Allah swt berfirman dalam
surat Al Kahfi ayat 29.
وقل الحق من ربكم فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر إنا أعتدنا للظالمين
نارا أحاط بهم سرادقها وإن يستغيثوا يغاثوا بماء كالمهل يشوي الوجوه بئس الشراب وساءت
مرتفقا
Allah Swt berfirman: “Dan katakanlah:
“Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barang siapa yang ingin (beriman)
hendaklah ia beriman, dan barang siapa ingin (kafir) biarlah ia kafir.”
Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang
gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan
diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka.
Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (Qs. Al-Kahfi [18]
: 29)
Maksudnya adalah Allah
Swt menurunkan ayat tersebut, yang memerintahkan Nabi untuk mengumumkan bahwa
kebenaran adalah milik-Nya, lalu mengatakan kepada orang-orang kafir yang
tenggelam pada kenikmatan dunia bahwa kebenaran adalah milik Tuhan dan
dari-Nya, barang siapa yang ingin beriman maka akan beriman dan barang siapa
ingin kafir maka ia akan kafir. [1]
Imam Al Maraghy
menambahkan bahwa kebenaran dari Tuhan itu wajib bagi manusia untuk
mengikutinya dan mengamalkannya, maka siapa yang mau beriman dengannya dan
masuk kedalam golongan orang beriman, dan tidak terjebak dengan hal-hal yang
tidak berguna baginya dan menjadi penyelamat baginya, maka ia bebas
melakukannya.[2]
Adapun orang yang ingin mengingkarinya dan membelakanginya, maka urusannya
diserahkan kepada Allah, dan tidak menjadi tanggung jawab Nabi Muhammad untuk
membuat mereka mengikuti kebenaran, dan beriman kepada Allah dan apa yang
diturunkan kepada beliau.[3]
Kekufuran mereka tidak
akan membahayakan bagi Allah dan iman mereka pun tidak akan memberi manfaat
buat Allah. Karena iman dan pahalanya serta kufur dan siksanya semua itu
kembali kepada diri mereka sendiri. Oleh itu apapun yang mereka mau harus
mereka pilih.
«إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ
لِأَنْفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَها» .
Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu
sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri, (QS Al
Isra’ [17]: 7)
Mereka
bebas memilih, karena akibat dibelakang hari telah diperingatkan Allah pada
penggalan ayat selanjutnya, Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi
orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka…dan
seterusnya.
Sa’id Hawwa menjelaskan bahwa
manusia bebas memilih apa yang dikehendaki untuk dirinya, apakah mau mengambil
jalan menuju keselamatan atau memilih jalan menuju kehancuran. Kemudian Allah
kemukakan ancaman bagi orang yang memilih kekufuran yaitu neraka dengan api
yang bergejolak.[4]
Di sinilah berlaku apa
yang disebut sebagai teori peran. Teori peran adalah analogi perilaku manusia
dalam masyarakat seperti actor yang memerankan suatu karakter dalam theater.
Perilaku yang diharapkan dari seseorang tidak berdiri sendiri melainkan selalu
terkait dengan perilaku orang-orang lain yang berhubungan.[5]
Teori ini memandang bahwa semua manusia telah ditentukan perannya
masing-masing. Maka setiap orang diharapkan melaksanakan perannya dengan baik,
agar kehidupan berjalan dengan baik.
Harapan agar setiap orang menjalankan perannya dengan baik
itu melahirkan norma.[6] Perwujudan
peran ditimbang dengan norma-norma yang berlaku, maka lahirlah penilaian dan
sanksi.[7]
Penilaian dan sanksi didasarkan pada harapan tentang norma yang ditimbul
sebagai hasil komunikasi yang terbuka. Jika norma, penilaian dan sanksi ini
telah meresap kedalam diri setiap individu ia berubah menjadi nilai (values)
yang mengatur perwujudan perannya.[8] Selanjutnya jika nilai dan sanksi atas perilaku yang
sesuai ataupun menyimpang dari norma telah diketahui bersama, maka setiap orang
bertanggungjawab atas perilakunya masing-masing.
[1]
Ibnu Katsir, op.cit, Juz 5, hal. 139.
[2]
Imam Al Maraghy, op.cit, Juz 15, hal. 143.
[3]
Imam Al Maraghy, ibid, Juz 15, hal. 143.
[4]
Said Hawwa, Al-Asas fi at Tafsir, Darussalam, Mesir,
1993 M/ 1414 H), Jilid 6, hlm 3175-3176.
[5]
Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-teori Psikologi Sosial, Rajawali Press,
Jakarta, 1984, hal.234.
[6]
Sarlito Wirawan Sarwono, ibid, hal.236.
[7]
Sarlito Wirawan Sarwono, ibid, hal.237.
[8]
Sarlito Wirawan Sarwono, ibid, hal.241.
No comments:
Post a Comment