Thursday, April 14, 2016

TANGGUNGJAWAB DA’I TERHADAP MAD’UU

oleh wahyu bhekti prasojo

Muhammad Rasyid Ridho menjelaskan bahwa manusia itu berbeda-beda dalam memahami agama. Begitu pula tingkat perhatiannya kepada tanda-tanda kekuasaan Allah. Sehingga pada akhirnya manusia itu ada yang beriman dan ada yang tidak beriman.[1] Oleh karena itu tidaklah tepat jika memperlakukan semua manusia dengan cara yang sama tanpa memperhatikan perbedaan orang awam dengan ulama, antara pemula dengan pakar, antara yang kuat dan yang lemah.[2]
Dari penjelasan di atas dapatlah difahami bahwa tanggung jawab seorang da’i dalam usahanya menyampaikan dakwah kepada masyarakat, yaitu: para da’i harus dapat memposisikan mad’u sebagai sentral dakwah.  Dalam gagasan Ilyas Ismail dan Prio Hotman, memposisikan mad’u sebagai sentral dakwah adalah memperhatikan tiga hal sebagai berikut;
1. Dakwah perlu memperhatikan kapasitas pemikiran (tingkat intelektual) suatu masyarakat. [3]
Dakwah bertujuan menyampaikan pesan agama seluas-luasnya kepada ummat manusia. Sementara di lain pihak, tingkat pemahaman suatu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain pasti berbeda. Masyarakat yang sederhana dan bersahaja memiliki kecendrungan memahami sesuatu secara mudah (simplifikasi) dan apa adanya. Sedangkan semakin tinggi tingkat intelektual, masyarakat cenderung memahami agama secara lebih kompleks.
Sebagai contoh, adalah perbedaan antara masyarakat di pedesaan dan di perkotaan. Beberapa ciri yang membedakan budaya masyarakat pedesaan dan perkotaan antara lain[4]:
Masyarakat Pedesaan
Masyarakat Perkotaan
Tidak memerlukan perubahan, sudah puas dengan apa yang ada. Warisan tradisi lama tidak boleh diubah apalagi diganti.
Makin modern masyarakat, makin ba-nyak kebutuhannya.
Penemuan memerlukan keahlian, de-ngan tidak adanya lembaga pendidikan, maka tidak ada keahlian.
Ada banyak tenaga ahli.
Tidak ada rangsangan penemuan, bah-kan ada ancaman adat atau perlawanan masyarakat terhadapnya.
Ada rangsangan yang tinggi untuk pene-muan.

