oleh wahyu bhekti prasojo
Muhammad
Rasyid Ridho menjelaskan bahwa manusia itu berbeda-beda dalam memahami agama.
Begitu pula tingkat perhatiannya kepada tanda-tanda kekuasaan Allah. Sehingga
pada akhirnya manusia itu ada yang beriman dan ada yang tidak beriman.[1]
Oleh karena itu tidaklah tepat jika memperlakukan semua manusia dengan cara
yang sama tanpa memperhatikan perbedaan orang awam dengan ulama, antara pemula
dengan pakar, antara yang kuat dan yang lemah.[2]
Dari penjelasan di atas dapatlah
difahami bahwa tanggung jawab seorang da’i dalam usahanya menyampaikan dakwah
kepada masyarakat, yaitu: para da’i harus dapat memposisikan mad’u sebagai
sentral dakwah. Dalam gagasan Ilyas
Ismail dan Prio Hotman, memposisikan mad’u sebagai sentral dakwah adalah
memperhatikan tiga hal sebagai berikut;
1. Dakwah perlu
memperhatikan kapasitas pemikiran (tingkat intelektual) suatu masyarakat. [3]
Dakwah
bertujuan menyampaikan pesan agama seluas-luasnya kepada ummat manusia.
Sementara di lain pihak, tingkat pemahaman suatu kelompok masyarakat dengan
kelompok masyarakat yang lain pasti berbeda. Masyarakat yang sederhana dan
bersahaja memiliki kecendrungan memahami sesuatu secara mudah (simplifikasi)
dan apa adanya. Sedangkan semakin tinggi tingkat intelektual, masyarakat
cenderung memahami agama secara lebih kompleks.
Sebagai
contoh, adalah perbedaan antara masyarakat di pedesaan dan di perkotaan. Beberapa
ciri yang membedakan budaya masyarakat pedesaan dan perkotaan antara lain[4]:
Masyarakat
Pedesaan
|
Masyarakat
Perkotaan
|
Tidak memerlukan perubahan, sudah puas dengan apa yang ada. Warisan
tradisi lama tidak boleh diubah apalagi diganti.
|
Makin modern masyarakat, makin ba-nyak kebutuhannya.
|
Penemuan memerlukan keahlian, de-ngan tidak adanya lembaga
pendidikan, maka tidak ada keahlian.
|
Ada banyak tenaga ahli.
|
Tidak ada rangsangan penemuan, bah-kan ada ancaman adat atau
perlawanan masyarakat terhadapnya.
|
Ada rangsangan yang tinggi untuk pene-muan.
|
Oleh
karena itu kata-kata, dapat menyebabkan timbulnya kebencian, iri hati, dengki
dan salah paham. Tak jarang, kalimat singkat dapat memicu terjadinya
pertumpahan darah di antara dua orang, atau bahkan dua bangsa. Inilah yang
disebutkan oleh sebuah teori dalam ilmu social; bahwa masyarakat dengan
kesatuan kebudayaan membawa kepada kesatuan hukum. Perselisihan dalam
masyarakat dapat diselesaikan dengan hukum. Tetapi perselisihan antara dua
masyarakat yang berbeda budaya, tidak dapat diselesaikan dengan hukum, tetapi
dengan kekerasan.[5]
Da’i
dan mad’u adalah ibarat mewakili dua kebudayaan yang berbeda. Maka da’i dalam
hal ini tidak dapat menilai masyarakat obyek dakwahnya berdasarkan nilai yang
telah dianutnya lebih dulu. Karena masyarakat obyek dakwah belum mengetahui,
menyepakati dan meresapi nilai-nilai tersebut. Jika da’i memaksakan utuk
menilai mad’u secara sefihak maka akan berpotensi menimbulkan kekerasan. Oleh
karena itu harus terlebih dahulu disosialisasikan nilai-nilai sehingga da’i dan
mad’u menjadi satu masyarakat dengan budaya yang sama. Firman Allah:
فبما رحمة من الله لنت لهم ولو كنت فظا
غليظ القلب لانفضوا من حولك فاعف عنهم واستغفر لهم وشاورهم في الأمر فإذا عزمت فتوكل
على الله إن الله يحب المتوكلين
“Maka disebabkan rahmat dari Allah kamu berlaku lemah-lembut
terhadap mereka,. Sekiranya kamu bersikap keras
lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkan ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS. Al-Imran [3]:159).
2. Dakwah harus
memperhatikan kondisi kejiwaan (suasana psikologis) suatu masyarakat.[6]
Kondisi
kejiwaan masyarakat terkait erat dengan peristiwa-peristiwa yang dialaminya.
