Oleh: Wahyu Bhekti
Prasojo
Pengertian-Pengertian
Definisi yang dibakukan
di buku KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga), pacar adalah kekasih
atau teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan
cinta-kasih. Berpacaran adalah bercintaan; [atau] berkasih-kasihan [dengan sang
pacar]. Memacari adalah mengencani; [atau] menjadikan dia sebagai pacar.”
“Sementara kencan sendiri menurut kamus tersebut adalah berjanji untuk saling
bertemu di suatu tempat dengan waktu yang telah ditetapkan bersama.” [1]
Jika definisi-definisi
baku tersebut kita satukan, maka rumusannya bisa terbaca sebagai berikut:
Pacaran adalah bercintaan atau berkasih-kasihan (antara lain dengan saling
bertemu di suatu tempat pada waktu yang telah ditetapkan bersama) dengan
kekasih atau teman lain-jenis yang tetap (yang hubungannya berdasarkan
cinta-kasih). Singkatnya, pacaran adalah bercintaan dengan kekasih-tetap.
Dengan demikian, pacaran
yang aktivitasnya “lebih dari” bercintaan, misalnya ditambahi aktivitas
baku-syahwat, itu pun masih dapat disebut ‘pacaran’ Sedangkan, pada dua orang
yang baru saling mengungkapkan cinta telah ada aktivitas bercintaan, tetapi
belum ada hubungan yang ‘tetap’, sehingga belum tergolong pacaran. Mungkin ada
yang menyebutnya “TTM” atau “HTS” atau “sahabatan”, tetapi tidak “berpacaran”.[2]
TTM seolah-olah menemukan definisinya. Konsep
pertemanan dengan dibumbui sedikit getar-getar asmara tapi bukan pacaran,
itulah TTM. Menurut psikolog Roslina Verauli, M.Psi, dari Klinik Empati dan RS
Cengkareng, batasan antara TTM dan pacaran sebenarnya ada pada kata komitmen.
“Dalam TTM, si pasangan tidak memiliki komitmen untuk menjalin hubungan sebagai
pacar. Padahal hubungan ini melibatkan passion yang sebenarnya ada dalam
cinta.”[3]
Lebih lanjut, Verauli mengutip konsep Steinberg,
psikolog dari Universitas Yale, soal cinta. Steinberg mengurai cinta dalam tiga
komponen, yaitu intimacy (kedekatan), passion (gairah), dan commitment
(komitmen).
Dalam intimacy, pasangan saling terbuka untuk
bisa saling mengenal. Dari sana kemudian tercipta rasa aman dan nyaman terhadap
diri masing-masing. Dalam passion, ada gairah dan ketertarikan yang
biasanya menjurus pada seksualitas. Sementara dalam komitmen, ada keinginan
saling memiliki dan ingin tahu ke mana arah hubungan selanjutnya.[4]
Faktor-Faktor
Penyebab
Fenomena
“Teman Tapi Mesra” (TTM) tampaknya makin in di
kalangan perempuan bekerja. Di tengah stres pekerjaan yang tinggi,
komunikasi dengan suami pun menjadi terbatas hanya untuk membahas hal-hal
penting saja, misalnya; soal anak atau keperluan rumah tangga. Otomatis,
kebutuhan-kebutuhan tadi pun tak bisa dipenuhi. Kemudian muncullah
kekosongan emosional dalam diri. Di sisi lain, kebutuhan perempuan
mengungkapkan perasaan lebih besar daripada lelaki. Ketika
kemudian mereka bertemu seseorang yang mereka pikir bisa mengisi kekosongan
tadi, mulailah terjalin kedekatan.
Setiap manusia memang memiliki kebutuhan biologis, kebutuhan
akan rasa aman dan terlindungi, menjadi bagian dari orang lain, dan dukungan
untuk bisa meningkatkkan rasa peraya diri. Masalahnya, bagaimana jika mereka curhat
kepada kolega lelaki? Mungkin tidak masalah selama hubungan itu murni
berteman. Tapi pertanyaannya: betulkah lelaki dan perempuan bisa
murni berteman tanpa melibatkan perasaan?
