Thursday, April 14, 2016

Sang Kekasih Pergi


Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam.“Bolehkah saya masuk?”, tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, “Maafkanlah, ayahku sedang demam”, kata Fatimah lalu menutup pintu. “Siapa yang datang wahai anakku?”, Tanya Rasulullah. “Tak tahulah ayah, sepertinya baru sekali ini aku melihatnya,” tutur Fatimah lembut.

Lalu, Rosulullah menatap puterinya itu lekat-lekat seolah-olah bahagian demi bahagian wajah anaknya itu hendak beliau pahat dalam kenangannya. “Ketahuilah dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia, Dialah malaikatul maut”, kata Beliau. Fatimah menahan ledakkan tangisnya. “Jangan menangis anakku, bagaimanapun aku harus pergi, walau berat aku yakin kau mengerti. Mari kuberitahu satu rahasia di antara kita saja, engkaulah keluargaku yang pertama menyusulku.” Di sela tangisnya Fatimah tersenyum.

Malaikat maut datang menghampiri tapi Rosulullah menayakan kenapa Jibril tidak ikut menyertainya. Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap diatas langit dunia menyambut Ruh Kekasih Allah dan penghulu dunia ini.
“Jibril, jelaskan apa hakku nanti dihadapan Allah ?” Tanya Rosulullah dengan suara yang amat lemah.“ Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti engkau. Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu,” kata Jibril.

Tapi itu ternyata tidak membuat Rosulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.“Engkau tidak senang mendegar kabar ini ?” Tanya Jibril lagi. “Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak ?”
“Jangan khawatir, wahai Rosul allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku ”KU-haramkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya”, kata Jibril.

Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rosulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. “Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini.”

Perlahan Rosulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka. “Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril ?” Tanya Rosulullah. “Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal,” kata Jibril.

Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak tertahan lagi. “Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ummat ini kepadaku. Tubuh Rosulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. “Peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah diantaramu.”

Di luar pintu tangis mulai terdengar, bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan diwajahnya, Ali kembali mendekatkan telinga ke bibir Rosulullah yang mulai kebiruan. “ Ummatii, Ummatii, ummatii” – “umatku, umatku, umatku”

Maka, di pangkuan Aisyah,[1] berakhirlah hidup manusia mulia Sang Pembawa cahaya, pada hari senin Rabi’ul awwal tahun ke 11 Hijrah.[2]  

“Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa baarik wa sallim ‘alayhi”.



[1] Abdus Salam Harun, Tahdzib Sirah Ibnu Hisyam, Darul Buhuts Al ‘Ilmiyah, Kuwayt, 1977,hal.342.
[2] Abu Ja’far Thabariy, Tarikh Thabariy, Daarut Turats, Beyrut, 1387 H, Juz 3, hal.199

No comments:

Post a Comment