelas sehingga dalam masalah hubungan seksual misalnya,
manusia tidak akan melakukannya kepada sembarang orang.
Manakala manusia tidak mampu membangun peradaban
sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah Swt, maka martabat manusia akan
menjadi lebih rendah dari binatang, hal ini karena manusia bukan hanya memiliki
potensi fisik yang sempuna dibanding binatang, juga manusia punya botensi
berpikir dan mendapat bimbingan berupa wahyu dari Allah Swt yang diturunkan
kepada para Nabi. Dalam kaitan kemungkinan manusia menjadi lebih rendah atau
lebih sesat dari binatang, bahkan binatang ternak dikemukakan oleh Allah Swt
dalam firman-Nya yang artinya: Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka
jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati tapi tidak
dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata
(tapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan
mereka mempunyai telinga (tapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar
(ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih
sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai (QS 7:179).
Dari keterangan di atas menjadi jelas bagi kita bahwa
kemuliaan manusia sangat tergantung pada, apakah ia bisa menjalankan tugas dan
perannya dengan baik atau tidak, bila tidak, maka kemuliaannya sebagai manusia
akan jatuh ke derajat yang serendah-rendah dan ia akan kembali kepada Allah
dengan kehinaan yang sangat memalukan dan di akhirat, ia menjadi hamba Allah
yang mengalami kerugiaan yang tidak terbayangkan.
Subscribe to:
Posts (Atom)