Inilah
bahayanya curhat. Rata-rata, perselingkuhan dimulai dari curhat sebagai
sahabat. Awalnya sekadar makan siang bareng, curhat soal
pekerjaan kemudian makin akrab dan menjurus pada hal-hal pribadi.
Kenyataannya curhat bisa berdampak, kalau dosisnya berlebihan dan berkembang
menjadi obrolan mesra. Salah satu indikator ‘bahaya’-nya adalah adanya rahasia,
di mana teman perempuan dan lelaki itu mulai ‘sembunyi-sembunyi’ dari
pasangan untuk berkomunikasi atau bertemu. Kondisi ini cenderung didukung
kecanggihan teknologi yang memungkinkan komunikasi tanpa batas, seperti
sms (sering diplesetkan dengan “sarana mudah selingkuh”) atau chatting lewat
internet.
Verauli menyebut sebagai perselingkuhan terselubung.
Unsur infidelity (ketidaksetiaan) berperan besar. Dengan mengatasnamakan
pertemanan, unsur perselingkuhan terbalut. Perasaan bersalah pun jadi lebih
kecil. Karena, ketika ditanya pacar, pasti jawabannya hanya teman. Kalau teman,
tapi kok mesra?[5]
Identifikasi Kemungkaran
Dalam Pacaran Dan Ttm
1. Mendekati Perbuatan
Zina
Padahal segala perantara menuju zina
itu dilarang, baik dengan memandang lawan jenis dengan syahwat (nafsu), meraba
atau menyentuh, berdua-duaan, apalagi sampai berciuman meskipun hal-hal
tersebut tidak sampai zina. Allah Ta’ala berfirman,
ولا تقربوا الزنى إنه كان فاحشة وساء سبيلا
“Dan
janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Al-Isra: 32).
Zina itu secara hukum fiqh adalah hubungan suami istri oleh yang
bukan suami dan istri. Sedangkan ajaran dalam islam adalah jauhilah zina. Jadi
jangankan melakukan, mendekatinya pun dilarang. Imam Asy Syaukani dalam Fathul
Qodir, “Jika mendekati zina dengan melakukan berbagai hal sebagai pendahuluan
zina itu terlarang, maka zina sendiri jelas terlarang. Karena sesuatu itu
haram, maka segala perantara menuju sesuatu tersebut jelas haram. Inilah yang
dimaksud dalam konteks kalimat.” Syaikh ‘Abdurrahman As Sa’di dalam kitab
tafsirnya menjelaskan, “Larangan dalam ayat ini adalah larangan untuk mendekati
zina. Larangan mendekati saja tidak dibolehkan apalagi sampai melakukan zina
itu sendiri. Larangan mendekati zina ini meliputi larangan melakukan berbagai
pendahuluan dan perantara menuju zina.”
Ada
6 jalan mendekati zina: mata, telinga, lidah, tangan, kaki dan hati. Semuanya
perlu dijaga dari mendekati zina. Abu Hurairah menyampaikan bahwa Rasulullah
(saw) mengatakan: Allah telah menetapkan bagian dari perzinahan yang seseorang
akan terjerumus ke dalamnya. Tidak bisa lari dari itu.
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ
مَنْصُورٍ، أَخْبَرَنَا أَبُو هِشَامٍ الْمَخْزُومِيُّ، حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ،
حَدَّثَنَا سُهَيْلُ بْنُ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ،
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «كُتِبَ عَلَى ابْنِ
آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَا، مُدْرِكٌ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ
زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الِاسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ
زِنَاهُ الْكَلَامُ، وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا
الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ
وَيُكَذِّبُهُ»[6]
Dari
Abu Hurairah r.a., dari Nabi saw. Sabdanya : “Nasib anak Adam mengenai zina
telah ditetapkan. Tidak mustahil dia pernah melakukannya. Dua mata, zinanya
memandang. Dua telinga, zinanya mendengar. Lidah, zinanya berkata. Tangan
zinanya memegang. Kaki, zinanya melangkah. Hati, zinanya ingin dan berangan-angan,
sedangkan faraj (kemaluan) hanya mengikuti atau tidak mengikuti.”
