Wednesday, March 1, 2017

DEFINISI AQIDAH


Secara bahasa, aqidah berasal dari perkataan bahasa arab yaitu kata dasar ‘aqada yang berarti ikatan pada tali dan semacamnya, fondasi bangunan, jual beli, perjanjian dan sumpah.[1]

Jika disebutkan al ‘aqdu, maka ia berarti sesuatu yang menjadi dasar dari suatu bangunan.[2] Makna lainnya dari al aqdu adalah al ‘ahdu, yaitu kesepakatan antara dua pihak yang mengikat kedua belah pihak untuk memenuhi tuntutan-tuntutan kesepakatan itu, seperti pada perjanjian jual beli dan akad nikah.[3] Demikian pula pada perjanjian kerja, umpamanya dalam bidang ekonomi atau politik, maka aqdu mewajibkan seseorang untuk bekerja melayani seseorang lainnya dengan imbalan gaji atau upah.[4]

Maka al ‘aqidah adalah sebuah hukum atau kepastian yang tidak diterima adanya keraguan padanya bagi orang yang meyakininya. Dalam agama, maksudnya adalah keyakinan-keyakinan yang bukan perbuatan, seperti yakin kepada eksistensi Allah dan diutusnya rasul-rasul.[5]

Sedangkan secara istilah, aqidah menurut Hasan al-Banna adalah beberapa perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa yang tidak bercampur sedikit dengan keraguan-raguan.[6] Sehingga menjadi suatu kenyataan yang teguh dan kokoh, yang tidak tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan,atau dapat juga diartikan sebagai iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikitpun bagi orang yang meyakininya serta tidak mudah terurai oleh  pengaruh manapun baik dari dalam atau dari luar diri seseorang.



[1] Ibrahim Mustafa, at.all, Al Mu’jam Al Wasith, (Istambul, Al Maktabah Al Islamiyah, lit Tiba’ah wan Nasyr wat Tauzi’, 1972), hal.613-614.
[2] Ibid.hal.614
[3] Ibid.hal.614.
[4] Ibid.614.
[5] Ibid.614.
[6] Hasan Al Banna, Majmu’atu Rosail Hasan Al Banna, terj. Khozin Abu Faqih & Burhan, Kumpulan Risalah Dakwah Hasan Al Banna, (Jakarta, I’tishom Cahaya Ummat, 2011), Jilid 2, hal.343.

BAHAYA MENINGGALKAN DAKWAH


1. Teks dan Sanad Hadits

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَنْ عُقَيْلٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، أَنَّ زَيْنَبَ بِنْتَ أَبِي سَلَمَةَ، حَدَّثَتْهُ عَنْ أُمِّ حَبِيبَةَ بِنْتِ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُنَّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، دَخَلَ عَلَيْهَا فَزِعًا يَقُولُ: «لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَيْلٌ لِلْعَرَبِ مِنْ شَرٍّ قَدِ اقْتَرَبَ ، فُتِحَ اليَوْمَ مِنْ رَدْمِ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ مِثْلُ هَذِهِ» وَحَلَّقَ بِإِصْبَعِهِ الإِبْهَامِ وَالَّتِي تَلِيهَا، قَالَتْ زَيْنَبُ بِنْتُ جَحْشٍ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ: أَنَهْلِكُ وَفِينَا الصَّالِحُونَ؟ قَالَ: «نَعَمْ إِذَا كَثُرَ الخَبَثُ»[1]

2. Terjemah Hadits

Telah bercerita kepada kami Abu Al Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu'aib dari Az Zuhriy berkata, telah bercerita kepadaku 'Urwah bin Az Zubair bahwa Zainab binti Usamah bercerita keadanya bahwa Ummu Habibah binti Abu Sufyan bercerita kepadanya dari Zainab binti Jahsy bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam masuk menemuinya dengan gemetar lalu bersabda: "Laa ilaaha illallah, celakalah bangsa Arab karena keburukan yang semakin dekat, hari ini telah dibuka benteng Ya'juj dan ma'juj". Beliau memberi isyarat dengan mendekatkan telunjuknya dengan jari sebelahnya. Zainab binti Jahsy berkata, Aku bertanya; "Wahai Rasulullah, apakah kita akan binasa sedangkan di tengah-tengah kita banyak orang-orang yang shalih?". Beliau menjawab: "Benar, jika keburukan telah mewabah".(HR. Bukhari)

3. Takhrij hadits

Imam Al Bukhary meriwayatkan hadits ini dalam Shahihnya pada banyak tempat, yaitu pada bab Qishah Ya’juj wa Ma’juj,juz 4 halaman 138, bab ‘Alamatun Nubuwah fil Islam,juz 4, halaman 198, bab Qauli Nabi saw: Waylul al Arab min Syarr qod iqtaraba, juz 9 halaman 48 dan pada bab Ya’juj wa Ma’juj, juz 9 halaman 61.

