Wednesday, March 16, 2016

PROBLEMATIKA PENULISAN SEJARAH ISLAM

1. Makna Sejarah Lokal dalam kaitannya dengan Sejarah Dunia
Sejarah Islam masih seringkali difahami sebagai sejarah local yang dibicarakan secara terpisah dari keseluruhan lanskap sejarah dunia yang besar dan global. Seolah jika menulis sejarah Islam, maka itu bukanlah tulisan tentang sejarah dunia. Situasi ini seperti yang dipaparkan oleh Sejarawan Henri Cordier sebagai berikut,
Orang-orang barat dengan cara sepihak telah menyempitkan sejarah dunia dengan mengelompokkan pihak kecil yang mereka ketahui penyebaran ras manusianya berada di sekitar bangsa-bangsa Israel, Yunani dan Romawi. Jadi mereka telah mengabaikan semua musafir dan peneliti yang berlayar mengarungi Lautan Cina dan Samudra Hindia, atau melakukan perjalanan melintasi wilayah-wilayah luas di Asia Tengah sampai Teluk Persia. Sebenarnya, lebih sebagian bumi ini, memuat kebudayaan-kebudayaan yang berbeda dari kebudayaan-kebudayaan Yunani dan Romawi tanpa berkurang tingkat peradabannya. Tetapi kebudayaan-kebudayaan tersebut tetap tidak diketahui oleh mereka yang hanya menulis sejarah dunianya yang kecil, walaupun ada kesan bahwa mereka telah menulis sejarah dunia.[1]
Sebagai contoh, masih banyak sejarawan atau guru sejarah yang memaknai sejarah Indonesia sebagai sejarah local, bukan sejarah internasional. Seolah Indonesia bukan bagian dari dunia, dan tidak punya pengaruh apa-apa terhadap dinamika internasional. Ketidakpahaman ini menurut Ahmad Manshur Suryanegara disebabkan tidak ada kesadaran wilayah dalam pembentukan kesadaran sejarah suatu bangsa.[2] Padahal sejarah Indonesia sebagai peristiwa sejarah, terjadi pada ruang seluas seperenam lingkaran bumi. Jika diukur, luas seluruh provinsi di Indonesia lebih besar dari gabungan luas negara-negara Eropa. Wilayah Indonesia barat ke timur, yaitu dari Sabang sampai Merauke itu sama dengan panjang dari London ke Baghdad. Sedangkan dari utara ke selatan, yaitu Talaud sampai Pulau Rotee, sama panjangnya dengan Berlin hingga Aljazair. Kesadaran wilayah ini akan membantu kita memberi makna yang lebih kuat dan tepat pada kesadaran sejarah local kita dalam konstelasi sejarah internasional.
Selanjutnya dengan pendekatan multidimensional, sejarah local suatu wilayah menuntut untuk dibahas tanpa memisahkannya dengan sejarah-sejarah local yang lainnya. Karena tidak ada suatu bangsa atau kelompok masyarakat dapat terhindar dari kontak dengan bangsa atau kelompok lain, dan saling mempengaruhi. Sebagai contoh, bukankah sudah sejak sangat lama Eropa mengandalkan kebutuhan rempah-rempahnya dari Asia Tenggara khususnya Nusantara, lebih khususnya lagi, kepulauan Maluku? Yang mana Eropa memperolehnya dari para pedagang Arab yang mereka beli dengan mata uang Emas Byzantium yang emasnya mereka dapatkan juga dari Asia Timur.[3]

2. Ketergantungan dan Tantangan Ilmiyah Penulisan Ulang Sejarah Islam
Mengikut pandangan Henri Cordier, Barat seperti sengaja mengcilkan makna luas dan pentingnya peranan Timur. Dunia pemberitaan dari Barat tidak memberikan porsi yang benar terhadap peristiwa sejarah di wilayah Asia-Afrika. Anthony Smith, menjelaskan bagaimana upaya Barat mendominasi Timur dengan membuat rasio pemberitaan 96 persen untuk Barat dan menyisakan 4 persen untuk Timur. Ditambah lagi dengan mendistorsikan kebenarannya.[4]
Pada kasus Indonesia, sejarahnya masih memakai makna peninggalan penjajah Belanda yang cenderung menggambarkan Belanda dengan skala besar, dan sebaliknya mengecilkan gambaran Indonesia. Pengecilan ini masih terasa gemanya, sehingga penyebutan wilayah di luar Indonesia berarti global dan internasional. Sedangkan Indonesia seolah hanyalah suatu wilayah di sudut Asia.
Sejarawan Barat sangat giat dan bersemangat dalam penulisan sejarah Timur dan Islam, dengan berbagai motifnya. Dari mulai motif-motif ilmu pengetahuan semata sampai dengan motif-motif penjajahan bahkan motif-motif kristenisasi.[5] Untuk itu mereka sangat tekun dalam mengumpulkan dan membuat catatan-catatan data dan sumber sejarah. Suatu pekerjaan yang disayangkan Bung Karno tidak ada dalam kebiasaan ulama dan  da’i pelopor islamisasi Indonesia.[6] Sehingga sejarah Indonesia  (terutama sejarah Islam) lebih banyak ditulis berdasarkan sumber-sumber yang dibuat oleh lembaga-lembaga Asing yang menjajah Indonesia seperti EIC milik Inggris dan VOC milik Belanda.

DAFTAR PUSTAKA
Ross E. Dunn, Petualangan Ibnu Batutah, Seorang Musafir Muslim Abad ke 14, alih bahasa Amir Sutaarga, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1995.
Qassim Assamurai, Bukti-bukti Kebohongan Orientalis, alih bahasa Syuhudi Ismail dkk, Gema Insani Press, Jakarta, 1996.
Suryanegara, Ahmad Manshur, Menemukan Sejarah, Wacana Peregarakan Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, 1995.



[1] Ross E. Dunn, Petualangan Ibnu Batutah, Seorang Musafir Muslim Abad ke 14, alih bahasa Amir Sutaarga, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1995, hal.xxxv.
[2] Ahmad Manshur Suryanegara, Menemukan Sejarah, Wacana Peregarakan Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, 1995, hal.65.
[3] Qassim Assamurai, Bukti-bukti Kebohongan Orientalis, alih bahasa Syuhudi Ismail dkk, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hal. 42.
[4] Ahmad Manshur Suryanegara, op.cit,hal.67.
[5] Qasim Assamurai, op.cit, hal 138.
[6] Ahmad Manshur Suryanegara, op.cit, hal.73.

No comments:

Post a Comment