Zina
mata adalah pandangan yang penuh nafsu dan Zina telinga adalah mendengarkan yg
menggairahkan (lagu atau pembicaraan) dan zina dari lidah adalah ucapan cabuld an perzinahan tangan adalah cengkeraman bernafsu (memeluk) dan Zina kaki
adalah berjalan (ke tempat) di mana ia berniat melakukan perzinahan dan hati
merindukan dan menginginkan sesuatu yang dia [kemaluannya] mungkin akan atau
mungkin juga tidak melakukannya [yaitu berzina].
Hadits
tersebut menunjukkan bahwa “zina mata”, “zina lisan”, dan “zina hati” itu
tergolong “mendekati zina”. Namun, disamping tiga macam “zina kecil” ini, masih
ada banyak jenis aktivitas “mendekati zina” lainnya, seperti ‘zina tangan’,
‘zina kaki’, ‘zina bibir’, dan ‘zina-zina bagian tubuh lainnya’, kecuali alat
kelamin. (Kalau bersetubuh menggunakan alat kelamin, maka ini bukan lagi
“mendekati zina”, melainkan sudah benar-benar berzina.)
Pakar
masalah perselingkuhan, psikolog Dr Shirley P. Glass dalam bukunya Not
Just Friends: Protect your Relationship from Infidelity and Heal the Trauma of
Betrayal, mengatakan bahwa ‘selingkuh hati’ terjadi karena kita merasa
memiliki chemistry dengan lelaki selain pasangan. Dan pada
prakteknya, selingkuh jenis ini belum tentu selalu mengarah pada hubungan seks.
Tetapi kenikmatan dan sensasi yang ditimbulkan sama dashyatnya seperti
ketika sedang melakukan hubungan intim sehingga kemudian diistilahkan
dengan head sex.[7]
حَدَّثَنِي مَحْمُودُ بْنُ
غَيْلاَنَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ، عَنِ ابْنِ
طَاوُسٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: مَا رَأَيْتُ شَيْئًا
أَشْبَهَ بِاللَّمَمِ، مِمَّا قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ
الزِّنَا، أَدْرَكَ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ، فَزِنَا العَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا
اللِّسَانِ المَنْطِقُ، وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالفَرْجُ يُصَدِّقُ
ذَلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ» وَقَالَ شَبَابَةُ: حَدَّثَنَا وَرْقَاءُ، عَنْ ابْنِ
طَاوُسٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ[8]
Ibnu
Abbas r.a.. menyatakan, “Tidak ada yang kuperhitungkan lebih menjelaskan
tentang dosa-dosa kecil daripada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
bahwa Rasulullah saw. bersabda: ‘Allah telah menentukan bagi anak Adam
bagiannya dari zina yang pasti dia lakukan. Zinanya mata adalah melihat [dengan
syahwat], zinanya lisan adalah mengucapkan [dengan syahwat], zinanya hati
adalah mengharap dan menginginkan [pemenuhan nafsu syahwat] …’.
Sebagaimana
penjelasan Ibnu Abbas dalam hadits tersebut, dosa “mendekati zina” itu
tergolong “dosa kecil”. Sungguhpun demikian, Ibnu Abbas sangat memperhitungkan perbuatan
dosa yang “kecil” ini cenderung diremehkan oleh pelakunya. Inilah yang dalam
hadits di atas disebut sebagai “bagiannya dari zina yang pasti dia [manusia]
lakukan”.
