Thursday, November 16, 2017

HAK DAN KEBEBASAN MANUSIA MENURUT AL QUR’AN


Allah swt berfirman dalam surat Al Kahfi ayat 29.
وقل الحق من ربكم فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر إنا أعتدنا للظالمين نارا أحاط بهم سرادقها وإن يستغيثوا يغاثوا بماء كالمهل يشوي الوجوه بئس الشراب وساءت مرتفقا
Allah Swt berfirman: “Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa ingin (kafir) biarlah ia kafir.” Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (Qs. Al-Kahfi [18] : 29)
Maksudnya adalah Allah Swt menurunkan ayat tersebut, yang memerintahkan Nabi untuk mengumumkan bahwa kebenaran adalah milik-Nya, lalu mengatakan kepada orang-orang kafir yang tenggelam pada kenikmatan dunia bahwa kebenaran adalah milik Tuhan dan dari-Nya, barang siapa yang ingin beriman maka akan beriman dan barang siapa ingin kafir maka ia akan kafir. [1]
Imam Al Maraghy menambahkan bahwa kebenaran dari Tuhan itu wajib bagi manusia untuk mengikutinya dan mengamalkannya, maka siapa yang mau beriman dengannya dan masuk kedalam golongan orang beriman, dan tidak terjebak dengan hal-hal yang tidak berguna baginya dan menjadi penyelamat baginya, maka ia bebas melakukannya.[2] Adapun orang yang ingin mengingkarinya dan membelakanginya, maka urusannya diserahkan kepada Allah, dan tidak menjadi tanggung jawab Nabi Muhammad untuk membuat mereka mengikuti kebenaran, dan beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada beliau.[3]
Kekufuran mereka tidak akan membahayakan bagi Allah dan iman mereka pun tidak akan memberi manfaat buat Allah. Karena iman dan pahalanya serta kufur dan siksanya semua itu kembali kepada diri mereka sendiri. Oleh itu apapun yang mereka mau harus mereka pilih.
«إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَها» .
Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri, (QS Al Isra’ [17]: 7)
Mereka bebas memilih, karena akibat dibelakang hari telah diperingatkan Allah pada penggalan ayat selanjutnya, Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka…dan seterusnya.
Sa’id Hawwa menjelaskan bahwa manusia bebas memilih apa yang dikehendaki untuk dirinya, apakah mau mengambil jalan menuju keselamatan atau memilih jalan menuju kehancuran. Kemudian Allah kemukakan ancaman bagi orang yang memilih kekufuran yaitu neraka dengan api yang bergejolak.[4]
Di sinilah berlaku apa yang disebut sebagai teori peran. Teori peran adalah analogi perilaku manusia dalam masyarakat seperti actor yang memerankan suatu karakter dalam theater. Perilaku yang diharapkan dari seseorang tidak berdiri sendiri melainkan selalu terkait dengan perilaku orang-orang lain yang berhubungan.[5] Teori ini memandang bahwa semua manusia telah ditentukan perannya masing-masing. Maka setiap orang diharapkan melaksanakan perannya dengan baik, agar kehidupan berjalan dengan baik.
Harapan agar setiap orang menjalankan perannya dengan baik itu melahirkan norma.[6] Perwujudan peran ditimbang dengan norma-norma yang berlaku, maka lahirlah penilaian dan sanksi.[7] Penilaian dan sanksi didasarkan pada harapan tentang norma yang ditimbul sebagai hasil komunikasi yang terbuka. Jika norma, penilaian dan sanksi ini telah meresap kedalam diri setiap individu ia berubah menjadi nilai (values) yang mengatur perwujudan perannya.[8] Selanjutnya  jika nilai dan sanksi atas perilaku yang sesuai ataupun menyimpang dari norma telah diketahui bersama, maka setiap orang bertanggungjawab atas perilakunya masing-masing.



[1] Ibnu Katsir, op.cit, Juz 5, hal. 139.
[2] Imam Al Maraghy, op.cit, Juz 15, hal. 143.
[3] Imam Al Maraghy, ibid, Juz 15, hal. 143.
[4] Said Hawwa, Al-Asas fi at Tafsir, Darussalam, Mesir, 1993 M/ 1414 H), Jilid 6, hlm 3175-3176.
[5] Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-teori Psikologi Sosial, Rajawali Press, Jakarta, 1984, hal.234.
[6] Sarlito Wirawan Sarwono, ibid, hal.236.
[7] Sarlito Wirawan Sarwono, ibid, hal.237.
[8] Sarlito Wirawan Sarwono, ibid, hal.241.

No comments:

Post a Comment