Thursday, April 14, 2016

KEMUNGKARAN PACARAN DAN TTM (Teman Tapi Mesra)-AN

Oleh: Wahyu Bhekti Prasojo
Pengertian-Pengertian
Definisi yang dibakukan di buku KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga), pacar adalah kekasih atau teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta-kasih. Berpacaran adalah bercintaan; [atau] berkasih-kasihan [dengan sang pacar]. Memacari adalah mengencani; [atau] menjadikan dia sebagai pacar.” “Sementara kencan sendiri menurut kamus tersebut adalah berjanji untuk saling bertemu di suatu tempat dengan waktu yang telah ditetapkan bersama.” [1]

Jika definisi-definisi baku tersebut kita satukan, maka rumusannya bisa terbaca sebagai berikut: Pacaran adalah bercintaan atau berkasih-kasihan (antara lain dengan saling bertemu di suatu tempat pada waktu yang telah ditetapkan bersama) dengan kekasih atau teman lain-jenis yang tetap (yang hubungannya berdasarkan cinta-kasih). Singkatnya, pacaran adalah bercintaan dengan kekasih-tetap.

Dengan demikian, pacaran yang aktivitasnya “lebih dari” bercintaan, misalnya ditambahi aktivitas baku-syahwat, itu pun masih dapat disebut ‘pacaran’ Sedangkan, pada dua orang yang baru saling mengungkapkan cinta telah ada aktivitas bercintaan, tetapi belum ada hubungan yang ‘tetap’, sehingga belum tergolong pacaran. Mungkin ada yang menyebutnya “TTM” atau “HTS” atau “sahabatan”, tetapi tidak “berpacaran”.[2]

TTM seolah-olah menemukan definisinya. Konsep pertemanan dengan dibumbui sedikit getar-getar asmara tapi bukan pacaran, itulah TTM. Menurut psikolog Roslina Verauli, M.Psi, dari Klinik Empati dan RS Cengkareng, batasan antara TTM dan pacaran sebenarnya ada pada kata komitmen. “Dalam TTM, si pasangan tidak memiliki komitmen untuk menjalin hubungan sebagai pacar. Padahal hubungan ini melibatkan passion yang sebenarnya ada dalam cinta.”[3]
Lebih lanjut, Verauli mengutip konsep Steinberg, psikolog dari Universitas Yale, soal cinta. Steinberg mengurai cinta dalam tiga komponen, yaitu intimacy (kedekatan), passion (gairah), dan commitment (komitmen).

Dalam intimacy, pasangan saling terbuka untuk bisa saling mengenal. Dari sana kemudian tercipta rasa aman dan nyaman terhadap diri masing-masing. Dalam passion, ada gairah dan ketertarikan yang biasanya menjurus pada seksualitas. Sementara dalam komitmen, ada keinginan saling memiliki dan ingin tahu ke mana arah hubungan selanjutnya.[4]

Faktor-Faktor Penyebab
Fenomena “Teman Tapi Mesra” (TTM) tampaknya makin in di kalangan perempuan bekerja. Di tengah stres pekerjaan yang tinggi, komunikasi dengan suami pun menjadi terbatas hanya untuk membahas hal-hal penting saja, misalnya; soal anak atau keperluan rumah tangga. Otomatis, kebutuhan-kebutuhan tadi pun tak bisa dipenuhi. Kemudian muncullah kekosongan emosional dalam diri. Di sisi lain, kebutuhan perempuan mengungkapkan perasaan lebih besar daripada lelaki. Ketika kemudian mereka bertemu seseorang yang mereka pikir bisa mengisi kekosongan tadi, mulailah terjalin kedekatan.

Setiap manusia memang memiliki kebutuhan biologis, kebutuhan akan rasa aman dan terlindungi, menjadi bagian dari orang lain, dan dukungan untuk bisa meningkatkkan rasa peraya diri. Masalahnya, bagaimana jika mereka curhat kepada kolega lelaki? Mungkin tidak masalah selama hubungan itu murni berteman. Tapi pertanyaannya: betulkah lelaki dan perempuan bisa murni berteman tanpa melibatkan perasaan?