Padahal,
bila diremehkan, yang kecil itu bisa membesar. Ingatlah bahwa perbuatan zina
selalu diawali dengan “mendekati zina” terlebih dahulu! Dengan kata lain, dosa
besar ini selalu diawali dengan dosa-dosa kecil. Dengan demikian, kalau
dosa-dosa kecil itu diremehkan, maka dosa BESAR sudah menanti.
2. Terbukanya Aurat dan
Saling Melihat Yang Bukan Mahram
Karena
seringnya berdua-duaan, si pria pun ingin melihat aurat wanita. Si pria ingin
melihat indah gemulai rambutnya dan sebagainya yang merupakan aurat. Padahal
menutup aurat dengan mengenakan jilbab itu adalah wajib sebagaimana firman
Allah Ta’ala,
قل للمؤمنين يغضوا من
أبصارهم ويحفظوا فروجهم ذلك أزكى لهم إن الله خبير بما يصنعون. وقل للمؤمنات يغضضن
من أبصارهن ويحفظن فروجهن ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها وليضربن بخمرهن على
جيوبهن ولا يبدين زينتهن إلا لبعولتهن أو آبائهن أو آباء بعولتهن أو أبنائهن أو
أبناء بعولتهن أو إخوانهن أو بني إخوانهن أو بني أخواتهن أو نسائهن أو ما ملكت
أيمانهن أو التابعين غير أولي الإربة من الرجال أو الطفل الذين لم يظهروا على
عورات النساء ولا يضربن بأرجلهن ليعلم ما يخفين من زينتهن وتوبوا إلى الله جميعا
أيها المؤمنون لعلكم تفلحون.
Katakanlah
kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci
bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali
kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra
mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka,
atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka
memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan
bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung.
(An-Nur: 30–31)
Melihat
aurat lawan jenis barulah dibolehkan jika telah menjadi suami-isteri, bukan
saat pacaran. Kerabatnya saja yang masih mahrom dibolehkan melihat sebatas
anggota tubuh yang nampak ketika berwudhu. Lantas kenapa orang yang jauh sampai
dibolehkan melihat kehormatan wanita tersebut padahal akad nikah pun belum ada?
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
الْعَلَاءِ، حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ، عَنْ يُونُسَ، عَنِ الزُّهْرِيِّ،
قَالَ: حَدَّثَنِي نَبْهَانُ، مَوْلَى أُمِّ سَلَمَةَ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ،
قَالَتْ: كُنْتُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَعِنْدَهُ مَيْمُونَةُ، فَأَقْبَلَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ وَذَلِكَ بَعْدَ أَنْ
أُمِرْنَا بِالْحِجَابِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«احْتَجِبَا مِنْهُ» ، فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَيْسَ أَعْمَى لَا
يُبْصِرُنَا، وَلَا يَعْرِفُنَا؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: «أَفَعَمْيَاوَانِ أَنْتُمَا، أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ» [9]
Dari
Ummi Salamah, ia berkata: Ketika saya bersama Maimunah berada di dekat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Ibnu Ummi Maktum masuk.
Kejadian itu sesudah turunnya ayat yang memerintahkan kami untuk berhijab.
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Berhijablah kamu
daripadanya”. Kami berkata: Wahai Rasulullah, bukankah ia seorang yang buta
tidak melihat dan tidak mengetahui kami? Nabi SAW bersabda: “Apakah kamu juga
buta? Tidakkah kamu melihat orang itu?”
Dengan
lawan jenis kita diperintahkan untuk menundukkan pandangan dan jelas terlarang
jika dengan syahwat (nafsu). Perintah ini dimaksudkan agar lebih menjaga hati
dan agar hati tidak tergoda pada zina. Memandang lawan jenis barulah jadi halal
jika melalui hubungan pernikahan atau dibolehkan jika wanita yang dipandang
masih mahrom kita. Mengenai larangan memandangn lawan jenis, disebutkan dalam
hadits Jabir bin ‘Abdillah,
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى.
