Wednesday, April 6, 2016

UJUB DAN TAKABBUR


            Secara bahasa i’jab berarti senang, gembira, menganggap baik. A’jabahu al amru yakni surrohu (sesuatu itu menyenangkannya, menggembirakannya). U’jiba bihi yakni surro bihi (disenangkan, digembirakan dengannya).[1] Juga berarti kagum, menganggap agung atau menganggap besar. A’jabahu al amru yakni zaaha bihi wa ‘azhuma ‘indahu wa kabura ladayhi (sesuatu itu mengagumkannya, menjadi agung di sisinya, menjadi besar di sisinya. Rajulun mu’jabun yakni mazhuwwun aw mu’azhzhimun au mukabbirun lima yakuunu minhu hasanan aw qabiihan (kagum, mengagungkan, menganggap besar terhadap sesuatu yang baik atau buruk).[2]
            Sedangkan menurut istilah i’jab bi annafsi adalah kagum atau membanggakan diri sendiri dari segala sesuatu yang timbul dari dirinya, baik perkataan maupun perbuatan, dengan tidak melakukan sesuatu yang melampaui batas terhadap orang lain, baik perkataan maupun perbuatan.[3] Sifat ini bisa melahirkan kesombongan, karena ia adalah salah satu pemicunya.[4]
لقد نصركم الله في مواطن كثيرة ويوم حنين إذ أعجبتكم كثرتكم فلم تغن عنكم شيئا وضاقت عليكم الأرض بما رحبت ثم وليتم مدبرين
Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi kagum karena banyaknya jumlah kalian, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepada kalian sedikit pun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit oleh kalian, kemudian kalian lari ke belakang dengan bercerai-berai.( QS At Taubah 25)
Adapun takabbur secara bahasa semakna dengan ta’azhzhum, yakni menampak-nampakkan keagungan dan kebesarannya, merasa agung dan besar. Yakni mereka menganggap diri mereka lebih utama dari pada orang lain, dan bahwa mereka memiliki hak yang tidak dimiliki orang lain.[5]
            Sedangkan secara istilah ialah seseorang menampakkan kekagumannya terhadap dirinya dalam bentuk merendahkan dan meremehkan orang lain serta tidak mau menerima kebenaran yang datang dari mereka.[6] Atau bisa juga didefinisikan dengan menganggap diri lebih lebih tinggi dari orang lain atau melihat diri di atas orang lain dalam suatu kesempurnaan.[7]
            Menurut Al Ghazali, kibr atau sombong adalah seseorang memandang dirinya berada di atas orang lain, lalu timbul pada hatinya rasa lebih hebat, lebih kuat dan lebih tinggi dari orang lain hingga menganggap orang lain itu hina dalam pandangannya.[8]
            Adapun Rasulullah saw mendefinisikan takbabbur dalam sebuah hadits beliau yang diriwayatkan Imam Muslim, yaitu:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ» قَالَ رَجُلٌ: إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً، قَالَ: «إِنَّ اللهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ، الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ، وَغَمْطُ النَّاسِ»[9]
“Dari Abdullah bin Mas’ud dari Nabi shallallahu alayhi wasallam, beliau berkata: Tidak masuk surga orang yang dalam hatinya ada sebesar dzarrah saja kesombongan. Berkata seorang lelaki: Sesungguhnya seorang lelaki menyukai jika pakaiannya dan sandalnya bagus. Rasulullah berkata: Sesungguhnya Allah itu Indah dan mencintai keindahan, sombong itu menolak kebenaran dan meremehkan manusia.
Perbedaan takabbur dengan ujub adalah adanya factor orang lain. Seseorang bisa merasa ujub terhadap dirinya sendiri walaupun di tempat sepi, sedangkan orang yang takabbur memerlukan orang lain di sekitarnya untuk direndahkan atau diremehkan.[10]



[1] Ibnul Manzhur, Lisaanul Arab, 1:581.
[2] Ibid, h,582.
[3] Sayyid Muhammad Nuh, terapi mental aktivis harokah, h.147.
[4] Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah al Maqdisiy, Mukhtashar Minhajul Qashidin, Maktabah Darul Bayan, Damaskus, 1978, h.234.
[5] Ibnul Manzhur, op.cit. h.129.
[6] Sayyid Muhammad Nuh, Op.cit, h.200.
[7] Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah al Maqdisiy,op.cit, h. 227.
[8] Al Ghazali, Ihya Ulumudin, 3/336.
[9]Muslim bin al Hajaj abul Hasan al Qusyairy an Naysabury, Shahih Muslim, Daar Ihya at Turats al Araby, Beyrut, tt, Juz 1 h.93.
[10] Sa’id Hawwa, Jalan Ruhani, h.228

No comments:

Post a Comment