Saturday, December 24, 2016

Dakwah adalah Jalan Pembuktian Cinta

Oleh Wahyu B. Prasojo
وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ

"...adapun orang-orang beriman amat sangat cintanya kepada Allah...(Al Baqarah:165)

Kecintaan seseorang kepada Allah wajib ada di atas segala bentuk kecintaannya kepada selain-Nya, karena cinta Allah adalah dasar dari agama Islam ini, dengan sempurnanya cinta ini pada hati seseorang, menjadi sempurna pula keimanannya, dan sebaliknya, dengan berkurangnya kadar kecintaan seseorang kepada Allah, akan berkurang pula keimanannya.

Sebagaimana penjelasan Imam Ibnul Qoyyim bahwa dasar cinta terpuji yang Allah Ta’ala perintahkannya dan Allah ciptakan makhluk karenanya adalah mencintai Allah semata, tiada sekutu baginya. Cinta Allah mengandung peribadahan kepada-Nya semata dan tidak menyembah selain-Nya, karena sesungguhnya ibadah mengandung puncak cinta diiringi dengan puncak perendahan diri. Sikap ini tidak boleh dipersembahkan kecuali kepada Allah Azza wa Jalla semata”

Imam Al Ghazali menjelaskan, adapun kecintaan kepada Allah akan melingkupi (mencelup) hati, kecintaan ini membimbing hati dan bahkan merambah ke segala hal.

Imam Ibnul Qoyyim menjelaskan, ada yang berpendapat, arti cinta yang hakiki ialah menyerahkan apapun yang ada pada dirimu kepada orang yang di cintai, sehingga tak ada lagi yang menyisa.

Cinta sejati memiliki tanda-tanda. Kasih sayang yang tulus menuntut bukti-buktinya. Adalah seorang wanita dari keturunan Bani Dinar. Saat suami, ayah, saudara laki-lakinya pergi ke medan Uhud lalu mereka semua mati syahid di jalan Allah, berita kematian mereka pun sampai kepadanya. Lalu wanita itu memandang Rasulullah kemudian mengatakan: “musibah apapun selainmu adalah kecil”

Ibnul Qoyyim juga menjelaskan bahwa cintalah yang menggerakkan orang yang mencintai sesuatu mencari sesuatu tersebut. Maka orang yang mencintai Allah dengan benar dan baik, akan tergerak untuk mencari perkara yang dicintai oleh Allah pada setiap ucapan maupun perbuatannya. Lahirnya maupun batinnya akan ia pantau terus agar sesuai dengan kecintaan dan keridhaan Rabbnya. Inilah yang kita fahami sebagai definisi ibadah.

Perkara yang dicintai oleh Allah terdapat dalam syari’at-Nya yang dibawa oleh Rasul-Nyashallallahu ‘alaihi wa sallam, mencintai Allah yang benar adalah dengan mengikuti Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman,

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

"Katakanlah (Muhammad) jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah oleh kalian akan aku. Maka Allah akan mencintai kalian..."(Ali Imran:31)

Mengikuti jalan hidup Rasulullah berarti menempuh jalan dakwah. Ia adalah wujud dan bukti cinta. Maka sahabat Rasulullah, Abdullah bin Mas'ud ra berpesan, "jadilah kalian sumber mata air ilmu; lampu-lampu (cahaya) petunjuk yang menetap di rumah rumah; pelita di waktu malam yang hatinya selalu baru, yang kusut pakaiannya, dan dikenal oleh penduduk langit, tetapi tersembunyi dari penduduk bumi.

Ustadz Rahmat Abdullah pernah berpesan, dan cinta akan meminta semuanya dari dirimu. Sampai pikiranmu. Sampai perhatianmu. Berjalan, duduk dan tidurmu. Bahkan di tengah lelapmu, isi mimpimu pun tentang dakwah. Tentang umat yang kau cintai. Menyedot saripati energimu. Sampai tulangmu. Sampai daging terakhir yang menempel di tubuh rentamu. Tubuh yang luluh lantak diseret-seret. Tubuh yang hancur lebur dipaksa berlari.

Muhammad Idris asy Syafi'iy memperingatkan, "Lalu, jika kalian sudah berada di jalur menuju Allah, maka berlarilah.
Jika itu sulit bagimu, maka berlari kecillah.
Jika engkau lelah, maka berjalanlah. Namun jangan pernah berbalik arah atau berhenti".
Wallahu'a'lam bishawwab.