“Aku
bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang
cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan pandanganku.” (HR.
Muslim no. 5770).
3. Bersentuhan Dengan
Yang Bukan Muhrim
Ini
pun pelanggaran yang sering dilakukan oleh yang berpacaran. Baik di kesepian
maupun tempat umum, seringnya ingin berjalan bergandengan tangan padahal belum
halal. Zina tangan adalah dengan menyentuh lawan jenis yang bukan mahrom
sehingga ini menunjukkan haramnya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ
نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا
النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ
الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا
وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
“Setiap
anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti
terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua
telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan
adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati
adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan
membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (HR. Muslim no. 6925)
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ
هَارُونَ، ثنا إِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ، أَنَا النَّضْرُ بْنُ شُمَيْلٍ، ثنا
شَدَّادُ بْنُ سَعِيدٍ الرَّاسِبِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ يَزِيدَ بْنَ عَبْدِ اللهِ
بْنِ الشِّخِّيرِ يَقُولُ: سَمِعْتُ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ
بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لَا تَحِلُّ
لَهُ»[10]
Dari
Ma’qil bin Yasar Radhiyallahu ‘anhu, dia menceritakan, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Andaikan ditusukkan ke kepala salah seorang
diantara kalian dengan jarum besi, yang demikian itu lebih baik daripada dia
harus menyentuh wanita yang tidak diperbolehkan baginya”.
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ
بُكَيْرٍ، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَنْ عُقَيْلٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، وَقَالَ
إِبْرَاهِيمُ بْنُ المُنْذِرِ: حَدَّثَنِي ابْنُ وَهْبٍ، حَدَّثَنِي يُونُسُ،
قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ، أَنَّ عَائِشَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَتْ: كَانَتِ المُؤْمِنَاتُ إِذَا هَاجَرْنَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْتَحِنُهُنَّ بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا، إِذَا جَاءَكُمُ المُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ
فَامْتَحِنُوهُنَّ} [الممتحنة: 10] إِلَى آخِرِ الآيَةِ. قَالَتْ عَائِشَةُ:
فَمَنْ أَقَرَّ بِهَذَا الشَّرْطِ مِنَ المُؤْمِنَاتِ فَقَدْ أَقَرَّ
بِالْمِحْنَةِ، فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا
أَقْرَرْنَ بِذَلِكَ مِنْ قَوْلِهِنَّ، قَالَ لَهُنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «انْطَلِقْنَ فَقَدْ بَايَعْتُكُنَّ» لاَ وَاللَّهِ مَا
مَسَّتْ يَدُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَ امْرَأَةٍ
قَطُّ، غَيْرَ أَنَّهُ بَايَعَهُنَّ بِالكَلاَمِ، وَاللَّهِ مَا أَخَذَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى النِّسَاءِ إِلَّا بِمَا أَمَرَهُ
اللَّهُ، يَقُولُ لَهُنَّ إِذَا أَخَذَ عَلَيْهِنَّ: «قَدْ بَايَعْتُكُنَّ»
كَلاَمًا[11]
Dari
‘Aisyah ia berkata: Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membai’at para perempuan
dengan perkataan. Tidak pernah tangan Rasulullah SAW memegang tangan para
perempuan, kecuali tangan perempuan yang telah menjadi miliknya (perempuan yang
telah dinikahinya).
4. Berkhalwat Dengan Yang
Bukan Mahram
Ini
juga pelanggaran yang tidak bisa dipungkiri. Berduaan bisa jadi berduaan di
satu tempat, di kegelapan, atau di tempat sepi, atau boleh jadi berduaan lewat
sms-an, telepon atau lebih keren lagi lewat pesan facebook. Banyak kejadian
yang berawal dari berdua-duaan seperti ini, di antaranya berhubungan lewat
inbox facebook, lalu mengajak ketemuan, lantas ujung-ujungnya terjadilah apa
yang terjadi.
