oleh wahyu bhekti prasojo
PENGERTIAN-PENGERTIAN
1. DEFINISI TEORI
Secara
bahasa, teori adalah suatu pendapat yang dikemukakan sebagai suatu keterangan
mengenai suatu peristiwa atau kejadian; juga berarti asas-asas dan hukum-hukum
umum yang menjadi dasar suatu kesenian atau ilmu pengetahuan. Teori juga dapat
berarti pendapat, cara-cara dan aturan-aturan untuk melakukan sesuatu.[1]
Menurut
Oxford Reference Dictionary, teori adalah: A system of ideas
formulated (by reasoning from known fact) to explain something. An opinion,
supposition in general (opp. practice) an exposition of the principles on wich
a subject is based.[2]
Sedangkan
secara istilah, para ahli banyak memberikan pengertian teori. Agak dekat dengan
pengertian secara bahasa, Snelbecker mendefinisikan teori sebagai seperangkat
preposisi yang berinteraksi secara sintaksi(yaitu yang mengikuti aturan
tertentu yang dapat dihubungkan secara logis dengan yang lainnya dengan data
atas dasar yang dapat diamati) dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan
dan menjelaskan fenomena yang diamati.[3] Sarlito
Wirawan menyatakan dengan ringkas, teori adalah serangkaian hipotesa atau
preposisi yang saling berhubungan tentang suatu gejala (fenomena) atau sejumlah
gejala.[4]
Marx dan Goodson,
menyatakan :
Teori adalah aturan yang
mejelaskan proposisi atau seperangkat preposisi yang berkaitan dengan beberapa
fenomena alamiah dan terdiri atas representasi simbolik dari (1)
hubungan-hubungan yang dapat diamati di antara kejadian-kejadian (yang dapat
diukur), (2) mekanisme atau struktur yang diduga mendasari hubungan-hubungan
demikan, dan (3) hubungan-hubungan yang disimpulkan serta manifestasi hubungan
empiris apa pun secara langsung.[5]
Berdasarkan
pengertian-pengertian di atas, dapat difahami bahwa teori setidaknya terdiri
dari tiga bagian yaitu; merupakan ringkasan fakta-fakta, merupakan perkiraan
tentang implikasi (akibat) dari fakta-fakta tersebut dan kemungkinan hubungan
antara fakta-fakta tersebut.
Dengan bahasa yang lain
teori dapat diperinci sebagai berikut:
1.
Teori adalah serangkaian proposisi antar
konsep-konsep yang saling berhubungan,
2.
Teori menerangkan secara sistematis suatu
fenomena sosial dengan cara menentukan hubungan antar konsep,
3.
Teori menerangkan fenomena tertentu dengan
cara menentukan konsep mana yang berhubungan dengan konsep lainnya dan
bagaimana bentuk hubungannya.
2. FUNGSI DAN KEGUNAAN
TEORI
Secara umum, teori
mempunyai tiga fungsi yaitu untuk menjelaskan, meramalkan dan pengendalian
suatu gejala.[6]
Sedangkan Glaser dan Strauss yang lebih focus dalam bidang sosiologi, menyatakan
fungsi teori sebagai berikut[7]:
1.
Memberikan kesempatan untuk meramalkan dan
menerangkan perilaku,
2.
Bermanfaat dalam menemukan teori
sosiologi,
3.
Digunakan dalam aplikasi praktis-peramalan
dan penjelasannya harus memberikan pengertian kepada para praktisi dan beberapa
pengawasan terhadap situasi,
4.
Memberikan perspektif bagi perilaku, yaitu
pandangan yang harus dijaring dari data,
5.
Membimbing serta menyajikan gaya bagi
penelitian dalam beberapa bidang perilaku.
Kedua
pandangan di atas memiliki kesamaan bahwa teori berfungsi untuk menjelaskan,
meramalkan dan mengontrol gejala atau fenomena. Teori sebagai alat Eksplanasi
berusaha menjelaskan melalui gejala-gejala yang timbul dalam satu permasalahan.
Misalnya: munculnya gerakan-gerakan yang menggunakan pola teror dipahami
sebagai bentuk perlawanan terhadap keangkuhan sebuah negara Adi Kuasa.
Kemudian,
Teori sebagai alat Peramal memberikan bentuk-bentuk prediksi tentang apa yang
akan terjadi. Misalnya: berdasarkan cara negara-negara barat seperti Amerika
menghadapi gerakan terror, justru akan menumbuh-suburkan gerakan-gerakan
ekstrim di berbagai-bagai wilayah sebagai bentuk perlawanan.