Oleh karena itu kata-kata, dapat menyebabkan timbulnya kebencian, iri hati, dengki dan salah paham. Tak jarang, kalimat singkat dapat memicu terjadinya pertumpahan darah di antara dua orang, atau bahkan dua bangsa. Inilah yang disebutkan oleh sebuah teori dalam ilmu social; bahwa masyarakat dengan kesatuan kebudayaan membawa kepada kesatuan hukum. Perselisihan dalam masyarakat dapat diselesaikan dengan hukum. Tetapi perselisihan antara dua masyarakat yang berbeda budaya, tidak dapat diselesaikan dengan hukum, tetapi dengan kekerasan.[5]
Da’i dan mad’u adalah ibarat mewakili dua kebudayaan yang berbeda. Maka da’i dalam hal ini tidak dapat menilai masyarakat obyek dakwahnya berdasarkan nilai yang telah dianutnya lebih dulu. Karena masyarakat obyek dakwah belum mengetahui, menyepakati dan meresapi nilai-nilai tersebut. Jika da’i memaksakan utuk menilai mad’u secara sefihak maka akan berpotensi menimbulkan kekerasan. Oleh karena itu harus terlebih dahulu disosialisasikan nilai-nilai sehingga da’i dan mad’u menjadi satu masyarakat dengan budaya yang sama. Firman Allah:
فبما رحمة من الله لنت لهم ولو كنت فظا غليظ القلب لانفضوا من حولك فاعف عنهم واستغفر لهم وشاورهم في الأمر فإذا عزمت فتوكل على الله إن الله يحب المتوكلين
“Maka disebabkan rahmat dari Allah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka,. Sekiranya kamu bersikap  keras lagi  berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkan ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS. Al-Imran [3]:159).
2. Dakwah harus memperhatikan kondisi kejiwaan (suasana psikologis) suatu masyarakat.[6]
Kondisi kejiwaan masyarakat terkait erat dengan peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Sementara itu setiap masyarakat mengalami peristiwa yang berbeda, sehingga pembentukan suasana kejiwaan mereka pun berbeda. Dakwah dalam kaitannya dengan ini, perlu menyesuaikan materi dan metodenya. Suatu materi dan metode tidak melulu dinilai dengan benar atau salah, melainkan dengan tepat atau tidak tepat.
Gagasan dakwah yang menempatkan mad’u sebagai sentral, menghendaki strategi dakwah yang empatik, simpatik dan humanistik sekaligus. Empati dan simpati adalah upaya mengandaikan da’i dalam posisi mad’u, sedangkan humanis adalah upaya memahami mad’u sebagai manusia yang utuh. Pengabaian terhadap aspek-aspek ini hampir dapat dipastikan membuat dakwah menjadi tidak efektif. Ia tidak akan membawa kemajuan dan kebaikan, malah mungkin membawa kemunduran dan kerugian.[7] Dengan demikian seorang da’i perlu memperhatikan perbedaan-perbedaan psikologis mad’u. Karena penerimaan terhadap dakwah itu juga bergantung kepada kepribadian manusia yang berbeda satu sama lain.
Kepribadian merupakan sikap menghadapi kehidupan, sikap dalam memberi jawaban dan tanggapan terhadap keadaan atau kejadian yang dihadapi. Ia merupakan organisasi faktor-faktor biologi, psikologi dan sosiologi yang mendasari laku perbuatan individu.[8]
Kepribadian adalah kompleks pola daya rasional, persepsi, ide, kebiasaan dan keadaan respons emosional. Kepribadian itu sebagian mungkin berasal dari kapasitas atau predisposisi tertentu yang dikuasai oleh keturunan, sebagian dari keadaan dan peranan individu yang diperolehnya selama hidupnya, dan sebagian lagi dari latihan yang diberikan kepadanya oleh kebudayaan tertentu.[9]
Atau dalam bahasa Ahmad Mubarok, bahwa secara psikologis setiap orang akan mempersepsi stimuli sesuai dengan karakteristik personalnya. Sebuah pesan yang sama akan diberi makna berlainan oleh orang yang berbeda.[10] Dengan menyadari hal ini seorang da’i akan dapat menyampaikan pesan-pesan dakwahnya secara persuasive sesuai dengan kondisi psikologis mad’u. Dakwah persuasif adalah proses mempengaruhi mad'u dengan pendekatan psikologis, sehingga mad'u mengikuti ajakan da'i tetapi mereka merasa sedang melakukan sesuatu atas kehendak sendiri.[11]
Maka tanggung jawab da’i dalam masalah ini adalah selalu berusaha untuk membangun kedekatan dengan individu dan masyarakat agar dapat memenuhi hak-hak mereka sebagai obyek dakwahnya. Memenuhi hak-hak mad’u dalam kerangka dakwah ini sesungguhnya adalah sama dengan memenuhi hak-haknya sebagai manusia. Maka dakwah itu semestinya bersifat humanistic.
Ada dua hak mad’u yang mesti dipenuhi oleh da’i, yaitu : hak hubungan social antar pribadi (interpersonal relation ship), dan hak hubungan antar keterkaitan komunikasi (communication interconnecting right). Untuk dapat memenuhi hak yang pertama dibutuhkan kwalitas da’i dalam membangun pola hubungan antar personal yang nyaman dan penuh keakraban. Sedangkan hak yang kedua menekankan pola hubungan ketergantungan dan saling respon serta saling pengertian.[12]
Dalam Ilmu Sosial disebutkan sebuah teori; kelanggengan suatu hubungan dalam masyarakat terkait dalam suatu kontrak tidak tertulis ketika suatu hubungan social terjalin, saat itu pula kontrak disepakati atas ketulusan komitmen masing-masing sebagai konsekuensi logis.[13] Karena secara psikologis, orang hanya mau membuka dirinya kepada pihak yang benar-benar dikenalnya. Ketiadaan jarak antar hubungan memungkinkan tumbuhnya selera untuk menjalin keakraban pergaulan. Kedekatan atau keakraban adalah implikasi logis dari empati dan simpati.[14]
Teori di atas mirip dengan teori transaksional yang dikemukakan Achmad Mubarok, bahwa hubungan antar manusia itu berlangsung mengikuti kaidah-kaidah transaksional, yaitu apakah masing-masing fihak merasa memperoleh keuntungan dalam hubungan itu.[15] Jika merasa mendapatkan keuntungan maka hubungan itu akan bertahan lama, tapi jika merasa tidak mendapatkan apa-apa atau merugi maka hubungan itu bisa putus.
Dalam konteks dakwah, kontinuitas dan kualitas hubungan antara da’i dan mad’u bergantung kepada seberapa besar masing-masing fihak memperoleh kepuasan dalam hubungan proses dakwah itu.[16] Jika  masyarakat merasa apa yang disampaikan da’i benar-benar bagus dan memuaskan dan mereka “membayarnya” dengan “harga” yang pantas maka hubungan itu dapat bertahan dan mengarah kepada tujuan-tujuan dakwah Islam. Begitupun sebaliknya.
3. Dakwah perlu memperhatikan problematika kekinian yang dihadapi oleh suatu masyarakat.[17]
Risalah Islam diturunkan dengan kepentingan merespons masalah-masalah ummat manusia dan membantu mencarikan jalan keluar dengan mengarahkan manusia melalui bimbingan agar lebih berfihak kepada muatan nilai-nilai moral dan ketuhanan. Maka dakwah mesti bersifat kekinian dan kedisinian. Karena setiap kelompok masyarakat memiliki problematikanya masing-masing.
Salah satu tujuan dakwah adalah terjadinya perubahan prilaku (behaviour change) pada masyarakat yang menjadi obyek dakwah kepada situasi yang lebih baik. Tampaknya, sikap dan prilaku (behaviour) masyarakat dewasa ini hampir dapat dipastikan lebih banyak dipengaruhi oleh keadaan sekitarnya. Maka da’i dapat merekayasa lingkungan sedemikian rupa sehingga mempengaruhi dan merubah pola hidup masyarakat.
Perubahan dalam kebudayaan dapat terjadi karena beberapa hal yaitu:
1. Adanya penemuan baru dalam masyarakat (discovery).
2. Jika penemuan itu diterapkan dalam masyarakat; maka ia disebut invention.
3. Terjadi inovasi dalam masyarakat, yaitu perubahan dalam skala yang besar dan waktu yang lama.[18]
            Selain itu, perubahan masyarakat juga bisa terjadi jika suatu unsur kebudayaan tidak cocok lagi dengan lingkungannya, ia akan ditinggalkan dan akan diganti dengan yang lebih baik. Atau dapat juga terjadi ada unsur kebudayaan yang gagal dalam pewarisannya dari generasi ke generasi berikutnya.[19]
Pada dasarnya jika pesan dakwah yang disampaikan oleh da'i memang relevan dengan kebutuhan masyarakat, yang merupakan satu keniscayaan yang tak mungkin ditolak, maka masyarakat akan menerima pesan dak­wah itu dengan antusias.[20] Di satu sisi, dakwah memang harus sanggup menawarkan suatu model  ideal dari kehidupan yang dicita-citakan. Sementara di sisi lain, dakwah juga dituntut harus tetap responsive terhadap berbagai perubahan yang terjadi sebagai akibat interaksi antar kehidupan umat manusia disatu pihak dan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dipihak lain. Oleh karena itu, dakwah harus mampu memerankan dirinya sebagai suatu model pendekatan yang multidimensi, sehingga tetap relevan dengan berbagai persoalan tempat dan zaman.