Yang
dimaksud dengan khalwat adalah menyendirinya seorang lelaki dengan seorang
perempuan asing di tempat yang tidak ada orang lain. Semua ahli ilmu bersepakat
bahwa khalwat seorang lelaki dengan perempuan asing adalah haram karena dapat
menimbulkan syahwat. Berkata Imam An Nawawi ra; Adapun jika terjadi khalwat
antara lelaki dan perempuan tanpa orang ketiga bersama keduanya maka itu adalah
haram menurut kesepakatan ulama, demikian pula jika ada bersama keduanya orang
yang tidak membuat mereka malu karena masih kecil seperti anak dari salah satu
di antara mereka, maka keberadaannya sama dengan ketiadaannya.[12]
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ
عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، حَدَّثَنَا عَمْرٌو، عَنْ أَبِي مَعْبَدٍ،
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
«لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ» فَقَامَ رَجُلٌ،
فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، امْرَأَتِي خَرَجَتْ حَاجَّةً، وَاكْتُتِبْتُ فِي
غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا، قَالَ: «ارْجِعْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ»[13]
Dari
Ibnu Abbas, ia berkata: Aku pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berpidato: “Janganlah sekali-kali seorang lelaki berkhalwat (berduaan) dengan
seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya. Dan janganlah seorang
wanita bepergian kecuali bersama mahramnya”. Tiba-tiba seorang lelaki bangkit
berdiri dan berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya isteriku pergi untuk
menunaikan ibadah haji, sedangkan aku terkena kewajiban mengikuti peperangan
ini dan itu. Beliau bersabda: “Berangkatlah untuk berhaji bersama isterimu”.
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ
بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا لَيْثٌ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ، عَنْ أَبِي
الخَيْرِ، عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ» فَقَالَ
رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَفَرَأَيْتَ الحَمْوَ؟ قَالَ:
«الحَمْوُ المَوْتُ»[14]
Dari
Uqbah bin Amir, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jauhilah olehmu mendekati orang-orang perempuan”. Kemudian ada seorang sahabat
Anshar bertanya: Bagaimana kalau mendekati kerabat isteri? Beliau SAW menjawab:
“Mendekati kerabat isteri adalah berarti mati”.
Yang
dimaksud kerabat isteri antara lain: kakak ipar, adik ipar, ibu mertua, dan
sepupu isteri, kemenakan dan lainnya.
Bahaya TTM dan Pacaran
TTM
adalah awalnya, kemudian berlanjut kepada pacaran, kemudian berlanjut lagi
kepada tunangan, jika berjalan baik dan mulus, kemungkinan akan terjadi
perkawinan, namun jika berjalan buruk atau mungkin sudah bosan atau terjadi
perselingkuhan, maka hubungan itu pun akan putus.
Menurut
psikolog Ira Petranto, selingkuh hati biasanya berdampak lebih berat bagi
perempuan. Mereka sibuk berkhayal hidup bahagia bersama soulmate, sehingga
tidak sadar bahwa intensi para lelaki dalam membina hubungan dengan
sahabat perempuan belum tentu berhenti sebagai teman curhat. Biasanya pria
punya hidden agenda yang ujungnya berakhir di tempat tidur. Dan kalau
ini sudah terpenuhi, gairah affair pun bisa mereda. Sementara
pada perempuan semakin terlibat emosi, semakin sulit melepaskan dan tumbuh
rasa ingin memiliki.[15]
Padahal dalam TTM, pacaran dan perselingkuhan, tidak ada tanggung jawab atau
kewajiban untuk saling menjaga perasaan atau hubungan, karena sama-sama tidak
ada jaminan untuk komitmen apapun.
Secara
ringkas, fenomena ini berdampak buruk pada individu, keluarga, masyarakat
bahkan bangsa. Yaitu antara lain:
1.