Friday, December 9, 2016

Hadits Dakwah : Agama adalah Nasihat


oleh wahyu bhekti prasojo
1. Teks dan Sanad Hadits

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبَّادٍ الْمَكِّيُّ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، قَالَ: قُلْتُ لِسُهَيْلٍ: إِنَّ عَمْرًا حَدَّثَنَا عَنِ الْقَعْقَاعِ، عَنْ أَبِيكَ، قَالَ: وَرَجَوْتُ أَنْ يُسْقِطَ عَنِّي رَجُلًا، قَالَ: فَقَالَ: سَمِعْتُهُ مِنَ الَّذِي سَمِعَهُ مِنْهُ أَبِي كَانَ صَدِيقًا لَهُ بِالشَّامِ، ثُمَّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ سُهَيْلٍ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَزِيدَ، عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «الدِّينُ النَّصِيحَةُ» قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: «لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ»[1]

2. Terjemah Hadits
Dari Tamiim ad Dariy ia berkata: Bersabda Rasulullah shallallahu’alayhi wasallam : Sesungguhnya Agama adalah Nasihat. Kami berkata: Bagi siapa wahai Rasulullah? Beliau bersabda: Bagi Allah dan kitabNya, dan RasulNya, bagi para pemimipin ummat Islam dan seluruh kaum muslimin.(HR. Muslim)
3. Takhrij Hadits
Hadits ini diriwayatkan Imam Muslim dari riwayat Suhayl bin Abu Shalih dari Atha’ bin Yazid Al Laitsi dari Tamim Ad Dariy. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim pada Bab Bayan ana al Diin an Nashihah. Imam An Nawawi berkata, “Dalam Shahih Bukhory tidak ada hadits ini, sedangkan pada Shahih Muslim hanya pada bab ini, tidak ada pada tempat lainnya.[2]
Hadits ini juga diriwayatkan Imam At Turmudzy dari jalur Suhayl dari Abu Shalih dari Abu Hurayrah.[3] Sebagian ulama menshahihkan kedua jalur tersebut, tetapi ada ulama yang hanya menshahihkan yang dari jalur Tamim Ad Dariy.[4]
Imam Abu Dawud juga meriwayatkan hadits ini dalam Sunannya, Bab Fi an Nashihah, Juz 4 halaman 286, hadits nomor 4944. Syaikh Al Albany menshahihkannya.[5] Demikian pula oleh Imam An Nasa’iy dalam Sunan An Nasa’iy, yaitu pada Bab An Nashihah lil Imam, juz 7 halaman 156. [6]
Adapun Tamim Ad Dariy adalah salah seorang Sahabat Nabi saw, yang banyak melakukan sholat tahajjud. Beliau masuk Islam pada tahun ke 9 H. Pasca terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan ra, beliau pindah ke Syam dan menetap di Palestina hingga wafatnya pada tahun 40 Hijriyah.[7]
4. Penjelasan Hadits dan pelajaran
a.       Nashihat adalah ucapan yang dimaksudkan untuk perbaikan.[8]Nabi saw menjelaskan bahwa agama adalah nasihat. Ini menunjukkan bahwa nasihat itu mencakup seluruh bagian-bagian Islam, Iman dan Ihsan seperti dijelaskan dalam hadits Jibril, dan beliau menyebutnya sebagai agama.[9] Sedangkan maksud dari Agama adalah Nashihat dalam hadits ini adalah bahwa tiang yang menegakkan agama adalah nasihat.[10] Ini adalah bentuk kalimat yang menjelaskan pentingnya sebuah amal di antara amal-amal yang lain, dalam sebuah proses yang besar, seperti perkataan Nabi yang lainnya, haji adalah ‘arofah. Yakni tiang dan hal utama dalam haji adalah wukuf di Arofah.[11]Imam Abu Sulayman Al Khataby mengatakan, “Nasihat adalah kata yang menjelaskan sejumlah hal, yaitu yang menginginkan kebaikan kepada orang yang diberi nasihat. Asal kata nasihat menurut bahasa ialah murni. Nashahtu al Asala, maksudnya engkau memurnikan madu tersebut dari lilin.”[12] Abu Amr bin Ash Shalah berkata, “Nasihat adalah kata universal yang mencakup pengerjaan oleh pemberi nasihat terhadap sejumlah kebaikan; dalam bentuk keinginan dan amal perbuatan, untuk pihak penerima nasihat.”[13]
b.      Nasihat untuk Allah ialah mentauhidkanNya, mensifatiNya dengan sifat-sifat kesempurnaan dan keagungan, membersihkanNya dari apa saja yang berlawanan dan menyalahi sifat-sifatNya, menjauhi maksiat, ta’at dan cinta kepadaNya dengan ikhlas, mencintai dan membenci karenaNya dan mendorong manusia berjihad di jalanNya.[14] Syaikh Muhammad Fuad Abdul Baqy menambahkan bahwa nasihat kepada Allah pada hakikatnya adalah seorang hamba menasihati jiwanya sendiri karena Allah tidak membutuhkan nasihat.[15]
c.       Adapun nashihat bagi kitab Allah adalah beriman kepadanya, mengagungkan dan membersihkannya, membacanya dengan bacaan yang benar, memikirkan perintah dan larangannya, memahami ilmu, mengkaji ayat-ayatnya, mengajak manusia kepadanya dan membelanya dari pelecehan orang kafir dan yang melampaui batas.[16]
d.      Sedangkan nashihat bagi Rasulullah saw adalah membenarkan risalahnya dan beriman kepada semua yang dibawanya, hormat dan patuh kepada beliau. Menghidupkan sunnah beliau dan menyebarkannya.[17]
e.       Nasihat bagi pemimpin kaum muslimin adalah menolong mereka dalam kebenaran dan mematuhi mereka karena kebenaran dan mematuhi kebenaran yang mereka perintahkan, mengingatkan mereka kepada kebenaran, menasihati mereka dengan santun, tidak menyerang mereka serta mendoakan mereka.[18] Adapun yang dimaksud pemimpin kaum muslimin adalah para Khalifah dan yang lainnya yang mengurusi kaum muslimin, yang memegang wewenang.[19]
f.       Adapun nashihat bagi kaum muslimin secara umum membimbing mereka kepada kemaslahatan dunia dan akhirat mereka. Mengajari mereka dalam urusan dunia dan akhirat, menutup aurat mereka, menolong dan membela mereka, mencintai kebaikan bagi mereka dan lain-lain.[20]
g.      Nashihat adalah Islam itu sendiri. Di mana, Islam dilakukan melalui ucapan dan perbuatan.[21] Maka saling menasihati adalah hal penting yang mengokohkan bangunan masyarakat Islam. Mengenai pentingnya nasihat beberapa Ulama’ menjelaskan tentang nashihat[22]:
Hasan Al Bashry berkata, bahwa beberapa sahabat Nabi pernah berkata, “Demi Dzat yang jiwaku ada di tanganNya orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang menyebabkan Allah mencintai hambaNya, menyebabkan hamba cinta kepada Allah, dan menyebarkan nashihat di muka bumi.”
Abu Bakar al Mazny berkata, “Yang menjadikan Abu Bakar lebih tinggi derajatnya dibanding sahabat-sahabat lainnya bukanlah puasa atau sholat. Akan tetapi karena sesuatu yang ada dalam hatinya, yaitu kecintaan kepada Allah dan nashhat terhadap makhluqNya.”
Fudhail bin Iyadh berkata, “Orang yang berjumpa kami tidak melihat kami banyak sholat dan puasa, namun ia melihat kami karena murah hati, lapang dada dan suka memberi nashihat kepada ummat.”