Inilah bahayanya curhat. Rata-rata, perselingkuhan dimulai dari curhat sebagai sahabat. Awalnya sekadar makan siang bareng, curhat soal pekerjaan kemudian makin akrab dan menjurus pada hal-hal pribadi. Kenyataannya curhat bisa berdampak, kalau dosisnya berlebihan dan berkembang menjadi obrolan mesra. Salah satu indikator ‘bahaya’-nya adalah adanya rahasia, di mana teman perempuan dan lelaki itu mulai ‘sembunyi-sembunyi’ dari pasangan untuk berkomunikasi atau bertemu. Kondisi ini cenderung didukung kecanggihan teknologi yang memungkinkan komunikasi tanpa batas, seperti sms (sering diplesetkan dengan “sarana mudah selingkuh”) atau chatting lewat internet.

Verauli menyebut sebagai perselingkuhan terselubung. Unsur infidelity (ketidaksetiaan) berperan besar. Dengan mengatasnamakan pertemanan, unsur perselingkuhan terbalut. Perasaan bersalah pun jadi lebih kecil. Karena, ketika ditanya pacar, pasti jawabannya hanya teman. Kalau teman, tapi kok mesra?[5]

Identifikasi Kemungkaran Dalam Pacaran Dan Ttm
1. Mendekati Perbuatan Zina
Padahal segala perantara menuju zina itu dilarang, baik dengan memandang lawan jenis dengan syahwat (nafsu), meraba atau menyentuh, berdua-duaan, apalagi sampai berciuman meskipun hal-hal tersebut tidak sampai zina. Allah Ta’ala berfirman,

ولا تقربوا الزنى إنه كان فاحشة وساء سبيلا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Al-Isra: 32).

Zina itu secara hukum fiqh adalah hubungan suami istri oleh yang bukan suami dan istri. Sedangkan ajaran dalam islam adalah jauhilah zina. Jadi jangankan melakukan, mendekatinya pun dilarang. Imam Asy Syaukani dalam Fathul Qodir, “Jika mendekati zina dengan melakukan berbagai hal sebagai pendahuluan zina itu terlarang, maka zina sendiri jelas terlarang. Karena sesuatu itu haram, maka segala perantara menuju sesuatu tersebut jelas haram. Inilah yang dimaksud dalam konteks kalimat.” Syaikh ‘Abdurrahman As Sa’di dalam kitab tafsirnya menjelaskan, “Larangan dalam ayat ini adalah larangan untuk mendekati zina. Larangan mendekati saja tidak dibolehkan apalagi sampai melakukan zina itu sendiri. Larangan mendekati zina ini meliputi larangan melakukan berbagai pendahuluan dan perantara menuju zina.”

Ada 6 jalan mendekati zina: mata, telinga, lidah, tangan, kaki dan hati. Semuanya perlu dijaga dari mendekati zina. Abu Hurairah menyampaikan bahwa Rasulullah (saw) mengatakan: Allah telah menetapkan bagian dari perzinahan yang seseorang akan terjerumus ke dalamnya. Tidak bisa lari dari itu.
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ، أَخْبَرَنَا أَبُو هِشَامٍ الْمَخْزُومِيُّ، حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ، حَدَّثَنَا سُهَيْلُ بْنُ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَا، مُدْرِكٌ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الِاسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلَامُ، وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ»[6]
Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi saw. Sabdanya : “Nasib anak Adam mengenai zina telah ditetapkan. Tidak mustahil dia pernah melakukannya. Dua mata, zinanya memandang. Dua telinga, zinanya mendengar. Lidah, zinanya berkata. Tangan zinanya memegang. Kaki, zinanya melangkah. Hati, zinanya ingin dan berangan-angan, sedangkan faraj (kemaluan) hanya mengikuti atau tidak mengikuti.”