Inilah yang dimaksud dengan dakwah menawarkan program pengembangan masyarakat atau community development. Pengembangan masyarakat adalah proses penguatan masyarakat secara aktif dan berkelanjutan berdasarkan prinsip keadilan sosial, partisipasi dan kerja sama yang setara.[21] Pengembangan masyarakat mengekspresikan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, akuntabilitas, kesempatan, pilihan , partisipasi, kerjasama, dan proses belajar keberlanjutan.[22]
Pengembangan masyarakat berusaha untuk memberdayakan individu dan kelompok orang dengan menyediakan keterampilan yang mereka butuhkan untuk menghasilkan perubahan di komunitas mereka sendiri. Keterampilan ini sering diciptakan melalui pembentukan kelompok-kelompok sosial yang besar bekerja untuk sebuah agenda bersama. Tujuan dalam pengembangan masyarakat terbagi atas aspek tujuan antara yaitu membangkitkan partispasi penuh warga masyarakat dan tujuan akhir yaitu perwujudan kemampuan dan integrasi masyarakat untuk membangun diri mereka sendiri.[23]
Pengembangan masyarakat melibatkan perubahan hubungan antara orang-orang dalam masyarakat, sehingga setiap orang dapat mengambil bagian dalam isu-isu yang mempengaruhi kehidupan mereka. Dimulai dari prinsip bahwa dalam masyarakat manapun ada banyak pengetahuan dan pengalaman yang jika digunakan dengan cara yang kreatif, dapat disalurkan ke dalam tindakan kolektif untuk mencapai tujuan masyarakat yang diinginkan.
Dalam kegiatan dakwah seperti ini, secara fungsional da'i adalah pemimpin, yakni memimpin masyarakat dalam menuju kepada jalan Tuhan. Oleh karena itu, sudah selayaknya seorang da'i memiliki sifat-sifat kepemimpinan. Secara sosiologis, seorang da'i di samping menjalankan kepemimpinan keagamaan dimungkinkan juga untuk menjalankan kepemimpinan dalam bidang-bidang lain.[24] Karena perubahan masyarakat tidak melulu murni disebabkan oleh kesadaran yang bersumber dari lubuk hati, tetapi sering pula karena bujukan, setengah dipaksa, atau perlu pemaksaan oleh suatu kekuatan supaya dapat memahami suatu kebenaran. Maka perlu unsure kepemimpinan seorang da’i yang dapat mensugesti agar proses dakwah menjadi lancar.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz, Jum’ah Amin, Fiqih Dakwah, Prinsip dan Kaidah Asasi Dakwah Islam, alih bahasa Abdus Salam Masykur, Intermedia Solo, 1997.
Gazalba, Sidi, Masyarakat Islam, Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, Bulan Bintang, Jakarta, 1976.
Ismail, Ahmad Ilyas & Prio Hotman, Filsafat Dakwah, Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam, Kencana Prenada Group, Jakarta, 2013.
Mubarok, Achmad, Psikologi Dakwah, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001.
_______________, Psikologi Islam, Kearifan & Kecerdasan HIdup, The International Institute of Islamic Thought dan Wahana Aksara Prima, Jakarta, 2009.
Ridha, Muhammad Rasyid, Wahyu Ilahi kepada Muhammad,alih bahasa Josef C.D, Pustaka Jaya, Jakarta,1987.
Suharto, Edi, CSR & COMDEV, Alfabeta, Bandung, 2010.
Wibhawa, Budi, Santoso Tri Raharjo & Meilany Budiarti, Dasar-Dasar Pekerja Sosial, Widya Padjadjaran, Bandung, 2010.