[1] Muslim bin Hajjaj Abul Hasan Al Qusyairy An Naysabury, Shahih Muslim, tahqiq Muhammad Fu’ad Abdul Baqy, Darul Ihya at Turats Al Araby, Beyrut, Juz 1, hal 74.
[2] Musthofa Dieb al Bugho & Muhyidin Misthu, Al Wafiy, Syarah Kitab Arba’in An Nawawiyah, alih bahasa Muhil Dhofir, Al I’tishom, Jakarta, 2013, hal.38.
[3] Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin Ad Dhahak At Turmudzy, Sunan At Tirmidzy, Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafa Al Baaby Al Halaby, Mesir, 1975, Juz 4, hal 324.
[4] Zaynudin Abdurrahman bin Ahmad ad Dimasyqi Al Hambali, Ibnu Rajab, Jami’ul Ulum wal Hikmah, alih bahasa Fadhli Bahri, Darul Falah, Jakarta, 2011, hal.165.
[5] Abu Dawud Sulayman bin Asy’ats Al Azdy As Sijistany, Sunan Abu Dawud, tahqiq Muhammad Muhyidin Abdul Hamid, Al Maktabah Al ‘Ashriyah Shida Beyrut, Juz 4 hal.286.    
[6] Abu Abdurrahman Ahmad bin Syu’ayb ‘Ali al Khurasany an Nasa’iy, Sunan An Nasa’iy, tahqiq Abdul Fattah abu Ghuddah, Maktab Al Mathbu’at Al Islamiyah, Halab, 1986, Juz 7, hal.156.
[7] Musthofa Dieb al Bugho & Muhyidin Misthu, op.cit, hal.428.
[8] Ibid, hal.39.
[9] Ibnu Rajab, op.cit, hal.169.
[10] Muslim bin Hajjaj Abul Hasan Al Qusyairy An Naysabury, loc.cit, juz 1, hal.74.
[11] Muslim, ibid.
[12] Ibnu Rajab, op.cit, hal.170.
[13] Ibid, hal. 173.
[14] Ibid, hal. 173.
[15] Muslim, loc.cit.
[16] Ibnu Rajab, loc.cit.
[17] Ibid, hal. 173.
[18] Ibid, hal.173.
[19] Muslim, loc.cit.
[20] Ibnu Rajab, loc.cit.
[21] Musthofa Dieb al Bugho & Muhyidin Misthu, op.cit, hal.44.
[22] Ibnu Rajab, op.cit, hal.175.