Zina mata adalah pandangan yang penuh nafsu dan Zina telinga adalah mendengarkan yg menggairahkan (lagu atau pembicaraan) dan zina dari lidah adalah ucapan cabuld an perzinahan tangan adalah cengkeraman bernafsu (memeluk) dan Zina kaki adalah berjalan (ke tempat) di mana ia berniat melakukan perzinahan dan hati merindukan dan menginginkan sesuatu yang dia [kemaluannya] mungkin akan atau mungkin juga tidak melakukannya [yaitu berzina].

Hadits tersebut menunjukkan bahwa “zina mata”, “zina lisan”, dan “zina hati” itu tergolong “mendekati zina”. Namun, disamping tiga macam “zina kecil” ini, masih ada banyak jenis aktivitas “mendekati zina” lainnya, seperti ‘zina tangan’, ‘zina kaki’, ‘zina bibir’, dan ‘zina-zina bagian tubuh lainnya’, kecuali alat kelamin. (Kalau bersetubuh menggunakan alat kelamin, maka ini bukan lagi “mendekati zina”, melainkan sudah benar-benar berzina.)

Pakar masalah perselingkuhan, psikolog Dr Shirley P. Glass dalam bukunya Not Just Friends: Protect your Relationship from Infidelity and Heal the Trauma of Betrayal, mengatakan bahwa ‘selingkuh hati’ terjadi karena kita merasa memiliki chemistry dengan lelaki selain pasangan. Dan pada prakteknya, selingkuh jenis ini belum tentu selalu mengarah pada hubungan seks. Tetapi kenikmatan dan sensasi yang ditimbulkan sama dashyatnya seperti ketika sedang melakukan hubungan intim sehingga kemudian diistilahkan dengan head sex.[7]

حَدَّثَنِي مَحْمُودُ بْنُ غَيْلاَنَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ، عَنِ ابْنِ طَاوُسٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: مَا رَأَيْتُ شَيْئًا أَشْبَهَ بِاللَّمَمِ، مِمَّا قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا، أَدْرَكَ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ، فَزِنَا العَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ المَنْطِقُ، وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ» وَقَالَ شَبَابَةُ: حَدَّثَنَا وَرْقَاءُ، عَنْ ابْنِ طَاوُسٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ[8]
Ibnu Abbas r.a.. menyatakan, “Tidak ada yang kuperhitungkan lebih menjelaskan tentang dosa-dosa kecil daripada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda: ‘Allah telah menentukan bagi anak Adam bagiannya dari zina yang pasti dia lakukan. Zinanya mata adalah melihat [dengan syahwat], zinanya lisan adalah mengucapkan [dengan syahwat], zinanya hati adalah mengharap dan menginginkan [pemenuhan nafsu syahwat] …’.

Sebagaimana penjelasan Ibnu Abbas dalam hadits tersebut, dosa “mendekati zina” itu tergolong “dosa kecil”. Sungguhpun demikian, Ibnu Abbas sangat memperhitungkan perbuatan dosa yang “kecil” ini cenderung diremehkan oleh pelakunya. Inilah yang dalam hadits di atas disebut sebagai “bagiannya dari zina yang pasti dia [manusia] lakukan”.

Padahal, bila diremehkan, yang kecil itu bisa membesar. Ingatlah bahwa perbuatan zina selalu diawali dengan “mendekati zina” terlebih dahulu! Dengan kata lain, dosa besar ini selalu diawali dengan dosa-dosa kecil. Dengan demikian, kalau dosa-dosa kecil itu diremehkan, maka dosa BESAR sudah menanti.

2. Terbukanya Aurat dan Saling Melihat Yang Bukan Mahram
Karena seringnya berdua-duaan, si pria pun ingin melihat aurat wanita. Si pria ingin melihat indah gemulai rambutnya dan sebagainya yang merupakan aurat. Padahal menutup aurat dengan mengenakan jilbab itu adalah wajib sebagaimana firman Allah Ta’ala,
قل للمؤمنين يغضوا من أبصارهم ويحفظوا فروجهم ذلك أزكى لهم إن الله خبير بما يصنعون. وقل للمؤمنات يغضضن من أبصارهن ويحفظن فروجهن ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها وليضربن بخمرهن على جيوبهن ولا يبدين زينتهن إلا لبعولتهن أو آبائهن أو آباء بعولتهن أو أبنائهن أو أبناء بعولتهن أو إخوانهن أو بني إخوانهن أو بني أخواتهن أو نسائهن أو ما ملكت أيمانهن أو التابعين غير أولي الإربة من الرجال أو الطفل الذين لم يظهروا على عورات النساء ولا يضربن بأرجلهن ليعلم ما يخفين من زينتهن وتوبوا إلى الله جميعا أيها المؤمنون لعلكم تفلحون.
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (An-Nur: 30–31)