Imam Muslim juga meriwayatkannya dalam Shahihnya, pada bab Iqtaroba al Fitan wa Fathu Radmi, juz 4 halaman 2207 dan 2208. Demikian pula Imam At Tirmidzy dalam Sunannya, yaitu pada bab Ma Ja’a ma’a Kharaja Ya’juj wa Ma’juj, juz 4 halaman 480. Juga Imam Ibnu Majah dalam Sunan Ibnu Majah, bab Ma Yakunu min al Fitan, juz 2 halaman 1305.

4. Penjelasan Hadits dan Pelajarannya

  1. Sebagaimana melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar mengandung banyak kemaslahatan bagi umat manusia di dunia maupun di akhirat, maka begitu pula sebaliknya, meninggalkan amalan yang agung ini akan menimbulkan berbagai kerusakan yang dapat menghilangkan ketentraman dan kedamaian dalam kehidupan.
  2. Syaikh Muhammad Fuad Abdul Baqy menjelaskan bahwa jika kerusakan telah menyebar luas dan orang-orang melakukan maksiat dengan terang-terangan, sebagian ulama memaksudkan kerusakan itu dengan berzina secara terang-terangan, maka semua orang akan dibinasakan, meskipun di tengah-tengah mereka ada orang-orang shaleh.[2]

واتقوا فتنة لا تصيبن الذين ظلموا منكم خآصة واعلموا أن الله شديد العقاب

‘’Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan ketahuilah bahwa Allah Amat keras siksaan-Nya.’’ (Al-Anfal:25)

 

Dalam mengomentari hadits di atas, Syaikh Muhammad bin `Abdurrahmân al-Mubârakfûri rahimahullah berkata: “Dan memang seperti itu maknanya, jika manusia melarang orang yang berbuat maksiat, maka mereka semua akan selamat dari adzab Allah Ta’ala, dan sebaliknya, jika mereka membiarkan kemaksiatan, maka mereka semua akan ditimpa adzab dan akan binasa, dan ini adalah makna ayat (di atas).[3]

  1. Di antara tanda kerusakan merajalela tersebut adalah:

  • Maksiat merajalela, karena para pelaku maksiat dan dosa semakin bernyali untuk melakukan perbuatan nistanya.
  • Hilangnya ilmu dan tersebarnya kebodohan, karena jarangnya ahli agama yang menyebarkan ilmu dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
  • Sikap diam orang-orang yang mampu menegakkan amar ma’ruf nahi munkar akan membuat perbuatan tersebut menjadi baik dan indah di mata khalayak ramai, kemudian mereka pun akan menjadi pengikut para pelaku maksiat, dan hal ini adalah termasuk musibah dan bencana yang paling besar. 

  1. Diriwayatkan dari Qays bin Abu Hazim, di mana ia berkata, Aku mendengar Abu Bakar ra berkata: Sesungguhnya kalian membaca ayat ini:

يا أيها الذين آمنوا عليكم أنفسكم لا يضركم من ضل إذا اهتديتم إلى الله مرجعكم جميعا فينبئكم بما كنتم تعملون

Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.(QS Al Ma’idah: 5).

Sesungguhnya Aku mendengar bahwa Rasulullah bersabda:

وَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَا مِنْ قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيهِمْ بِالْمَعَاصِي، ثُمَّ يَقْدِرُونَ عَلَى أَنْ يُغَيِّرُوا، ثُمَّ لَا يُغَيِّرُوا، إِلَّا يُوشِكُ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّهُ مِنْهُ بِعِقَابٍ

“Sesungguhnya jika manusia melihat seseorang melakukan kedzaliman, kemudian mereka tidak mencegah orang itu, maka ALLAH akan meratakan adzab kepada mereka semua. (HR. Abu Dawud).[4]

 

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ketika beliau ditanya tentang ayat tersebut di atas, beliau menjawab, “Saat ini bukanlah saat yang seperti itu. Akan tetapi saat itu nanti adalah manakala hawa nafsu telah menguasai jiwa dan orang-orang suka berdebat kusir, maka pada saat itu masing-masing orang akan menginterpretasikannya.[5]



[1] Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al Bukhary al Ja’fy, op.cit, Juz 4, hal.134.
[2] Imam Muslim, op.cit, juz 4, halaman 2207.
[3] Maer el Amien, Bahaya Meninggalkan Dakwah (http://maer-elamien.blogspot.com/2013/01/hadist-dakwah-makalah-maerelamien.html), 6/11/2014, 8:45 wib.
[4] Abu Dawud, op.cit, Juz 4, hal.122.
[5] Nashr bin Muhammad bin Ibrahim, Abu Laits As Samarqandy, Tanbihul Ghafilin, alih bahasa Muslich Shabir, Karya Toha Putra, Semarang, 2005, hal.148.