TEORI DAKWAH


oleh wahyu bhekti prasojo
PENGERTIAN-PENGERTIAN
1. DEFINISI TEORI
Secara bahasa, teori adalah suatu pendapat yang dikemukakan sebagai suatu keterangan mengenai suatu peristiwa atau kejadian; juga berarti asas-asas dan hukum-hukum umum yang menjadi dasar suatu kesenian atau ilmu pengetahuan. Teori juga dapat berarti pendapat, cara-cara dan aturan-aturan untuk melakukan sesuatu.[1]
Menurut Oxford Reference Dictionary, teori adalah: A system of ideas formulated (by reasoning from known fact) to explain something. An opinion, supposition in general (opp. practice) an exposition of the principles on wich a subject is based.[2]
Sedangkan secara istilah, para ahli banyak memberikan pengertian teori. Agak dekat dengan pengertian secara bahasa, Snelbecker mendefinisikan teori sebagai seperangkat preposisi yang berinteraksi secara sintaksi(yaitu yang mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis dengan yang lainnya dengan data atas dasar yang dapat diamati) dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati.[3] Sarlito Wirawan menyatakan dengan ringkas, teori adalah serangkaian hipotesa atau preposisi yang saling berhubungan tentang suatu gejala (fenomena) atau sejumlah gejala.[4]
Marx dan Goodson, menyatakan :
Teori adalah aturan yang mejelaskan proposisi atau seperangkat preposisi yang berkaitan dengan beberapa fenomena alamiah dan terdiri atas representasi simbolik dari (1) hubungan-hubungan yang dapat diamati di antara kejadian-kejadian (yang dapat diukur), (2) mekanisme atau struktur yang diduga mendasari hubungan-hubungan demikan, dan (3) hubungan-hubungan yang disimpulkan serta manifestasi hubungan empiris apa pun secara langsung.[5]
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dapat difahami bahwa teori setidaknya terdiri dari tiga bagian yaitu; merupakan ringkasan fakta-fakta, merupakan perkiraan tentang implikasi (akibat) dari fakta-fakta tersebut dan kemungkinan hubungan antara fakta-fakta tersebut.
Dengan bahasa yang lain teori dapat diperinci sebagai berikut:
1.            Teori adalah serangkaian proposisi antar konsep-konsep yang saling berhubungan,
2.            Teori menerangkan secara sistematis suatu fenomena sosial dengan cara menentukan hubungan antar konsep,
3.            Teori menerangkan fenomena tertentu dengan cara menentukan konsep mana yang berhubungan dengan konsep lainnya dan bagaimana bentuk hubungannya.
2. FUNGSI DAN KEGUNAAN TEORI
Secara umum, teori mempunyai tiga fungsi yaitu untuk menjelaskan, meramalkan dan pengendalian suatu gejala.[6] Sedangkan Glaser dan Strauss yang lebih focus dalam bidang sosiologi, menyatakan fungsi teori sebagai berikut[7]:
1.            Memberikan kesempatan untuk meramalkan dan menerangkan perilaku,
2.            Bermanfaat dalam menemukan teori sosiologi,
3.            Digunakan dalam aplikasi praktis-peramalan dan penjelasannya harus memberikan pengertian kepada para praktisi dan beberapa pengawasan terhadap situasi,
4.            Memberikan perspektif bagi perilaku, yaitu pandangan yang harus dijaring dari data,
5.            Membimbing serta menyajikan gaya bagi penelitian dalam beberapa bidang perilaku.
Kedua pandangan di atas memiliki kesamaan bahwa teori berfungsi untuk menjelaskan, meramalkan dan mengontrol gejala atau fenomena. Teori sebagai alat Eksplanasi berusaha menjelaskan melalui gejala-gejala yang timbul dalam satu permasalahan. Misalnya: munculnya gerakan-gerakan yang menggunakan pola teror dipahami sebagai bentuk perlawanan terhadap keangkuhan sebuah negara Adi Kuasa.
Kemudian, Teori sebagai alat Peramal memberikan bentuk-bentuk prediksi tentang apa yang akan terjadi. Misalnya: berdasarkan cara negara-negara barat seperti Amerika menghadapi gerakan terror, justru akan menumbuh-suburkan gerakan-gerakan ekstrim di berbagai-bagai wilayah sebagai bentuk perlawanan.
Sedangkan Teori sebagai Alat pengontrol bukan hanya meramalkan tetapi juga memberikan kemungkinan-kemungkinan solusi berdasarkan ramalan yang diajukan  dari gejala-gejala yang difahami di lapangan. Misalnya: karena terorisme adalah akibat dari ketidak-adilan yang dirasakan sebagian kelompok di dunia, maka ia mungkin dapat diminimalisir dengan antara lain; membangun dialog timur dan barat, menciptakan hubungan yang lebih adil antara timur dan barat.
3. PENGERTIAN DAKWAH
Secara bahasa, dakwah mengandung makna: nida (panggilan), juga bermakna mendorong kepada sesuatu atau mendukungnya; mengajak kepada sesuatu yang ingin diadakan atau dihindarkan, baik benar ataupun salah; juga mengandung makna upaya melalui perkataan atau perbuatan untuk mempengaruhi orang lain agar mengikuti suatu madzhab atau agama; dapat pula bermakan memohon atau meminta.[8]
Sedangkan secara istilah kalimat dakwah itu tidak jauh maknanya dari makna bahasa di atas, yaitu upaya mengajak manusia lewat ucapan dan perbuatan kepada Islam, menerapkan manhajnya, meyakini aqidahnya dan melaksanakan syari’atnya.[9] Dengan kata lain, dakwah adalah usaha untuk mempengaruhi orang lain agar mereka bersikap dan bertingkahlaku seperti apa yang didakwahkan, yaitu Islam.[10]