Melihat aurat lawan jenis barulah dibolehkan jika telah menjadi suami-isteri, bukan saat pacaran. Kerabatnya saja yang masih mahrom dibolehkan melihat sebatas anggota tubuh yang nampak ketika berwudhu. Lantas kenapa orang yang jauh sampai dibolehkan melihat kehormatan wanita tersebut padahal akad nikah pun belum ada?

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ، حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ، عَنْ يُونُسَ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: حَدَّثَنِي نَبْهَانُ، مَوْلَى أُمِّ سَلَمَةَ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ، قَالَتْ: كُنْتُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدَهُ مَيْمُونَةُ، فَأَقْبَلَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ وَذَلِكَ بَعْدَ أَنْ أُمِرْنَا بِالْحِجَابِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «احْتَجِبَا مِنْهُ» ، فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَيْسَ أَعْمَى لَا يُبْصِرُنَا، وَلَا يَعْرِفُنَا؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَفَعَمْيَاوَانِ أَنْتُمَا، أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ» [9]
Dari Ummi Salamah, ia berkata: Ketika saya bersama Maimunah berada di dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Ibnu Ummi Maktum masuk. Kejadian itu sesudah turunnya ayat yang memerintahkan kami untuk berhijab. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Berhijablah kamu daripadanya”. Kami berkata: Wahai Rasulullah, bukankah ia seorang yang buta tidak melihat dan tidak mengetahui kami? Nabi SAW bersabda: “Apakah kamu juga buta? Tidakkah kamu melihat orang itu?”

Dengan lawan jenis kita diperintahkan untuk menundukkan pandangan dan jelas terlarang jika dengan syahwat (nafsu). Perintah ini dimaksudkan agar lebih menjaga hati dan agar hati tidak tergoda pada zina. Memandang lawan jenis barulah jadi halal jika melalui hubungan pernikahan atau dibolehkan jika wanita yang dipandang masih mahrom kita. Mengenai larangan memandangn lawan jenis, disebutkan dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah,
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى.
“Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim no. 5770).

3. Bersentuhan Dengan Yang Bukan Muhrim
Ini pun pelanggaran yang sering dilakukan oleh yang berpacaran. Baik di kesepian maupun tempat umum, seringnya ingin berjalan bergandengan tangan padahal belum halal. Zina tangan adalah dengan menyentuh lawan jenis yang bukan mahrom sehingga ini menunjukkan haramnya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
“Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (HR. Muslim no. 6925)
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ هَارُونَ، ثنا إِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ، أَنَا النَّضْرُ بْنُ شُمَيْلٍ، ثنا شَدَّادُ بْنُ سَعِيدٍ الرَّاسِبِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ يَزِيدَ بْنَ عَبْدِ اللهِ بْنِ الشِّخِّيرِ يَقُولُ: سَمِعْتُ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لَا تَحِلُّ لَهُ»[10]