Sementara itu setiap masyarakat mengalami peristiwa yang berbeda, sehingga
pembentukan suasana kejiwaan mereka pun berbeda. Dakwah dalam kaitannya dengan
ini, perlu menyesuaikan materi dan metodenya. Suatu materi dan metode tidak
melulu dinilai dengan benar atau salah, melainkan dengan tepat atau tidak
tepat.
Gagasan
dakwah yang menempatkan mad’u sebagai sentral, menghendaki strategi dakwah yang
empatik, simpatik dan humanistik sekaligus. Empati dan simpati adalah upaya
mengandaikan da’i dalam posisi mad’u, sedangkan humanis adalah upaya memahami
mad’u sebagai manusia yang utuh. Pengabaian terhadap aspek-aspek ini hampir
dapat dipastikan membuat dakwah menjadi tidak efektif. Ia tidak akan membawa
kemajuan dan kebaikan, malah mungkin membawa kemunduran dan kerugian.[7]
Dengan demikian seorang da’i perlu memperhatikan perbedaan-perbedaan psikologis
mad’u. Karena penerimaan terhadap dakwah itu juga bergantung kepada kepribadian
manusia yang berbeda satu sama lain.
Kepribadian
merupakan sikap menghadapi kehidupan, sikap dalam memberi jawaban dan tanggapan
terhadap keadaan atau kejadian yang dihadapi. Ia merupakan organisasi
faktor-faktor biologi, psikologi dan sosiologi yang mendasari laku perbuatan
individu.[8]
Kepribadian
adalah kompleks pola daya rasional, persepsi, ide, kebiasaan dan keadaan
respons emosional. Kepribadian itu sebagian mungkin berasal dari kapasitas atau
predisposisi tertentu yang dikuasai oleh keturunan, sebagian dari keadaan dan
peranan individu yang diperolehnya selama hidupnya, dan sebagian lagi dari
latihan yang diberikan kepadanya oleh kebudayaan tertentu.[9]
Atau
dalam bahasa Ahmad Mubarok, bahwa secara psikologis setiap orang akan
mempersepsi stimuli sesuai dengan karakteristik personalnya. Sebuah pesan yang
sama akan diberi makna berlainan oleh orang yang berbeda.[10]
Dengan menyadari hal ini seorang da’i akan dapat menyampaikan pesan-pesan
dakwahnya secara persuasive sesuai dengan kondisi psikologis mad’u. Dakwah
persuasif adalah proses mempengaruhi mad'u dengan pendekatan psikologis,
sehingga mad'u mengikuti ajakan da'i tetapi mereka merasa sedang melakukan
sesuatu atas kehendak sendiri.[11]
Maka
tanggung jawab da’i dalam masalah ini adalah selalu berusaha untuk membangun kedekatan
dengan individu dan masyarakat agar dapat memenuhi hak-hak mereka sebagai obyek
dakwahnya. Memenuhi hak-hak mad’u dalam
kerangka dakwah ini sesungguhnya adalah sama dengan memenuhi hak-haknya sebagai
manusia. Maka dakwah itu semestinya bersifat humanistic.
Ada dua hak mad’u yang mesti dipenuhi oleh da’i,
yaitu : hak hubungan social antar pribadi (interpersonal relation ship),
dan hak hubungan antar keterkaitan komunikasi (communication interconnecting
right). Untuk dapat memenuhi hak yang pertama dibutuhkan kwalitas da’i
dalam membangun pola hubungan antar personal yang nyaman dan penuh keakraban.
Sedangkan hak yang kedua menekankan pola hubungan ketergantungan dan saling
respon serta saling pengertian.[12]
Dalam Ilmu Sosial disebutkan sebuah teori;
kelanggengan suatu hubungan dalam masyarakat terkait dalam suatu kontrak tidak
tertulis ketika suatu hubungan social terjalin, saat itu pula kontrak
disepakati atas ketulusan komitmen masing-masing sebagai konsekuensi logis.[13] Karena secara psikologis,
orang hanya mau membuka dirinya kepada pihak yang benar-benar dikenalnya.
Ketiadaan jarak antar hubungan memungkinkan tumbuhnya selera untuk menjalin
keakraban pergaulan. Kedekatan atau keakraban adalah implikasi logis dari
empati dan simpati.[14]
Teori di atas mirip dengan teori transaksional yang
dikemukakan Achmad Mubarok, bahwa hubungan antar manusia itu berlangsung
mengikuti kaidah-kaidah transaksional, yaitu apakah masing-masing fihak merasa
memperoleh keuntungan dalam hubungan itu.[15] Jika merasa mendapatkan
keuntungan maka hubungan itu akan bertahan lama, tapi jika merasa tidak
mendapatkan apa-apa atau merugi maka hubungan itu bisa putus.