[1] Muhammad Rasyid Ridha, Wahyu Ilahi kepada Muhammad,alih bahasa Josef C.D, Pustaka Jaya, Jakarta,1987, h.433.
[2] Jum’ah Amin Abdul Aziz, Fiqih Dakwah, Prinsip dan Kaidah Asasi Dakwah Islam, alih bahasa Abdus Salam Masykur, Intermedia Solo, 1997, hal. 179.
[3] Ilyas Ismail & Prio Hotman, Filsafat Dakwah, Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam, Kencana Prenada Group, Jakarta, 2013, hal. 159.
[4] Sidi Gazalba, Masyarakat Islam, Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, Bulan Bintang, Jakarta, 1976, hal.70-71.
[5] Sidi Gazalba, ibidi, hal. 52.
[6] Ilyas Ismail & Prio Hotman, op.cit, hal.160.
[7] Ilyas Ismail & Prio Hotman, ibid, hal.164.
[8] Sidi Gazalba, op.cit, hal.38.
[9] Sidi Gazalba, ibid, hal.38.
[10] Achmad Mubarok, Psikologi Dakwah, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001, hal.107-108.
[11] Achmad Mubarok, ibid, hal. 161.
[12] Ilyas Ismail & Prio Hotman, op.cit, hal 165.
[13] Ilyas Ismail & Prio Hotman, ibid, hal. 166.
[14] Ilyas Ismail & Prio Hotman, ibid, hal. 167.
[15] Achmad Mubarok, Psikologi Islam, Kearifan & Kecerdasan HIdup, The International Institute of Islamic Thought dan Wahana Aksara Prima, Jakarta, 2009, hal.212.
[16] Achmad Mubarok, Psikologi Dakwah, op.cit, hal.146.
[17] Ilyas Ismail & Prio Hotman, op.cit, hal. 162.
[18] Sidi Gazalba, op.cit, hal. 68.
[19] Sidi Gazalba, ibid, hal. 70.
[20] Achmad Mubarok, Psikologi Dakwah, op.cit, hal. 161.
[21] Edi Suharto, CSR & COMDEV, Alfabeta, Bandung, 2010, hal. 65
[22] Edi Suharto, ibid, hal.66
[23] Budi Wibhawa, Santoso Tri Raharjo & Meilany Budiarti, Dasar-Dasar Pekerja Sosial, Widya Padjadjaran, Bandung, 2010, hal. 110.
[24] Achmad Mubarok, Psikologi Dakwah, ibid, hal. 200.

No comments:

Post a Comment