Friday, December 9, 2016

TEORI DAKWAH


oleh wahyu bhekti prasojo
PENGERTIAN-PENGERTIAN
1. DEFINISI TEORI
Secara bahasa, teori adalah suatu pendapat yang dikemukakan sebagai suatu keterangan mengenai suatu peristiwa atau kejadian; juga berarti asas-asas dan hukum-hukum umum yang menjadi dasar suatu kesenian atau ilmu pengetahuan. Teori juga dapat berarti pendapat, cara-cara dan aturan-aturan untuk melakukan sesuatu.[1]
Menurut Oxford Reference Dictionary, teori adalah: A system of ideas formulated (by reasoning from known fact) to explain something. An opinion, supposition in general (opp. practice) an exposition of the principles on wich a subject is based.[2]
Sedangkan secara istilah, para ahli banyak memberikan pengertian teori. Agak dekat dengan pengertian secara bahasa, Snelbecker mendefinisikan teori sebagai seperangkat preposisi yang berinteraksi secara sintaksi(yaitu yang mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis dengan yang lainnya dengan data atas dasar yang dapat diamati) dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati.[3] Sarlito Wirawan menyatakan dengan ringkas, teori adalah serangkaian hipotesa atau preposisi yang saling berhubungan tentang suatu gejala (fenomena) atau sejumlah gejala.[4]
Marx dan Goodson, menyatakan :
Teori adalah aturan yang mejelaskan proposisi atau seperangkat preposisi yang berkaitan dengan beberapa fenomena alamiah dan terdiri atas representasi simbolik dari (1) hubungan-hubungan yang dapat diamati di antara kejadian-kejadian (yang dapat diukur), (2) mekanisme atau struktur yang diduga mendasari hubungan-hubungan demikan, dan (3) hubungan-hubungan yang disimpulkan serta manifestasi hubungan empiris apa pun secara langsung.[5]
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dapat difahami bahwa teori setidaknya terdiri dari tiga bagian yaitu; merupakan ringkasan fakta-fakta, merupakan perkiraan tentang implikasi (akibat) dari fakta-fakta tersebut dan kemungkinan hubungan antara fakta-fakta tersebut.
Dengan bahasa yang lain teori dapat diperinci sebagai berikut:
1.            Teori adalah serangkaian proposisi antar konsep-konsep yang saling berhubungan,
2.            Teori menerangkan secara sistematis suatu fenomena sosial dengan cara menentukan hubungan antar konsep,
3.            Teori menerangkan fenomena tertentu dengan cara menentukan konsep mana yang berhubungan dengan konsep lainnya dan bagaimana bentuk hubungannya.
2. FUNGSI DAN KEGUNAAN TEORI
Secara umum, teori mempunyai tiga fungsi yaitu untuk menjelaskan, meramalkan dan pengendalian suatu gejala.[6] Sedangkan Glaser dan Strauss yang lebih focus dalam bidang sosiologi, menyatakan fungsi teori sebagai berikut[7]:
1.            Memberikan kesempatan untuk meramalkan dan menerangkan perilaku,
2.            Bermanfaat dalam menemukan teori sosiologi,
3.            Digunakan dalam aplikasi praktis-peramalan dan penjelasannya harus memberikan pengertian kepada para praktisi dan beberapa pengawasan terhadap situasi,
4.            Memberikan perspektif bagi perilaku, yaitu pandangan yang harus dijaring dari data,
5.            Membimbing serta menyajikan gaya bagi penelitian dalam beberapa bidang perilaku.
Kedua pandangan di atas memiliki kesamaan bahwa teori berfungsi untuk menjelaskan, meramalkan dan mengontrol gejala atau fenomena. Teori sebagai alat Eksplanasi berusaha menjelaskan melalui gejala-gejala yang timbul dalam satu permasalahan. Misalnya: munculnya gerakan-gerakan yang menggunakan pola teror dipahami sebagai bentuk perlawanan terhadap keangkuhan sebuah negara Adi Kuasa.
Kemudian, Teori sebagai alat Peramal memberikan bentuk-bentuk prediksi tentang apa yang akan terjadi. Misalnya: berdasarkan cara negara-negara barat seperti Amerika menghadapi gerakan terror, justru akan menumbuh-suburkan gerakan-gerakan ekstrim di berbagai-bagai wilayah sebagai bentuk perlawanan.
Sedangkan Teori sebagai Alat pengontrol bukan hanya meramalkan tetapi juga memberikan kemungkinan-kemungkinan solusi berdasarkan ramalan yang diajukan  dari gejala-gejala yang difahami di lapangan. Misalnya: karena terorisme adalah akibat dari ketidak-adilan yang dirasakan sebagian kelompok di dunia, maka ia mungkin dapat diminimalisir dengan antara lain; membangun dialog timur dan barat, menciptakan hubungan yang lebih adil antara timur dan barat.
3. PENGERTIAN DAKWAH
Secara bahasa, dakwah mengandung makna: nida (panggilan), juga bermakna mendorong kepada sesuatu atau mendukungnya; mengajak kepada sesuatu yang ingin diadakan atau dihindarkan, baik benar ataupun salah; juga mengandung makna upaya melalui perkataan atau perbuatan untuk mempengaruhi orang lain agar mengikuti suatu madzhab atau agama; dapat pula bermakan memohon atau meminta.[8]
Sedangkan secara istilah kalimat dakwah itu tidak jauh maknanya dari makna bahasa di atas, yaitu upaya mengajak manusia lewat ucapan dan perbuatan kepada Islam, menerapkan manhajnya, meyakini aqidahnya dan melaksanakan syari’atnya.[9] Dengan kata lain, dakwah adalah usaha untuk mempengaruhi orang lain agar mereka bersikap dan bertingkahlaku seperti apa yang didakwahkan, yaitu Islam.[10]