KESULITAN MEMBUAT TEORI DALAM BIDANG DAKWAH
Secara sejarah, dakwah adalah kegiatan yang langsung terikat dengan agama Islam sejak awal diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Sehingga untuk menuliskan tentang sejarah dakwah adalah hal yang relative mudah. Berbeda dengan dakwah secara kelimuan. Ilmu dakwah adalah sesuatu yang baru di antara ilmu-ilmu Islam yang lain. Sebagai disiplin ilmu yang masih baru, ilmu dakwah belum memiliki tradisi keilmuan yang mapan dibanding dengan disiplin ilmu yang lain, termasuk di antara sesame ilmu-ilmu keagamaan yang lain.[11] Meskipun demikian, perkembangan ilmu dakwah tidak bisa lepas dari sejarah dakwah itu sendiri.
1. KAITAN DAKWAH DENGAN ILMU SOSIAL MODERN
Beberapa sarjana Muslim percaya bahwa perkembangan dan focus ilmu-ilmu social modern dapat dengan baik digunakan untuk telaah Islam.[12] Ilmu-ilmu social semacam sosiologi, komunikasi, psikologi, anthropologi dan semacamnya dapat menjadi alat bantu untuk memperkokoh kerangka dan bangunan disiplin ilmunya. Karena pada tataran praktis, dakwah adalah peristiwa komunikasi. Dari sisi tujuannya dakwah bersinggungan dengan ilmu sosiologi. Untuk mencapai efektifitas kerjanya dakwah memerlukan untuk memahami latar belakang obyek dakwah secara psikologis, anthropologis dan latar budaya yang lain.[13]
Meski Abuddin Nata memperingatkan untuk tidak menggunakan pendekatan Eropa secara mentah-mentah dalam memahami kebenaran-kebenaran Islam.[14] Maka harus diupayakan dengan sangat serius agar tidak sekedar menempelkan idiom-idiom istilah dan pengertian-pengertian dalam ilmu-ilmu yang dipinjam itu secara semena-mena terhadap kandungan makna dakwah. Untuk itu Abubaker A. Bageder mengusulkan untuk menyertakan perspektif-perspektif Islam ke dalam ilmu-ilmu social modern, untuk mengimbangi “bias” pandangan Barat.[15] Proses ini akan membantu ilmu-ilmu social dalam menganalisa dan memahami realitas masyarakat Islam dan gerak sosialnya, berkaitan dengan dakwah itu sendiri.
2. MENUJU KEMANDIRIAN ILMU DAKWAH
Meski demikian, menurut Jalaludin Rakhmat, dakwah dewasa ini telah menjadi ilmu mandiri, karena secara metodologis dakwah telah memiliki syarat-syaratnya yaitu:
(1). Mempunyai akar sejarah yang jelas. (2). Ada orang-orang yang dikenal sebagai ahli ilmu dakwah yang mengembangkannya. (3). Ada masyarakat akademis yang menaruh perhatian pada ilmu dakwah. (4). Diakui oleh lembaga-lembaga akademisi yang memiliki reputasi ilmiah. (5). Ada sejumlah penelitian yang mengembangkan metode-metode baru dalam ilmu dakwah.[16]
Ismail Raji Al-Faruqi mengusulkan agar syarat-syarat tersebut dikerjakan dengan beberapa tahap[17], yang pertama agar orang-orang yang dikenal ahli mesti dihimpun dalam usaha bersama untuk menyadarkan pentingnya pengembangan keilmuan. Kedua, himpunan ini juga melibatkan universitas-universitas Islam yang diwakilinya secara kelembagaan dengan segala sarana dan fasilitasnya, sehingga dapat tersedia setidaknya ruang kelas dan gedung kuliah sebagai laboratorum buat penelaahan berbagai penemuan. Ketiga, mengidentifikasi anggotanya dan membagi tugas secara hierarkis intelektual dan akademis untuk menyusun kerangka kerja penelitiannya dan ruang lingkupnya. Yang keempat, merancang latihan dan pendidikan untuk melengkapi berbagai kecakapan yang dibutuhkan. Dengan tersedianya sumberdaya pengkajian dan penelitian akan menjamin berkembangnya penemuan-penemuan baru dan karya-karya ilmiah dalam lapangan ilmu dakwah yang berkesinambungan.[18]
Kemudian menyusun kepustakaan secara topical sesuai dengan disiplin yang dibangun. Karena tradisi belajar dunia Islam yang sangat kaya, belum dapat dimanfaatkan secara optimal akibat terkubur di bawah judul-judul yang tidak terkategorisasi secara sitematis.[19] Begitu pula yang terjadi dalam akar historis dakwah, yang belum terrekonstruksi secara sistematis sehingga dapat dibaca dengan perspektif dakwah.[20] Maka diperlukan sebuah usaha untuk merelokasi topic-topik literature ke dalam bagian-bagian yang relevan sesuai dengan disipilin ilmu dakwah, juga relevan terhadap gerak social masyarakat yang dikenai dakwah.