Dari Ma’qil bin Yasar Radhiyallahu ‘anhu, dia menceritakan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Andaikan ditusukkan ke kepala salah seorang diantara kalian dengan jarum besi, yang demikian itu lebih baik daripada dia harus menyentuh wanita yang tidak diperbolehkan baginya”.
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَنْ عُقَيْلٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، وَقَالَ إِبْرَاهِيمُ بْنُ المُنْذِرِ: حَدَّثَنِي ابْنُ وَهْبٍ، حَدَّثَنِي يُونُسُ، قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ، أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ: كَانَتِ المُؤْمِنَاتُ إِذَا هَاجَرْنَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْتَحِنُهُنَّ بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا، إِذَا جَاءَكُمُ المُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ} [الممتحنة: 10] إِلَى آخِرِ الآيَةِ. قَالَتْ عَائِشَةُ: فَمَنْ أَقَرَّ بِهَذَا الشَّرْطِ مِنَ المُؤْمِنَاتِ فَقَدْ أَقَرَّ بِالْمِحْنَةِ، فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَقْرَرْنَ بِذَلِكَ مِنْ قَوْلِهِنَّ، قَالَ لَهُنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «انْطَلِقْنَ فَقَدْ بَايَعْتُكُنَّ» لاَ وَاللَّهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ، غَيْرَ أَنَّهُ بَايَعَهُنَّ بِالكَلاَمِ، وَاللَّهِ مَا أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى النِّسَاءِ إِلَّا بِمَا أَمَرَهُ اللَّهُ، يَقُولُ لَهُنَّ إِذَا أَخَذَ عَلَيْهِنَّ: «قَدْ بَايَعْتُكُنَّ» كَلاَمًا[11]
Dari ‘Aisyah ia berkata: Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membai’at para perempuan dengan perkataan. Tidak pernah tangan Rasulullah SAW memegang tangan para perempuan, kecuali tangan perempuan yang telah menjadi miliknya (perempuan yang telah dinikahinya).

4. Berkhalwat Dengan Yang Bukan Mahram
Ini juga pelanggaran yang tidak bisa dipungkiri. Berduaan bisa jadi berduaan di satu tempat, di kegelapan, atau di tempat sepi, atau boleh jadi berduaan lewat sms-an, telepon atau lebih keren lagi lewat pesan facebook. Banyak kejadian yang berawal dari berdua-duaan seperti ini, di antaranya berhubungan lewat inbox facebook, lalu mengajak ketemuan, lantas ujung-ujungnya terjadilah apa yang terjadi.

Yang dimaksud dengan khalwat adalah menyendirinya seorang lelaki dengan seorang perempuan asing di tempat yang tidak ada orang lain. Semua ahli ilmu bersepakat bahwa khalwat seorang lelaki dengan perempuan asing adalah haram karena dapat menimbulkan syahwat. Berkata Imam An Nawawi ra; Adapun jika terjadi khalwat antara lelaki dan perempuan tanpa orang ketiga bersama keduanya maka itu adalah haram menurut kesepakatan ulama, demikian pula jika ada bersama keduanya orang yang tidak membuat mereka malu karena masih kecil seperti anak dari salah satu di antara mereka, maka keberadaannya sama dengan ketiadaannya.[12]
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، حَدَّثَنَا عَمْرٌو، عَنْ أَبِي مَعْبَدٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ» فَقَامَ رَجُلٌ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، امْرَأَتِي خَرَجَتْ حَاجَّةً، وَاكْتُتِبْتُ فِي غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا، قَالَ: «ارْجِعْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ»[13]
Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Aku pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpidato: “Janganlah sekali-kali seorang lelaki berkhalwat (berduaan) dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya. Dan janganlah seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya”. Tiba-tiba seorang lelaki bangkit berdiri dan berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya isteriku pergi untuk menunaikan ibadah haji, sedangkan aku terkena kewajiban mengikuti peperangan ini dan itu. Beliau bersabda: “Berangkatlah untuk berhaji bersama isterimu”.
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا لَيْثٌ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ، عَنْ أَبِي الخَيْرِ، عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ» فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَفَرَأَيْتَ الحَمْوَ؟ قَالَ: «الحَمْوُ المَوْتُ»[14]
Dari Uqbah bin Amir, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jauhilah olehmu mendekati orang-orang perempuan”. Kemudian ada seorang sahabat Anshar bertanya: Bagaimana kalau mendekati kerabat isteri? Beliau SAW menjawab: “Mendekati kerabat isteri adalah berarti mati”.
Yang dimaksud kerabat isteri antara lain: kakak ipar, adik ipar, ibu mertua, dan sepupu isteri, kemenakan dan lainnya.