KESULITAN MEMBUAT TEORI DALAM BIDANG DAKWAH
Secara sejarah, dakwah adalah kegiatan yang langsung terikat dengan agama Islam sejak awal diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Sehingga untuk menuliskan tentang sejarah dakwah adalah hal yang relative mudah. Berbeda dengan dakwah secara kelimuan. Ilmu dakwah adalah sesuatu yang baru di antara ilmu-ilmu Islam yang lain. Sebagai disiplin ilmu yang masih baru, ilmu dakwah belum memiliki tradisi keilmuan yang mapan dibanding dengan disiplin ilmu yang lain, termasuk di antara sesame ilmu-ilmu keagamaan yang lain.[11] Meskipun demikian, perkembangan ilmu dakwah tidak bisa lepas dari sejarah dakwah itu sendiri.
1. KAITAN DAKWAH DENGAN ILMU SOSIAL MODERN
Beberapa sarjana Muslim percaya bahwa perkembangan dan focus ilmu-ilmu social modern dapat dengan baik digunakan untuk telaah Islam.[12] Ilmu-ilmu social semacam sosiologi, komunikasi, psikologi, anthropologi dan semacamnya dapat menjadi alat bantu untuk memperkokoh kerangka dan bangunan disiplin ilmunya. Karena pada tataran praktis, dakwah adalah peristiwa komunikasi. Dari sisi tujuannya dakwah bersinggungan dengan ilmu sosiologi. Untuk mencapai efektifitas kerjanya dakwah memerlukan untuk memahami latar belakang obyek dakwah secara psikologis, anthropologis dan latar budaya yang lain.[13]
Meski Abuddin Nata memperingatkan untuk tidak menggunakan pendekatan Eropa secara mentah-mentah dalam memahami kebenaran-kebenaran Islam.[14] Maka harus diupayakan dengan sangat serius agar tidak sekedar menempelkan idiom-idiom istilah dan pengertian-pengertian dalam ilmu-ilmu yang dipinjam itu secara semena-mena terhadap kandungan makna dakwah. Untuk itu Abubaker A. Bageder mengusulkan untuk menyertakan perspektif-perspektif Islam ke dalam ilmu-ilmu social modern, untuk mengimbangi “bias” pandangan Barat.[15] Proses ini akan membantu ilmu-ilmu social dalam menganalisa dan memahami realitas masyarakat Islam dan gerak sosialnya, berkaitan dengan dakwah itu sendiri.
2. MENUJU KEMANDIRIAN ILMU DAKWAH
Meski demikian, menurut Jalaludin Rakhmat, dakwah dewasa ini telah menjadi ilmu mandiri, karena secara metodologis dakwah telah memiliki syarat-syaratnya yaitu:
(1). Mempunyai akar sejarah yang jelas. (2). Ada orang-orang yang dikenal sebagai ahli ilmu dakwah yang mengembangkannya. (3). Ada masyarakat akademis yang menaruh perhatian pada ilmu dakwah. (4). Diakui oleh lembaga-lembaga akademisi yang memiliki reputasi ilmiah. (5). Ada sejumlah penelitian yang mengembangkan metode-metode baru dalam ilmu dakwah.[16]
Ismail Raji Al-Faruqi mengusulkan agar syarat-syarat tersebut dikerjakan dengan beberapa tahap[17], yang pertama agar orang-orang yang dikenal ahli mesti dihimpun dalam usaha bersama untuk menyadarkan pentingnya pengembangan keilmuan. Kedua, himpunan ini juga melibatkan universitas-universitas Islam yang diwakilinya secara kelembagaan dengan segala sarana dan fasilitasnya, sehingga dapat tersedia setidaknya ruang kelas dan gedung kuliah sebagai laboratorum buat penelaahan berbagai penemuan. Ketiga, mengidentifikasi anggotanya dan membagi tugas secara hierarkis intelektual dan akademis untuk menyusun kerangka kerja penelitiannya dan ruang lingkupnya. Yang keempat, merancang latihan dan pendidikan untuk melengkapi berbagai kecakapan yang dibutuhkan. Dengan tersedianya sumberdaya pengkajian dan penelitian akan menjamin berkembangnya penemuan-penemuan baru dan karya-karya ilmiah dalam lapangan ilmu dakwah yang berkesinambungan.[18]
Kemudian menyusun kepustakaan secara topical sesuai dengan disiplin yang dibangun. Karena tradisi belajar dunia Islam yang sangat kaya, belum dapat dimanfaatkan secara optimal akibat terkubur di bawah judul-judul yang tidak terkategorisasi secara sitematis.[19] Begitu pula yang terjadi dalam akar historis dakwah, yang belum terrekonstruksi secara sistematis sehingga dapat dibaca dengan perspektif dakwah.[20] Maka diperlukan sebuah usaha untuk merelokasi topic-topik literature ke dalam bagian-bagian yang relevan sesuai dengan disipilin ilmu dakwah, juga relevan terhadap gerak social masyarakat yang dikenai dakwah.