Dalam
konteks dakwah, kontinuitas dan kualitas hubungan antara da’i dan mad’u
bergantung kepada seberapa besar masing-masing fihak memperoleh kepuasan dalam
hubungan proses dakwah itu.[16] Jika masyarakat merasa apa yang disampaikan da’i
benar-benar bagus dan memuaskan dan mereka “membayarnya” dengan “harga” yang
pantas maka hubungan itu dapat bertahan dan mengarah kepada tujuan-tujuan
dakwah Islam. Begitupun sebaliknya.
3. Dakwah perlu
memperhatikan problematika kekinian yang dihadapi oleh suatu masyarakat.[17]
Risalah
Islam diturunkan dengan kepentingan merespons masalah-masalah ummat manusia dan
membantu mencarikan jalan keluar dengan mengarahkan manusia melalui bimbingan
agar lebih berfihak kepada muatan nilai-nilai moral dan ketuhanan. Maka dakwah
mesti bersifat kekinian dan kedisinian. Karena setiap kelompok masyarakat
memiliki problematikanya masing-masing.
Salah satu tujuan dakwah adalah terjadinya perubahan
prilaku (behaviour change) pada masyarakat yang menjadi obyek dakwah kepada
situasi yang lebih baik. Tampaknya, sikap dan prilaku (behaviour) masyarakat
dewasa ini hampir dapat dipastikan lebih banyak dipengaruhi oleh keadaan
sekitarnya. Maka da’i dapat merekayasa lingkungan sedemikian rupa sehingga
mempengaruhi dan merubah pola hidup masyarakat.
Perubahan
dalam kebudayaan dapat terjadi karena beberapa hal yaitu:
1. Adanya
penemuan baru dalam masyarakat (discovery).
2. Jika
penemuan itu diterapkan dalam masyarakat; maka ia disebut invention.
3. Terjadi
inovasi dalam masyarakat, yaitu perubahan dalam skala yang besar dan waktu yang
lama.[18]
Selain itu,
perubahan masyarakat juga bisa terjadi jika suatu unsur kebudayaan tidak cocok
lagi dengan lingkungannya, ia akan ditinggalkan dan akan diganti dengan yang
lebih baik. Atau dapat juga terjadi ada unsur kebudayaan yang gagal dalam
pewarisannya dari generasi ke generasi berikutnya.[19]
Pada dasarnya jika pesan dakwah yang
disampaikan oleh da'i memang relevan dengan kebutuhan masyarakat, yang
merupakan satu keniscayaan yang tak mungkin ditolak, maka masyarakat akan
menerima pesan dakwah itu dengan antusias.[20]
Di satu sisi, dakwah memang harus sanggup menawarkan suatu model ideal
dari kehidupan yang dicita-citakan. Sementara di sisi lain, dakwah juga
dituntut harus tetap responsive terhadap berbagai perubahan yang terjadi
sebagai akibat interaksi antar kehidupan umat manusia disatu pihak dan tuntutan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dipihak lain. Oleh karena itu,
dakwah harus mampu memerankan dirinya sebagai suatu model pendekatan yang
multidimensi, sehingga tetap relevan dengan berbagai persoalan tempat dan
zaman.
Inilah
yang dimaksud dengan dakwah menawarkan program pengembangan masyarakat atau community
development. Pengembangan masyarakat adalah proses penguatan
masyarakat secara aktif dan berkelanjutan berdasarkan prinsip keadilan sosial,
partisipasi dan kerja sama yang setara.[21] Pengembangan
masyarakat mengekspresikan nilai-nilai keadilan,
kesetaraan, akuntabilitas, kesempatan, pilihan , partisipasi,
kerjasama, dan proses belajar keberlanjutan.[22]
Pengembangan
masyarakat berusaha untuk memberdayakan individu dan kelompok orang dengan
menyediakan keterampilan yang mereka butuhkan untuk menghasilkan perubahan di
komunitas mereka sendiri. Keterampilan ini sering diciptakan melalui
pembentukan kelompok-kelompok sosial yang besar bekerja untuk sebuah agenda
bersama. Tujuan dalam pengembangan masyarakat terbagi atas aspek tujuan antara
yaitu membangkitkan partispasi penuh warga masyarakat dan tujuan akhir yaitu
perwujudan kemampuan dan integrasi masyarakat untuk membangun diri mereka
sendiri.[23]
Pengembangan
masyarakat melibatkan perubahan hubungan antara orang-orang dalam masyarakat,
sehingga setiap orang dapat mengambil bagian dalam isu-isu yang mempengaruhi
kehidupan mereka. Dimulai dari prinsip bahwa dalam masyarakat manapun ada
banyak pengetahuan dan pengalaman yang jika digunakan dengan cara yang kreatif,
dapat disalurkan ke dalam tindakan kolektif untuk mencapai tujuan masyarakat
yang diinginkan.