[1] W.J.S Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta Balai Pustaka, 1991) hal.1055.
[2] Joyce M. Hawkins, The Oxford Reference,(Great Britanian: Lcarendon Press Oxford, 1990), hal. 854.
[3] Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2013), hal.57
[4] Sarlito Wirawan Sarwono,Teori-teori Psikologi Sosial, (Jakarta, Rajawali Press, 1984), hal.5.
[5] Lexy J.Moleong, loc.cit, hal.57.
[6] Sugiyono, Cara Mudah Menyusun Skripsi, Tesis dan Disertasi, (Bandung, Alfabeta, 2013), hal.56.
[7] Lexy J. Moleong, op.cit, hal.58.
[8] Taufiq Al Wa’iy, Dakwah ke Jalan Allah, alih bahasa Muhith M Ishaq, (Jakarta, Robbani Press, 2010) hal.10-11.
[9] Jum’ah Amin Abdul Aziz, Fiqih Dakwah, alih bahasa Abdus Salam Masykur, (Solo, Intermedia,1998), hal.29.
[10] Achmad Mubarok, Psikologi Dakwah, (Malang, Madani Press, 2014), hal.27.
[11] Ahmad Anas, Paradigma Dakwah Kontemporer, (Semarang, PT Pustaka Rizki Putra 2006), hal.2.
[12] Abubaker A. Bageder (ed), Islamisasi Ilmu-ilmu Sosial, alih bahasa Muchtar Effendi Harahap dkk, (Jogjakarta, Pusat Latihan, Penelitian dan Pengembangan Masyarakat , 1985), hal.1.
[13] Achmad Mubarok, op.cit, hal.28.
[14] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta Rajawali Press, 2009), hal.206.
[15] Abubaker A. Bageder, loc.cit, hal.1.
[16] Ahmad Anas, op.cit, hal.6.
[17] Ismail Raji Al Faruqi, Mengislamkan Ilmu-ilmu Sosial, dalam Abubaker A. Bageder(ed), Islamisasi Ilmu-ilmu Sosial, hal.19-20.
[18] Ahmad Anas, op.cit, hal.28.
[19] Ismail Raji Al Faruqi, ibid, hal. 21.
[20] Ahmad Anas, loc.it, hal.6.

Manusia, Arsitek Peradaban


oleh wahyu bhekti prasojo

Di dalam Al-Qur’an, Allah SWT menamakan manusia dengan alinsan, annas dan albasyar. Sebagai manusia, kita perlu memahami makna-makna tersebut agar dapat menangkap hakikatnya untuk selanjutnya menjalani kehidupan sebagai manusia sebagaimana yang Allah SWT kehendaki, yakni mengabdi kepada-Nya. Allah SWT berfirman: “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepada-Ku” (QS.51:56).

Al Insan
Menurut Quraish Shihab, al insan terambil dari akar kata yang berarti bergerak, lupa dan merasa bahagia atau senang. Ketiga arti ini menggambarkan sebagian dari sifat atau ciri khas manusia. Ia bergerak bahkan seharusnya memiliki dinamisme; ia juga memiliki sifat lupa atau semestinya melupakan kesalahan-kesalahan orang lain dan ia pun merasa senang bila bertemu dengan jenisnya atau seyogianya selalu berusaha memberi kesenangan dan kebahagiaan kepada diri dan makhluk-makhluk lainnya.
Penggunaan kata alinsan untuk menyebut manusia menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk Allah SWT yang diberi beban tanggung jawab untuk mengabdi kepada-Nya dalam cakupan yang seluas-luasnya sebagaimana dalam firman-Nya di atas. Manakala manusia tidak menggunakan waktu dalam kehidupannya untuk mengabdi kepada Allah SWT, maka ia akan menjadi orang yang rugi dunia dan akhirat. Dalam kaitan ini Allah SWT berfirman di QS.103:1-3 : ”Demi masa. Sesungguhnya manusia (alinsaan) benar-benar dalam kerugian. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”.
Oleh karena itu, sebagai alinsan, manusia seharusnya selalu waspada terhadap godaan-godaan syaitan karena syaitan ingin menyesatkan manusia bukan secara fisik tapi manusia sebagai insan karena Allah SWT menggunakan kata insan ketika berfirman dalam QS. 17:53 “Dan katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: 'Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.”
Namun, manusia yang disebut alinsan juga berarti lupa, semestinya ia melupakan kesalahan-kesalahan orang lain terhadap dirinya sehingga ia menjadi pemaaf. Kenyataan yang terjadi banyak manusia yang menjadi lupa terhadap ketentuan-ketentuan Allah SWT sehingga mengabaikan perintah-Nya. Untuk itu mansuia harus selalu berdzikir kepada Allah SWT dalam segala keadaan.
Sekiranya manusia menyadari hakikat dirinya sebagai alinsan yang berarti harus selalu membuat senang manusia dan mahkluk Allah lainnya, maka dalam hidupnya niscara manusia akan selalu memberikan yang terbaik, melakukan kebaikan bahkan menjadi cermin dalam kebaikan dan kebenaran dan segala perbuatannya selalu memberikan manfaat kepada manusia lain dan lingkungannya, dan inilah manusia yang ideal.