Sedangkan
Teori sebagai Alat pengontrol bukan hanya meramalkan tetapi juga memberikan
kemungkinan-kemungkinan solusi berdasarkan ramalan yang diajukan dari gejala-gejala yang difahami di lapangan.
Misalnya: karena terorisme adalah akibat dari ketidak-adilan yang dirasakan
sebagian kelompok di dunia, maka ia mungkin dapat diminimalisir dengan antara
lain; membangun dialog timur dan barat, menciptakan hubungan yang lebih adil
antara timur dan barat.
3. PENGERTIAN DAKWAH
Secara
bahasa, dakwah mengandung makna: nida (panggilan), juga bermakna
mendorong kepada sesuatu atau mendukungnya; mengajak kepada sesuatu yang ingin
diadakan atau dihindarkan, baik benar ataupun salah; juga mengandung makna
upaya melalui perkataan atau perbuatan untuk mempengaruhi orang lain agar
mengikuti suatu madzhab atau agama; dapat pula bermakan memohon atau meminta.[8]
Sedangkan
secara istilah kalimat dakwah itu tidak jauh maknanya dari makna bahasa di
atas, yaitu upaya mengajak manusia lewat ucapan dan perbuatan kepada Islam,
menerapkan manhajnya, meyakini aqidahnya dan melaksanakan syari’atnya.[9]
Dengan kata lain, dakwah adalah usaha untuk mempengaruhi orang lain agar mereka
bersikap dan bertingkahlaku seperti apa yang didakwahkan, yaitu Islam.[10]
KESULITAN MEMBUAT TEORI
DALAM BIDANG DAKWAH
Secara
sejarah, dakwah adalah kegiatan yang langsung terikat dengan agama Islam sejak
awal diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Sehingga untuk menuliskan tentang
sejarah dakwah adalah hal yang relative mudah. Berbeda dengan dakwah secara
kelimuan. Ilmu dakwah adalah sesuatu yang baru di antara ilmu-ilmu Islam yang
lain. Sebagai disiplin ilmu yang masih baru, ilmu dakwah belum memiliki tradisi
keilmuan yang mapan dibanding dengan disiplin ilmu yang lain, termasuk di
antara sesame ilmu-ilmu keagamaan yang lain.[11]
Meskipun demikian, perkembangan ilmu dakwah tidak bisa lepas dari sejarah
dakwah itu sendiri.
1. KAITAN DAKWAH DENGAN
ILMU SOSIAL MODERN
Beberapa
sarjana Muslim percaya bahwa perkembangan dan focus ilmu-ilmu social modern
dapat dengan baik digunakan untuk telaah Islam.[12] Ilmu-ilmu
social semacam sosiologi, komunikasi, psikologi, anthropologi dan semacamnya dapat
menjadi alat bantu untuk memperkokoh kerangka dan bangunan disiplin ilmunya. Karena
pada tataran praktis, dakwah adalah peristiwa komunikasi. Dari sisi tujuannya
dakwah bersinggungan dengan ilmu sosiologi. Untuk mencapai efektifitas kerjanya
dakwah memerlukan untuk memahami latar belakang obyek dakwah secara psikologis,
anthropologis dan latar budaya yang lain.[13]
Meski
Abuddin Nata memperingatkan untuk tidak menggunakan pendekatan Eropa secara mentah-mentah
dalam memahami kebenaran-kebenaran Islam.[14] Maka
harus diupayakan dengan sangat serius agar tidak sekedar menempelkan
idiom-idiom istilah dan pengertian-pengertian dalam ilmu-ilmu yang dipinjam itu
secara semena-mena terhadap kandungan makna dakwah. Untuk itu Abubaker A.
Bageder mengusulkan untuk menyertakan perspektif-perspektif Islam ke dalam
ilmu-ilmu social modern, untuk mengimbangi “bias” pandangan Barat.[15]
Proses ini akan membantu ilmu-ilmu social dalam menganalisa dan memahami
realitas masyarakat Islam dan gerak sosialnya, berkaitan dengan dakwah itu
sendiri.