Dalam kegiatan dakwah seperti ini, secara
fungsional da'i adalah pemimpin, yakni memimpin masyarakat dalam menuju kepada
jalan Tuhan. Oleh karena itu, sudah selayaknya seorang da'i memiliki
sifat-sifat kepemimpinan. Secara sosiologis, seorang da'i di samping
menjalankan kepemimpinan keagamaan dimungkinkan juga untuk menjalankan
kepemimpinan dalam bidang-bidang lain.[24]
Karena perubahan masyarakat tidak melulu murni disebabkan oleh kesadaran yang
bersumber dari lubuk hati, tetapi sering pula karena bujukan, setengah dipaksa,
atau perlu pemaksaan oleh suatu kekuatan supaya dapat memahami suatu kebenaran.
Maka perlu unsure kepemimpinan seorang da’i yang dapat mensugesti agar proses
dakwah menjadi lancar.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Aziz, Jum’ah Amin, Fiqih Dakwah, Prinsip dan Kaidah Asasi Dakwah
Islam, alih bahasa Abdus Salam Masykur, Intermedia Solo, 1997.
Gazalba,
Sidi, Masyarakat Islam, Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, Bulan
Bintang, Jakarta, 1976.
Ismail,
Ahmad Ilyas & Prio Hotman, Filsafat Dakwah, Rekayasa Membangun Agama
dan Peradaban Islam, Kencana Prenada Group, Jakarta, 2013.
Mubarok,
Achmad, Psikologi Dakwah, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001.
_______________,
Psikologi Islam, Kearifan & Kecerdasan HIdup, The
International Institute of Islamic Thought dan Wahana Aksara Prima, Jakarta,
2009.
Ridha,
Muhammad Rasyid, Wahyu Ilahi kepada Muhammad,alih bahasa Josef
C.D, Pustaka Jaya, Jakarta,1987.
Suharto, Edi, CSR
& COMDEV, Alfabeta, Bandung, 2010.
Wibhawa,
Budi, Santoso Tri Raharjo & Meilany Budiarti, Dasar-Dasar
Pekerja Sosial, Widya Padjadjaran, Bandung, 2010.
[1] Muhammad
Rasyid Ridha, Wahyu Ilahi kepada Muhammad,alih bahasa Josef C.D,
Pustaka Jaya, Jakarta,1987, h.433.
[2]
Jum’ah Amin Abdul Aziz, Fiqih Dakwah, Prinsip dan Kaidah Asasi
Dakwah Islam, alih bahasa Abdus Salam Masykur, Intermedia Solo, 1997,
hal. 179.
[3]
Ilyas Ismail & Prio Hotman, Filsafat Dakwah, Rekayasa Membangun Agama
dan Peradaban Islam, Kencana Prenada Group, Jakarta, 2013, hal. 159.
[4]
Sidi Gazalba, Masyarakat Islam, Pengantar Sosiologi dan Sosiografi,
Bulan Bintang, Jakarta, 1976, hal.70-71.
[5]
Sidi Gazalba, ibidi, hal. 52.
[6]
Ilyas Ismail & Prio Hotman, op.cit, hal.160.
[7]
Ilyas Ismail & Prio Hotman, ibid, hal.164.
[8]
Sidi Gazalba, op.cit, hal.38.
[9]
Sidi Gazalba, ibid, hal.38.
[10]
Achmad Mubarok, Psikologi Dakwah, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001,
hal.107-108.
[11]
Achmad Mubarok, ibid, hal. 161.
[12]
Ilyas Ismail & Prio Hotman, op.cit, hal 165.
[13]
Ilyas Ismail & Prio Hotman, ibid, hal. 166.
[14]
Ilyas Ismail & Prio Hotman, ibid, hal. 167.
[15]
Achmad Mubarok, Psikologi Islam, Kearifan & Kecerdasan HIdup,
The International Institute of Islamic Thought dan Wahana Aksara Prima,
Jakarta, 2009, hal.212.
[16]
Achmad Mubarok, Psikologi Dakwah, op.cit, hal.146.
[17]
Ilyas Ismail & Prio Hotman, op.cit, hal. 162.
[18]
Sidi Gazalba, op.cit, hal. 68.
[19]
Sidi Gazalba, ibid, hal. 70.
[20]
Achmad Mubarok, Psikologi Dakwah, op.cit, hal. 161.
[22] Edi Suharto, ibid, hal.66
[23]
Budi Wibhawa, Santoso Tri Raharjo & Meilany Budiarti, Dasar-Dasar
Pekerja Sosial, Widya Padjadjaran, Bandung, 2010, hal. 110.
[24]
Achmad Mubarok, Psikologi Dakwah, ibid, hal. 200.