Al Basyar
Penggunaan kata albasyar untuk manusia lebih ditekankan kepada hal-hal yang bersifat jasmani dan naluri. Misalnya manusia itu bisa dilihat, disentuh, memerlukan makan, minum, berkembang biak dan lain-lain. Dalam kaitan ini Rasulullah SAW sebagai albasyar sama seperti kita yang merasa lapar, haus, dan sebagainya. Allah SWT berfirman
 :“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: 'Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa.' Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.' (QS. 18:110)
Karena jasmani manusia memiliki berbagai macam kebutuhan, maka sebagai albasyar manusia boleh memenuhi segala macam kebutuhannya dengan cara yang sesuai dengan ketentuan Allah SWT. Manusia yang menghalalkan segala cara dalam memenuhi kebutuhannya, sama halnya seperti binatang bahkan lebih buruk lagi. “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.(QS. 7:179)
Kenyataan menunjukkan bahwa keinginan manusia yang bersifat jasmaniyah sangat besar bahkan bisa jadi sangat dominan. Karena itu sebagai albasyar manusia harus mampu mengendalikan hawa nafsunya bukan membiarkannya sebebas-bebasnya, juga bukan membunuhnya. Manusia yang bisa mengendalikan hawa nafsunya akan menjadi manusia yang bermartabat.
An Naas
Di dalam al-Qur’an, Allah SWT juga menyebutkan kata annas untuk menyebut manusia. Secara harfiyah, annas diambil dari kata nausu yang berarti gerak dan terambil dari kata unas yang berarti tampak. Demikian menurut Dr. Quraish Shihab. Dari makna ini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa sebagai manusia, keberadaan kita di dunia ini harus kita tunjukkan atau kita tampakkan dengan gerakan kebaikan dan perbaikan. Secara fisik, manusia akan menjadi sehat bila ia banyak bergerak. Pengabdian kepada Allah SWT yang salah satunya adalah sholat dan haji, dilakukan dengan banyak melakukan gerakan.
Sebagai makhluk yang harus bergerak, manusia harus saling mengenal antara satu dengan lainnya karena manusia memang terdiri dari perbedaan jenis kelamin, suku, bangsa, bahasa, dan warna kulit. Namun, setelah saling mengenal manusia harus menyadari bahwa kemuliaan itu bukan terletak pada kebanggaan atas status bangsa, jenis kelamin, warna kulit dan lainnya, tapi Allah SWT meletakkan kemuliaan mansuia itu pada taqwanya. Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa -bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS.49:13).

Peran Manusia dalam Kehidupan
Allah Swt berfirman yang artinya: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya (QS 95:4-6)
Paling kurang, ada tiga tugas dan peran yang harus dimainkan oleh manusia dan sebagai seorang muslim, kita bukan hanya harus mengetahuinya, tapi menjalankannya dalam kehidupan ini agar kehidupan umat manusia bisa berjalan dengan baik dan menyenangkan.

1. Beribadah Kepada Allah SWT
Beribadah kepada Allah Swt merupakan tugas pokok, bahkan satu-satunya tugas dalam kehidupan manusia sehingga apapun yang dilakukan oleh manusia dan sebagai apapun dia, seharusnya dijalani dalam kerangka ibadah kepada Allah Swt sebagaimana firman-Nya yang artinya: Dan Aku tidak menciptakan manusia kecuali supaya mereka menyembah-Ku (QS 51:56).
Agar segala yang kita lakukan bisa dikategorikan ke dalam ibadah kepada Allah Swt, maka paling tidak ada tiga kriteria yang harus kita penuhi. Pertama, lakukan segala sesuatu dengan niat yang ikhlas karena Allah Swt. Keikhlasan merupakan salah satu kunci bagi diterimanya suatu amal oleh Allah Swt dan ini akan berdampak sangat positif bagi manusia yang melaksanakan suatu amal, karena meskipun apa yang harus dilaksanakannya itu berat, ia tidak merasakannya sebagai sesuatu yang berat, apalagi amal yang memang sudah ringan. Sebaliknya tanpa keikhlasan, amal yang ringan sekalipun akan terasa menjadi berat, apalagi amal yang jelas-jelas berat untuk dilaksanakan, tentu akan menjadi amal yang terasa sangat berat untuk mengamalkannya.
Kedua, lakukan segala sesuatu dengan cara yang benar, bukan membenarkan segala cara. sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah Swt dan dicontohkan oleh Rasul-Nya. Manakala seorang muslim telah menjalankan segala sesuatu sesuai dengan ketentuan Allah Swt, maka tidak ada penyimpangan-penyimpangan dalam kehidupan ini yang membuat perjalanan hidup manusia menjadi sesuatu yang menyenangkan.
Ketiga, adalah lakukan segala sesuatu dengan tujuan mengharap ridha Allah Swt dan ini akan membuat manusia hanya punya satu kepentingan, yakni ridha-Nya. Bila ini yang terjadi, maka upaya menegakkan kebaikan dan kebenaran tidak akan menghadapi kesulitan, terutama kesulitan dari dalam diri para penegaknya, hal ini karena hambatan-hambatan itu seringkali terjadi karena manusia memiliki kepentingan-kepentingan lain yang justeru bertentangan dengan ridha Allah Swt.