Bahaya TTM dan Pacaran
TTM adalah awalnya, kemudian berlanjut kepada pacaran, kemudian berlanjut lagi kepada tunangan, jika berjalan baik dan mulus, kemungkinan akan terjadi perkawinan, namun jika berjalan buruk atau mungkin sudah bosan atau terjadi perselingkuhan, maka hubungan itu pun akan putus.
Menurut psikolog Ira Petranto, selingkuh hati biasanya berdampak lebih berat bagi perempuan. Mereka sibuk berkhayal hidup bahagia bersama soulmate, sehingga tidak sadar bahwa intensi para lelaki dalam membina hubungan dengan sahabat perempuan belum tentu berhenti sebagai teman curhat. Biasanya pria punya hidden agenda yang ujungnya berakhir di tempat tidur. Dan kalau ini sudah terpenuhi, gairah affair pun bisa mereda. Sementara pada perempuan semakin terlibat emosi, semakin sulit melepaskan dan tumbuh rasa ingin memiliki.[15] Padahal dalam TTM, pacaran dan perselingkuhan, tidak ada tanggung jawab atau kewajiban untuk saling menjaga perasaan atau hubungan, karena sama-sama tidak ada jaminan untuk komitmen apapun.

Secara ringkas, fenomena ini berdampak buruk pada individu, keluarga, masyarakat bahkan bangsa. Yaitu antara lain:
1. Rusaknya kepribadian dan kesucian jiwa lelaki maupun perempuan.Perbuatan-perbuatan maksiat akan menggerogoti jiwa manusia dan merusaknya. Semakin terbiasa dengan maksiat semakin jauh manusia dari Allah dan tuntunan agama yang benar.
2. Rusaknya hubungan-hubungan keluarga dan tatanan masyarakat.Perselingkuhan akan merusak tatanan keluarga yang sebelumnya terbentuk dan terikat dengan kuat. Keluarga yang centang perenang akan membentuk wajah masyarakat yang juga compang camping, karena tidak ada suatu ikatan yang dipatuhi.
3. Rusaknya tata silsilah keturunan, akan lahir anak-anak “haram” tanpa kejelasan status nasabnya, karena dilahirkan di luar pernikahan yang sah.
4. Timbul dan merajalelanya penyakit kelamin. Yaitu penyakit-penyakit yang disebabkan oleh hubungan sex bebas dan berganti-gantinya pasangan seperti yang telah diketahui secara umum.

Tanggung jawab Hisbah (memberi peringatan dan nasihat)
Teman tapi mesra, pacaran dan tunangan adalah kebiasaan HARAM yang disukai oleh banyak manusia. Ketiga perkara ini sangat terkenal di kalangan anak muda masa kini. TTM, pacaran dan tunangan adalah perbuatan haram yang mendekati zina.
1. Tanggung jawab Keluarga
Maka hendaklah para orang tua mengawasi dan menasihati anak-anak mereka, suami-isteri saling menjaga dan saling setia, seluruh anggota keluarga dan saudara-saudari dalam Islam saling berpesan agar menjauhi perkara yang merusak ini.
يا أيها الذين آمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا وقودها الناس والحجارة عليها ملائكة غلاظ شداد لا يعصون الله ما أمرهم ويفعلون ما يؤمرون
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.(At Tahrim : 6).

2. Tanggung Jawab Ulama
Sudah sepantasnyalah jika seluruh ulama mengatakan TTM, pacaran dan tunangan adalah HARAM. Ketiga perbuatan itu tidak pernah ada pada zaman Nabi, tidak pernah pula diajarkan, bahkan sudah diharamkan sejak zaman Nabi.[16]