2. MENUJU KEMANDIRIAN
ILMU DAKWAH
Meski demikian, menurut
Jalaludin Rakhmat, dakwah dewasa ini telah menjadi ilmu mandiri, karena secara
metodologis dakwah telah memiliki syarat-syaratnya yaitu:
(1). Mempunyai
akar sejarah yang jelas. (2). Ada orang-orang yang dikenal sebagai ahli ilmu
dakwah yang mengembangkannya. (3). Ada masyarakat akademis yang menaruh
perhatian pada ilmu dakwah. (4). Diakui oleh lembaga-lembaga akademisi yang
memiliki reputasi ilmiah. (5). Ada sejumlah penelitian yang mengembangkan
metode-metode baru dalam ilmu dakwah.[16]
Ismail
Raji Al-Faruqi mengusulkan agar syarat-syarat tersebut dikerjakan dengan
beberapa tahap[17],
yang pertama agar orang-orang yang dikenal ahli mesti dihimpun dalam usaha
bersama untuk menyadarkan pentingnya pengembangan keilmuan. Kedua, himpunan ini
juga melibatkan universitas-universitas Islam yang diwakilinya secara
kelembagaan dengan segala sarana dan fasilitasnya, sehingga dapat tersedia
setidaknya ruang kelas dan gedung kuliah sebagai laboratorum buat penelaahan
berbagai penemuan. Ketiga, mengidentifikasi anggotanya dan membagi tugas secara
hierarkis intelektual dan akademis untuk menyusun kerangka kerja penelitiannya
dan ruang lingkupnya. Yang keempat, merancang latihan dan pendidikan untuk
melengkapi berbagai kecakapan yang dibutuhkan. Dengan tersedianya sumberdaya
pengkajian dan penelitian akan menjamin berkembangnya penemuan-penemuan baru
dan karya-karya ilmiah dalam lapangan ilmu dakwah yang berkesinambungan.[18]
Kemudian
menyusun kepustakaan secara topical sesuai dengan disiplin yang dibangun. Karena
tradisi belajar dunia Islam yang sangat kaya, belum dapat dimanfaatkan secara
optimal akibat terkubur di bawah judul-judul yang tidak terkategorisasi secara
sitematis.[19]
Begitu pula yang terjadi dalam akar historis dakwah, yang belum terrekonstruksi
secara sistematis sehingga dapat dibaca dengan perspektif dakwah.[20]
Maka diperlukan sebuah usaha untuk merelokasi topic-topik literature ke dalam
bagian-bagian yang relevan sesuai dengan disipilin ilmu dakwah, juga relevan
terhadap gerak social masyarakat yang dikenai dakwah.
[1]
W.J.S Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta Balai
Pustaka, 1991) hal.1055.
[2]
Joyce
M. Hawkins, The Oxford Reference,(Great Britanian: Lcarendon
Press Oxford, 1990), hal. 854.
[3]
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung,
Remaja Rosdakarya, 2013), hal.57
[4]
Sarlito Wirawan Sarwono,Teori-teori Psikologi Sosial, (Jakarta,
Rajawali Press, 1984), hal.5.
[5]
Lexy J.Moleong, loc.cit, hal.57.
[6]
Sugiyono, Cara Mudah Menyusun Skripsi, Tesis dan Disertasi,
(Bandung, Alfabeta, 2013), hal.56.
[7]
Lexy J. Moleong, op.cit, hal.58.
[8]
Taufiq Al Wa’iy, Dakwah ke Jalan Allah, alih bahasa Muhith M
Ishaq, (Jakarta, Robbani Press, 2010) hal.10-11.
[9]
Jum’ah Amin Abdul Aziz, Fiqih Dakwah, alih bahasa Abdus Salam
Masykur, (Solo, Intermedia,1998), hal.29.
[10]
Achmad Mubarok, Psikologi Dakwah, (Malang, Madani Press, 2014),
hal.27.
[11]
Ahmad Anas, Paradigma Dakwah Kontemporer, (Semarang, PT Pustaka
Rizki Putra 2006), hal.2.
[12]
Abubaker A. Bageder (ed), Islamisasi Ilmu-ilmu Sosial, alih bahasa
Muchtar Effendi Harahap dkk, (Jogjakarta, Pusat Latihan, Penelitian dan
Pengembangan Masyarakat , 1985), hal.1.
[13]
Achmad Mubarok, op.cit, hal.28.
[14]
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta Rajawali Press,
2009), hal.206.
[15]
Abubaker A. Bageder, loc.cit, hal.1.
[16]
Ahmad Anas, op.cit, hal.6.
[17]
Ismail Raji Al Faruqi, Mengislamkan Ilmu-ilmu Sosial, dalam Abubaker A.
Bageder(ed), Islamisasi Ilmu-ilmu Sosial, hal.19-20.
[18]
Ahmad Anas, op.cit, hal.28.
[19]
Ismail Raji Al Faruqi, ibid, hal. 21.
[20]
Ahmad Anas, loc.it, hal.6.
No comments:
Post a Comment