Secara bahasa i’jab berarti
senang, gembira, menganggap baik. A’jabahu al amru yakni surrohu
(sesuatu itu menyenangkannya, menggembirakannya). U’jiba bihi yakni surro
bihi (disenangkan, digembirakan dengannya).[1]
Juga berarti kagum, menganggap agung atau menganggap besar. A’jabahu al amru
yakni zaaha bihi wa ‘azhuma ‘indahu wa kabura ladayhi (sesuatu itu
mengagumkannya, menjadi agung di sisinya, menjadi besar di sisinya. Rajulun
mu’jabun yakni mazhuwwun aw mu’azhzhimun au mukabbirun lima yakuunu minhu
hasanan aw qabiihan (kagum, mengagungkan, menganggap besar terhadap sesuatu
yang baik atau buruk).[2]
Sedangkan
menurut istilah i’jab bi annafsi adalah kagum atau membanggakan diri
sendiri dari segala sesuatu yang timbul dari dirinya, baik perkataan maupun
perbuatan, dengan tidak melakukan sesuatu yang melampaui batas terhadap orang
lain, baik perkataan maupun perbuatan.[3]
Sifat ini bisa melahirkan kesombongan, karena ia adalah salah satu pemicunya.[4]
لقد نصركم الله في مواطن كثيرة ويوم حنين
إذ أعجبتكم كثرتكم فلم تغن عنكم شيئا وضاقت عليكم الأرض بما رحبت ثم وليتم مدبرين
Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mukminin) di medan
peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu
menjadi kagum karena banyaknya jumlah kalian, maka jumlah yang banyak itu tidak
memberi manfaat kepada kalian sedikit pun, dan bumi yang luas itu telah terasa
sempit oleh kalian, kemudian kalian lari ke belakang dengan bercerai-berai.(
QS At Taubah 25)
Adapun takabbur secara bahasa semakna dengan ta’azhzhum,
yakni menampak-nampakkan keagungan dan kebesarannya, merasa agung dan besar.
Yakni mereka menganggap diri mereka lebih utama dari pada orang lain, dan bahwa
mereka memiliki hak yang tidak dimiliki orang lain.[5]
Sedangkan secara istilah ialah
seseorang menampakkan kekagumannya terhadap dirinya dalam bentuk merendahkan
dan meremehkan orang lain serta tidak mau menerima kebenaran yang datang dari
mereka.[6]
Atau bisa juga didefinisikan dengan menganggap diri lebih lebih tinggi dari
orang lain atau melihat diri di atas orang lain dalam suatu kesempurnaan.[7]
Menurut Al Ghazali, kibr atau
sombong adalah seseorang memandang dirinya berada di atas orang lain, lalu
timbul pada hatinya rasa lebih hebat, lebih kuat dan lebih tinggi dari orang
lain hingga menganggap orang lain itu hina dalam pandangannya.[8]
Adapun Rasulullah saw mendefinisikan
takbabbur dalam sebuah hadits beliau yang diriwayatkan Imam Muslim, yaitu:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي
قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ» قَالَ رَجُلٌ: إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ
أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً، قَالَ: «إِنَّ اللهَ جَمِيلٌ
يُحِبُّ الْجَمَالَ، الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ، وَغَمْطُ النَّاسِ»[9]
“Dari Abdullah bin Mas’ud dari Nabi shallallahu alayhi wasallam,
beliau berkata: Tidak masuk surga orang yang dalam hatinya ada sebesar dzarrah
saja kesombongan. Berkata seorang lelaki: Sesungguhnya seorang lelaki menyukai
jika pakaiannya dan sandalnya bagus. Rasulullah berkata: Sesungguhnya Allah itu
Indah dan mencintai keindahan, sombong itu menolak kebenaran dan meremehkan
manusia.”
Perbedaan
takabbur dengan ujub adalah adanya factor orang lain. Seseorang bisa merasa ujub
terhadap dirinya sendiri walaupun di tempat sepi, sedangkan orang yang takabbur
memerlukan orang lain di sekitarnya untuk direndahkan atau diremehkan.[10]
[1]
Ibnul Manzhur, Lisaanul Arab, 1:581.
[2]
Ibid, h,582.
[3]
Sayyid Muhammad Nuh, terapi mental aktivis harokah, h.147.
[4]
Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah al Maqdisiy, Mukhtashar Minhajul Qashidin,
Maktabah Darul Bayan, Damaskus, 1978, h.234.
[5]
Ibnul Manzhur, op.cit. h.129.
[6]
Sayyid Muhammad Nuh, Op.cit, h.200.
[7]
Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah al Maqdisiy,op.cit, h. 227.
[8]
Al Ghazali, Ihya Ulumudin, 3/336.
[9]Muslim
bin al Hajaj abul Hasan al Qusyairy an Naysabury, Shahih Muslim, Daar
Ihya at Turats al Araby, Beyrut, tt, Juz 1 h.93.
[10]
Sa’id Hawwa, Jalan Ruhani, h.228
No comments:
Post a Comment