2. Khalifah Allah di Muka Bumi
Nilai-nilai dan segala ketentuan yang berasal dari Allah Swt harus ditegakkan dalam kehidupan di dunia ini. Untuk menegakkannya, maka manusia diperankan oleh Allah Swt sebagai khalifah (wakil) Allah di muka bumi ini untuk menegakkan syariat-syariat-Nya, Allah Swt berfirman yang artinya: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi (QS 2:30).
Untuk bisa menjalankan fungsi khalifah, maka manusia harus menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan serta menyiarkan kebaikan dan kemaslahatan, ini merupakan perkara yang sangat mendasar untuk bisa diterapkan dan tanpa kebenaran, keadilan serta kebaikan dan kemaslahatan, tidak mungkin tatanan kehidupan umat manusia bisa diwujudkan, karenanya ini menjadi persyaratan utama bagi manusia untuk menjalankan fungsi khalifah pada dirinya, Allah Swt berfirman yang artinya: Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikajn kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat karena mereka melupakan hari perhitungan (QS shad:26).
Untuk bisa memperoleh kehidupan yang baik di dunia ini, salah satu yang menjadi penopang utamanya adalah penegakkan hukum secara adil sehingga siapapun yang bersalah akan dikenai hukuman sesuai dengan tingkat kesalahannya, karenanya hal ini merupakan sesuatu yang sangat ditekankan oleh Allah Swt kepada manusia sebagaimana terdapat dalam firman-Nya yang artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS 4:58)
Mengingat keadilan begitu penting bagi upaya mewujudkan kehidupan yang baik, kerharusan berlaku adil tetap ditegakkan meskipun kepada orang yang kita benci sehingga jangan sampai karena kebencian kita kepadanya, keadilan yang semestinya ia nikmati tidak bisa mereka peroleh. Manakala keadilan bisa ditegakkan, maka masyarakat yang bertaqwa kepada Allah Swt cepat atau lambat akan terwujud, Allah berfirman yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS 5:8).

3.Membangun Peradaban
Kehidupan dan martabat manusia sangat berbeda dengan binatang. Binatang tidak memiliki peradaban sehingga betapa rendah derajat binatang itu. Adapun manusia, dicipta oleh Allah Swt untuk membangun dan menegakkan peradaban yang mulia, karenanya Allah Swt menetapkan manusia sebagai pemakmur bumi ini, Allah berfirman yang artinya: Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan pemakmurnya (QS 11:61).
Untuk bisa membangun kehidupan yang beradab, ada lima pondasi masyarakat beradab yang harus diwujudkan dan diperjuangan pelestariannya, yaitu: Pertama, nilai-nilai agama Islam yang datang dari Allah Swt, Kedua, akal yang merupakan potensi besar untuk berpikir dan merenungkan segala sesuatu. Ketiga, harta yang harus dicari secara halal dan bukan menghalalkan segala cara. Keempat, kehormatan manusia dengan akhlaknya yang mulia yang harus dijaga dan dilestarikan. Dan Kelima, keturunan atau nasab manusia yang harus jelas sehingga dalam masalah hubungan seksual misalnya, manusia tidak akan melakukannya kepada sembarang orang.
Manakala manusia tidak mampu membangun peradaban sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah Swt, maka martabat manusia akan menjadi lebih rendah dari binatang, hal ini karena manusia bukan hanya memiliki potensi fisik yang sempuna dibanding binatang, juga manusia punya botensi berpikir dan mendapat bimbingan berupa wahyu dari Allah Swt yang diturunkan kepada para Nabi. Dalam kaitan kemungkinan manusia menjadi lebih rendah atau lebih sesat dari binatang, bahkan binatang ternak dikemukakan oleh Allah Swt dalam firman-Nya yang artinya: Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati tapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai (QS 7:179).
Dari keterangan di atas menjadi jelas bagi kita bahwa kemuliaan manusia sangat tergantung pada, apakah ia bisa menjalankan tugas dan perannya dengan baik atau tidak, bila tidak, maka kemuliaannya sebagai manusia akan jatuh ke derajat yang serendah-rendah dan ia akan kembali kepada Allah dengan kehinaan yang sangat memalukan dan di akhirat, ia menjadi hamba Allah yang mengalami kerugiaan yang tidak terbayangkan.