[1] W.J.S Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta Balai Pustaka, 1991) hal.1055.
[2] Joyce M. Hawkins, The Oxford Reference,(Great Britanian: Lcarendon Press Oxford, 1990), hal. 854.
[3] Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2013), hal.57
[4] Sarlito Wirawan Sarwono,Teori-teori Psikologi Sosial, (Jakarta, Rajawali Press, 1984), hal.5.
[5] Lexy J.Moleong, loc.cit, hal.57.
[6] Sugiyono, Cara Mudah Menyusun Skripsi, Tesis dan Disertasi, (Bandung, Alfabeta, 2013), hal.56.
[7] Lexy J. Moleong, op.cit, hal.58.
[8] Taufiq Al Wa’iy, Dakwah ke Jalan Allah, alih bahasa Muhith M Ishaq, (Jakarta, Robbani Press, 2010) hal.10-11.
[9] Jum’ah Amin Abdul Aziz, Fiqih Dakwah, alih bahasa Abdus Salam Masykur, (Solo, Intermedia,1998), hal.29.
[10] Achmad Mubarok, Psikologi Dakwah, (Malang, Madani Press, 2014), hal.27.
[11] Ahmad Anas, Paradigma Dakwah Kontemporer, (Semarang, PT Pustaka Rizki Putra 2006), hal.2.
[12] Abubaker A. Bageder (ed), Islamisasi Ilmu-ilmu Sosial, alih bahasa Muchtar Effendi Harahap dkk, (Jogjakarta, Pusat Latihan, Penelitian dan Pengembangan Masyarakat , 1985), hal.1.
[13] Achmad Mubarok, op.cit, hal.28.
[14] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta Rajawali Press, 2009), hal.206.
[15] Abubaker A. Bageder, loc.cit, hal.1.
[16] Ahmad Anas, op.cit, hal.6.
[17] Ismail Raji Al Faruqi, Mengislamkan Ilmu-ilmu Sosial, dalam Abubaker A. Bageder(ed), Islamisasi Ilmu-ilmu Sosial, hal.19-20.
[18] Ahmad Anas, op.cit, hal.28.
[19] Ismail Raji Al Faruqi, ibid, hal. 21.
[20] Ahmad Anas, loc.it, hal.6.

No comments:

Post a Comment