Rusaknya kepribadian dan kesucian jiwa lelaki maupun perempuan.Perbuatan-perbuatan
maksiat akan menggerogoti jiwa manusia dan merusaknya. Semakin terbiasa dengan
maksiat semakin jauh manusia dari Allah dan tuntunan agama yang benar.
2. Rusaknya hubungan-hubungan keluarga dan tatanan
masyarakat.Perselingkuhan akan merusak tatanan keluarga yang sebelumnya
terbentuk dan terikat dengan kuat. Keluarga yang centang perenang akan
membentuk wajah masyarakat yang juga compang camping, karena tidak ada suatu
ikatan yang dipatuhi.
3. Rusaknya tata silsilah keturunan, akan lahir
anak-anak “haram” tanpa kejelasan status nasabnya, karena dilahirkan di luar
pernikahan yang sah.
4. Timbul dan merajalelanya penyakit kelamin. Yaitu
penyakit-penyakit yang disebabkan oleh hubungan sex bebas dan berganti-gantinya
pasangan seperti yang telah diketahui secara umum.
Tanggung jawab Hisbah (memberi peringatan dan nasihat)
Teman tapi mesra, pacaran dan tunangan
adalah kebiasaan HARAM yang disukai oleh banyak manusia. Ketiga perkara ini
sangat terkenal di kalangan anak muda masa kini. TTM, pacaran dan tunangan
adalah perbuatan haram yang mendekati zina.
1.
Tanggung jawab Keluarga
Maka hendaklah para orang
tua mengawasi dan menasihati anak-anak mereka, suami-isteri saling menjaga dan
saling setia, seluruh anggota keluarga dan saudara-saudari dalam Islam saling
berpesan agar menjauhi perkara yang merusak ini.
يا أيها الذين آمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا وقودها الناس
والحجارة عليها ملائكة غلاظ شداد لا يعصون الله ما أمرهم ويفعلون ما يؤمرون
Hai orang-orang yang
beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras,
yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka
dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.(At Tahrim : 6).
2.
Tanggung Jawab Ulama
Sudah sepantasnyalah jika
seluruh ulama mengatakan TTM, pacaran dan tunangan adalah HARAM. Ketiga perbuatan
itu tidak pernah ada pada zaman Nabi, tidak pernah pula diajarkan, bahkan sudah
diharamkan sejak zaman Nabi.[16]
3.
Tanggung jawab Masyarakat
Seluruh anggota
masyarakat harus peduli untuk menjaga lingkungannya dari perilaku yang merusak
ini. Karena ia akan menular jika masyarakat menganggap bahwa ini adalah urusan
pribadi. Kesalahan individu ini dapat merembet dan menulari individu-individu
lain jika masyarakat tidak memberi sanksi social yang sepadan. Kemudian musibah
akan menimpa masyarakat itu secara keseluruhan.
واتقوا فتنة لا
تصيبن الذين ظلموا منكم خآصة واعلموا أن الله شديد العقاب
Dan peliharalah dirimu
daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang dzalim saja di
antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.(Al Anfaal : 25)
حَدَّثَنَا
أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ، قَالَ: سَمِعْتُ عَامِرًا، يَقُولُ:
سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَثَلُ القَائِمِ عَلَى
حُدُودِ اللَّهِ وَالوَاقِعِ فِيهَا، كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى
سَفِينَةٍ، فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلاَهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا،
فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ المَاءِ مَرُّوا عَلَى
مَنْ فَوْقَهُمْ، فَقَالُوا: لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ
نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا، فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا،
وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا، وَنَجَوْا جَمِيعًا "[17]
Perumpamaan penjagaan
terhadap hukum-hukum Allah dalam pelaksanaannya adalah seperti sebuah kaum yang
menumpang sebuah kapal, sebagian duduk di atas sebagiannya lagi di bawah. Jika
yang di bagian bawah ingin mengambil air, mereka harus naik ke atas. Maka
mereka berkata”Jika kita membuat lubang pada bagian bawah ini, maka kita tidak
perlu naik ke atas. Maka jika mereka membiarkan mereka melubangi kapal mereka
akan tenggelam bersama, dan jika mereka mencegahnya mereka akan selamat
bersama.