3. Tanggung jawab Masyarakat
Seluruh anggota masyarakat harus peduli untuk menjaga lingkungannya dari perilaku yang merusak ini. Karena ia akan menular jika masyarakat menganggap bahwa ini adalah urusan pribadi. Kesalahan individu ini dapat merembet dan menulari individu-individu lain jika masyarakat tidak memberi sanksi social yang sepadan. Kemudian musibah akan menimpa masyarakat itu secara keseluruhan.
واتقوا فتنة لا تصيبن الذين ظلموا منكم خآصة واعلموا أن الله شديد العقاب
Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang dzalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.(Al Anfaal : 25)
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ، قَالَ: سَمِعْتُ عَامِرًا، يَقُولُ: سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَثَلُ القَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالوَاقِعِ فِيهَا، كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ، فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلاَهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا، فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ المَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ، فَقَالُوا: لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا، فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا، وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا، وَنَجَوْا جَمِيعًا "[17]
Perumpamaan penjagaan terhadap hukum-hukum Allah dalam pelaksanaannya adalah seperti sebuah kaum yang menumpang sebuah kapal, sebagian duduk di atas sebagiannya lagi di bawah. Jika yang di bagian bawah ingin mengambil air, mereka harus naik ke atas. Maka mereka berkata”Jika kita membuat lubang pada bagian bawah ini, maka kita tidak perlu naik ke atas. Maka jika mereka membiarkan mereka melubangi kapal mereka akan tenggelam bersama, dan jika mereka mencegahnya mereka akan selamat bersama.

Daftar Pustaka
Sumber Buku:
Abu Dawud Sulayman bin al Asy’ats bin Ishaq bin Basyir bin Syadaad bin Amru al Azdi as Sijistany, Sunan Aby Dawud, Maktabah al Ashirah, Shida Beyrut.
Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al Bukhary al Ja’fy, Shahih Bukhary, Dar at Tuqa an Najah, 1422H.
Muslim bin al Hajaj Abul Hasan al Qusyayry an Naysabury, Shahih Muslim, Darul Ihya at Turats al ‘Araby, Beyrut.
Sulayman bin Ahmad bin Ayub bin Mutir, Abul Qasim ath Thabrany, Al mu’jam al Kabir, Maktabah Ibnu Taymiyah, Kairo, 1994.

Sumber Internet:
http://www.fikhguide.com/almbt3th/61, Ahwalul Khalwah bil Ajnabiyah wa Ahkamuha



[3] http://pribadiferi.blogspot.com/ttm:bye-bye commitment/ akses 14/10/2014, 9:03 wib.
[4] http://pribadiferi.blogspot.com/ttm:bye-bye commitment/ akses 14/10/2014, 9:03 wib.
[5] http://pribadiferi.blogspot.com/ttm:bye-bye commitment/ akses 14/10/2014, 9:03 wib.
[6] Muslim bin al Hajaj Abul Hasan al Qusyayry an Naysabury, Shahih Muslim, Darul Ihya at Turats al ‘Araby, Beyrut, Juz 4 hal. 2047.
[7] Cahyopa’s blog, http://cahyopa.blogspot.com/ttm, 14/10/2014, 9:07 wib.
[8] Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al Bukhary al Ja’fy, Shahih Bukhary, Dar at Tuqa an Najah, 1422H, Juz 8 hal. 125.
[9] Abu Dawud Sulayman bin al Asy’ats bin Ishaq bin Basyir bin Syadaad bin Amru al Azdi as Sijistany, Sunan Aby Dawud, Maktabah al Ashirah, Shida Beyrut, Juz 4, hal. 63.
[10] Sulayman bin Ahmad bin Ayub bin Mutir, Abul Qasim ath Thabrany, Al mu’jam al Kabir, Maktabah Ibnu Taymiyah, Kairo, 1994, Juz 20, hal.211.
                [11] Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al Bukhary al Ja’fy, op.cit, Juz 7 hal. 49.     
[12] http://www.fikhguide.com/almbt3th/61, Ahwalul Khalwah bil Ajnabiyah wa Ahkamuha, akses 16/10/2014, 9:04.
[13] Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al Bukhary al Ja’fy, op.cit, Juz 7 hal.37.
[14] Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al Bukhary al Ja’fy, op.cit, Juz 7, hal.37.
[15] Cahyopa’s blog, http://cahyopa.blogspot.com/ttm, 14/10/2014, 9:07 wib.
[17] Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al Bukhary al Ja’fy, op.cit, Juz 3, hal.139.

No comments:

Post a Comment