Thursday, September 8, 2016

Wajibnya Berdakwah

oleh wahyu bhekti prasojo
Tawfiq Al Wa’iy menyebutkan sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa dakwah adalah kewajiban kifayah. Ayat ini memuat dua hal: kewajiban amar ma’ruf nahi munkar dan bahwasanya hukumnya adalah fardhu kifayah. Karena berdasarkan ayat ini, kalimat “min” itu menunjukkan makna tab’idh,[1] yaitu sebagian, yang menunjukkan hukum fardhu kifayah.[2] Jadi dakwah menghendaki adanya suatu kelompok khusus dari kalangan kaum muslimin yang bekerja dibidang ini di tengah-tengah ummat manusia.
Maka kalimat ummat dalam ayat ini menurut Imam Al Maraghi adalah kelompok yang terbentuk dari individu-individu yang merasakan ikatan yang menyatukan mereka, kesatuan mereka itu seperti bersatunya anggota-anggota tubuh seseorang.[3]
Berkata Imam Adh Dhahak: Mereka itu kekhususan bagi para sahabat dan kekhususan bagi para rawi, yaitu para mujahid dan ulama.[4] Dakwah tidak dapat dikerjakan oleh setiap orang kecuali para ulama karena ia mengandung tiga hal yaitu dakwah kepada al khayr, amar ma’ruf dan nahi munkar.[5]
Orang yang tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang tiga hal tersebut, mungkin akan mengajarkan sesuatu yang berbeda. Atau karena terbatasnya pengetahuannya ia mungkin melarang sesuatu yang tidak mungkar. Atau bersikap keras pada situasi lunak dan sebaliknya, atau mengingkari sesuatu yang justru dengan diingkari ia semakin bertambah kemunkarannya.
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa dakwah adalah fardhu ‘ain,[6] berdasarkan firman Allah,
كنتم خير أمة أخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر وتؤمنون بالله ولو آمن أهل الكتاب لكان خيرا لهم منهم المؤمنون وأكثرهم الفاسقون
Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS Ali Imran[3] : 110)
Adapun pengertian hendaklah ada sebagian dari kalian…, bukanlah untuk menunjukkan makna tab’idh (sebagian) melainkan untuk tabyin (penjelasan)[7], lil bayanil jinsi (menjelaskan jenis), yang berarti “hendaklah kalian seperti itu”.[8]
Jalan tengah di antara kedua pendapat ini disampaikan Imam Ibnu Katsir bahwa makna yang dimaksud dari ayat ini ialah hendaklah ada segolongan orang dari kalangan umat ini yang bertugas untuk mengemban urusan ini, sekalipun urusan tersebut memang diwajibkan pula atas setiap individu dari umat ini, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Shahih Muslim dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah.[9]
Disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda :
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ[10]
“Barang siapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, hendaklah ia mencegahnya dengan tangannya. Dan jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Dan jika masih tidak mampu juga, maka dengan hatinya, yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.”
Jalan tengah juga diterangkan Imam Ar Raghib secara lebih rinci dan operasional, sebagai berikut,
bahwa hak semua manusia adalah menjadi khalifah Allah di bumiNya, dan menjadi pemimpin bagi manusia lainnya. Adapun kepimpinan itu terbagi menjadi tiga; kepemimpinan  manusia atas dirinya sendiri, kepeminpinan para ahli dan pakar  dan kepimpinan negara. Kepemimpinan negara adalah tanggung jawab para pemimpin. Mereka mangatur manusia dengan paksaan kekuasaan. Kewajiban orang-orang bijaksana dan ulama. – adalah dengan pemahaman dan pengajaran mereka – mereka mengatur manusia dengan cara mengajari mereka. Dengan yang demikian ini dakwah mejadi fardhu kifayah. Adapun kepemimpinan manusia atas dirinya sendiri adalah wajib bagi semua mukallaf untuk membatasi dan mencegah kemungkaran itu.[11]
Berdasarkan kepemimpinan pakar dan ahli maka dakwah adalah wajib bagi yang memiliki ilmu dan pengetahuan, maka ini adalah dasarnya dakwah sebagai fardhu kifayah. Pelakunya mendapat pahalanya seperti pahala berjihad dan menuntut ilmu, di mana para ilmuwan itu juga diancam dengan dosa jika meninggalkannya, karena mengabaikan hak orang lain.[12]



[1] Abul Qasim Husayn bin Muhammad Ar Raghib Al Asfihany, Tafsir Ar Raghib Al Asfihany, Darun Nasyr Darul Wathan Riyadh, 2003, Juz 2, hal. 772.
[2] Tawfiq Al Wa’iy, Dakwah ke Jalan Allah, Muatan, Sarana dan Tujuan, alih bahasa Muhith M. Ishaq, Robbani Press, Jakarta, 2010, hal. 78.
[3] Ahmad bin Musthofa Al Maraghy, Tafsir Al Maraghy, Syirkah Maktabah wa Mathba’ah  Musthofa al Baaby al Halaby wa Awladuhu, Mesir, 1946, Juz 4,hal.21.
[4] Abul Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsir Al Qur’an Al Adzim, tahqiq Muhammad Husyan Syamsuddin, Darul Kutub al Ilmiyah, Beyrut, 1419 H, Juz 2, hal.78
[5] Tawfiq Al Wa’iy, loc.cit. hal. 78.
[6] Tawfiq Al Wa’iy, loc.cit, hal. 78.
[7] Ar Raghib Al Asfihany, op.cit, 2003, Juz 2, hal. 772.
[8] Tawfiq Al Wa’iy, ibid, hal.80.
[9]  Ibnul Katsir, loc.cit, hal.78.
[10] Muslim bin Hajjaj Abul Hasan Al Qusyayri An Naysabury, Shahih Muslim, tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqy, Darul Iyha’ at Turats al ‘Araby, Beyrut, Juz 1 hal.69.
[11] Ar Raghib Al Asfihany, op.cit, Juz 2, hal. 773-774.
[12] Ar Raghib Al Asfihany, ibid, Juz 2, hal.774.

No comments:

Post a Comment