Daftar Pustaka
Sumber
Buku:
Abu
Dawud Sulayman bin al Asy’ats bin Ishaq bin Basyir bin Syadaad bin Amru al Azdi
as Sijistany, Sunan Aby Dawud, Maktabah al Ashirah, Shida Beyrut.
Muhammad
bin Isma’il Abu Abdullah al Bukhary al Ja’fy, Shahih Bukhary, Dar
at Tuqa an Najah, 1422H.
Muslim
bin al Hajaj Abul Hasan al Qusyayry an Naysabury, Shahih Muslim,
Darul Ihya at Turats al ‘Araby, Beyrut.
Sulayman
bin Ahmad bin Ayub bin Mutir, Abul Qasim ath Thabrany, Al mu’jam al Kabir,
Maktabah Ibnu Taymiyah, Kairo, 1994.
Sumber
Internet:
http://pribadiferi.blogspot.com/ttm:bye-bye
commitment/
http://www.fikhguide.com/almbt3th/61, Ahwalul Khalwah
bil Ajnabiyah wa Ahkamuha
[1]
Yahya Muslimin, http://cehonk.blogspot.com/2011/06/makalah-pendidikan-pacaran-dalam-islam.html,
14/10/2014, 8:43 wib.
[2]
Yahya Muslimin, http://cehonk.blogspot.com/2011/06/makalah-pendidikan-pacaran-dalam-islam.html,
14/10/2014, 8:43 wib.
[3]
http://pribadiferi.blogspot.com/ttm:bye-bye commitment/ akses 14/10/2014, 9:03 wib.
[4]
http://pribadiferi.blogspot.com/ttm:bye-bye commitment/ akses 14/10/2014, 9:03 wib.
[5]
http://pribadiferi.blogspot.com/ttm:bye-bye commitment/ akses 14/10/2014, 9:03 wib.
[6]
Muslim bin al Hajaj Abul Hasan al Qusyayry an Naysabury, Shahih Muslim,
Darul Ihya at Turats al ‘Araby, Beyrut, Juz 4 hal. 2047.
[7]
Cahyopa’s blog, http://cahyopa.blogspot.com/ttm,
14/10/2014, 9:07 wib.
[8]
Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al Bukhary al Ja’fy, Shahih Bukhary,
Dar at Tuqa an Najah, 1422H, Juz 8 hal. 125.
[9]
Abu Dawud Sulayman bin al Asy’ats bin Ishaq bin Basyir bin Syadaad bin Amru al
Azdi as Sijistany, Sunan Aby Dawud, Maktabah al Ashirah, Shida
Beyrut, Juz 4, hal. 63.
[10]
Sulayman bin Ahmad bin Ayub bin Mutir, Abul Qasim ath Thabrany, Al mu’jam
al Kabir, Maktabah Ibnu Taymiyah, Kairo, 1994, Juz 20, hal.211.
[12]
http://www.fikhguide.com/almbt3th/61,
Ahwalul Khalwah bil Ajnabiyah wa Ahkamuha, akses 16/10/2014,
9:04.
[13]
Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al Bukhary al Ja’fy, op.cit,
Juz 7 hal.37.
[14]
Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al Bukhary al Ja’fy, op.cit,
Juz 7, hal.37.
[15]
Cahyopa’s blog, http://cahyopa.blogspot.com/ttm,
14/10/2014, 9:07 wib.
[16]
http://blognyafitri.wordpress.com/2013/06/10/ttm-pacaran-dan-tunangan-menurut-ulama/
akses 14/10/2014, 8:20 wib.
[17]
Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al Bukhary al Ja’fy, op.cit,
Juz 3, hal.139.
No comments:
Post a Comment