Wednesday, February 7, 2018

AL IHSAN

A. PENGERTIAN

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata tentang al-Ihsaan:

أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ ، فَإِنَّهُ يَرَاكَ

“Al-Ihsan adalah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihatNya, maka jika engkau tidak bisa melihatNya maka sesungguhnya Ia melihatmu” (HR Al-Bukhari dan Muslim)

B.MUROQOBATULLAH

Untuk bisa selalu berbuat ihsan, ada dua perkara yang mesti dilakukan seorang muslim. Yang pertama hendaknya ia senantiasa bermuroqobah.

Secara sederhana Abdullah Nashih Ulwan menjelaskan pengertian Muroqobah yaitu merasakan kesertaan Allah SWT atau perasaan seorang hamba yang selalu merasa diawasi oleh Allah SWT dalam setiap gerak hidupnya.

Muroqobah berdekatan dengan taqwa. Taqwa adalah sifatnya, muroqobah adalah kegiatannya. Taqwa adalah konsekwensi logis dari keimanan yang kokoh, keimanan yang selalu dipupuk dengan muroqobatullah; merasa takut terhadap murka dan adzab-Nya, dan selalu berharap limpahan karunia dan maghrifah-Nya.

C. IHSANULLAH

Yang kedua, hendaknya ia senantiasa menyadari bahwa Allah telah memberikan nikmatnya yang besar kepada semua makhlukNya (QS. 28:77, buka juga QS. 108: 1-3)

Nikmat Allah sungguh tak sanggup untuk dihitung. Sebagaimana dijelaskanNya pada bagian awal surat An Nahl, seperti hewan ternak, hujan, tumbuhnya berbagai tanaman (zaitun, kurma, dan anggur), peralihan malam dan siang, laut yang penuh dengan karunia Allah, gunung-gunung yang dijadikan sebagai pasak agar bumi tidak bergoncang dan bintang sebagai petunjuk arah serta penanda musim.

D. MA'IYATULLAH

Lalu pada ayat ke 18, Allah berfirman,

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ

“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nahl: 18).

Pada dasarnya manusia selalu kurang bersyukur, bahkan gak jarang ia juga bermaksiat. Tetapi Allah Maharahman, mentolerir kekurangan dan kemaksiatan, sebagai kesempatan untuk bertaubat.

Pada tempat yang lain, Allah berfirman;

كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَى نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ أَنَّهُ مَنْ عَمِلَ مِنْكُمْ سُوءًا بِجَهَالَةٍ ثُمَّ تَابَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَصْلَحَ فَأَنَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Tuhanmu telah menetapkan atas Diri-Nya rahmat (kasih sayang), yaitu bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-An’aam [6]: 54).

Imam Ibnul Qoyyim menegaskan, bahwa Allah tidak lain adalah Zat Pemberi Kebaikan sedangkan manusia selalu lalai dan berbuat maksiat pada setiap kebaikan Allah yang diterimanya. Maka berbahagialah bagi yang mengerti tentang Rabbnya kemudian mengakui kesalahan-kesalahannya di hadapanNya.

Imam Ibnu Jarir Ath Thobari berkata, “Sesungguhnya Allah memaafkan kekurangan kalian dalam bersyukur. Jika kalian bertaubat, kembali taat dan ingin menggapai ridho Allah, Dia sungguh menyayangi kalian dengan ia tidak akan menyiksa kalian setelah kalian betul-betul bertaubat.”

Jadi sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak pernah meninggalkan hamba-hambanya yang bermaksiat kepadaNya, memberinya waktu untuk bertaubat sambil tetap saja mengawasi segala perbuatan, juga tetap memberi nikmat dan karunia. Tidakkah seharusnya kita malu? Tidakkah seharusnya kita selalu berbuat baik? Untuk membalas kebaikanNya, juga menambal kurangnya syukur kita?

No comments:

Post a Comment