1. Makna Sejarah Lokal
dalam kaitannya dengan Sejarah Dunia
Sejarah Islam masih
seringkali difahami sebagai sejarah local yang dibicarakan secara terpisah dari
keseluruhan lanskap sejarah dunia yang besar dan global. Seolah jika menulis
sejarah Islam, maka itu bukanlah tulisan tentang sejarah dunia. Situasi ini seperti
yang dipaparkan oleh Sejarawan Henri Cordier sebagai berikut,
Orang-orang barat dengan cara sepihak telah
menyempitkan sejarah dunia dengan mengelompokkan pihak kecil yang mereka
ketahui penyebaran ras manusianya berada di sekitar bangsa-bangsa Israel,
Yunani dan Romawi. Jadi mereka telah mengabaikan semua musafir dan peneliti
yang berlayar mengarungi Lautan Cina dan Samudra Hindia, atau melakukan
perjalanan melintasi wilayah-wilayah luas di Asia Tengah sampai Teluk Persia.
Sebenarnya, lebih sebagian bumi ini, memuat kebudayaan-kebudayaan yang berbeda
dari kebudayaan-kebudayaan Yunani dan Romawi tanpa berkurang tingkat
peradabannya. Tetapi kebudayaan-kebudayaan tersebut tetap tidak diketahui oleh
mereka yang hanya menulis sejarah dunianya yang kecil, walaupun ada kesan bahwa
mereka telah menulis sejarah dunia.[1]
Sebagai contoh, masih
banyak sejarawan atau guru sejarah yang memaknai sejarah Indonesia sebagai
sejarah local, bukan sejarah internasional. Seolah Indonesia bukan bagian dari
dunia, dan tidak punya pengaruh apa-apa terhadap dinamika internasional.
Ketidakpahaman ini menurut Ahmad Manshur Suryanegara disebabkan tidak ada kesadaran
wilayah dalam pembentukan kesadaran sejarah suatu bangsa.[2]
Padahal sejarah Indonesia sebagai peristiwa sejarah, terjadi pada ruang seluas
seperenam lingkaran bumi. Jika diukur, luas seluruh provinsi di Indonesia lebih
besar dari gabungan luas negara-negara Eropa. Wilayah Indonesia barat ke timur,
yaitu dari Sabang sampai Merauke itu sama dengan panjang dari London ke Baghdad.
Sedangkan dari utara ke selatan, yaitu Talaud sampai Pulau Rotee, sama
panjangnya dengan Berlin hingga Aljazair. Kesadaran wilayah ini akan membantu
kita memberi makna yang lebih kuat dan tepat pada kesadaran sejarah local kita
dalam konstelasi sejarah internasional.
Selanjutnya dengan pendekatan multidimensional, sejarah local
suatu wilayah menuntut untuk dibahas tanpa memisahkannya dengan sejarah-sejarah
local yang lainnya. Karena tidak ada suatu bangsa atau kelompok masyarakat
dapat terhindar dari kontak dengan bangsa atau kelompok lain, dan saling
mempengaruhi. Sebagai contoh, bukankah sudah sejak sangat lama Eropa
mengandalkan kebutuhan rempah-rempahnya dari Asia Tenggara khususnya Nusantara,
lebih khususnya lagi, kepulauan Maluku? Yang mana Eropa memperolehnya dari para
pedagang Arab yang mereka beli dengan mata uang Emas Byzantium yang emasnya
mereka dapatkan juga dari Asia Timur.[3]
2. Ketergantungan dan
Tantangan Ilmiyah Penulisan Ulang Sejarah Islam
Mengikut pandangan Henri
Cordier, Barat seperti sengaja mengcilkan makna luas dan pentingnya peranan
Timur. Dunia pemberitaan dari Barat tidak memberikan porsi yang benar terhadap
peristiwa sejarah di wilayah Asia-Afrika. Anthony Smith, menjelaskan bagaimana
upaya Barat mendominasi Timur dengan membuat rasio pemberitaan 96 persen untuk
Barat dan menyisakan 4 persen untuk Timur. Ditambah lagi dengan mendistorsikan
kebenarannya.[4]
Pada kasus Indonesia,
sejarahnya masih memakai makna peninggalan penjajah Belanda yang cenderung
menggambarkan Belanda dengan skala besar, dan sebaliknya mengecilkan gambaran
Indonesia. Pengecilan ini masih terasa gemanya, sehingga penyebutan wilayah di
luar Indonesia berarti global dan internasional. Sedangkan Indonesia seolah
hanyalah suatu wilayah di sudut Asia.
Sejarawan Barat sangat giat dan bersemangat dalam penulisan sejarah
Timur dan Islam, dengan berbagai motifnya. Dari mulai motif-motif ilmu
pengetahuan semata sampai dengan motif-motif penjajahan bahkan motif-motif
kristenisasi.[5]
Untuk itu mereka sangat tekun dalam mengumpulkan dan membuat catatan-catatan
data dan sumber sejarah. Suatu pekerjaan yang disayangkan Bung Karno tidak ada
dalam kebiasaan ulama dan da’i pelopor
islamisasi Indonesia.[6]
Sehingga sejarah Indonesia (terutama
sejarah Islam) lebih banyak ditulis berdasarkan sumber-sumber yang dibuat oleh
lembaga-lembaga Asing yang menjajah Indonesia seperti EIC milik Inggris dan VOC
milik Belanda.
DAFTAR
PUSTAKA
Ross
E. Dunn, Petualangan Ibnu Batutah, Seorang Musafir Muslim Abad ke 14,
alih bahasa Amir Sutaarga, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1995.
Qassim
Assamurai, Bukti-bukti Kebohongan Orientalis, alih bahasa Syuhudi
Ismail dkk, Gema Insani Press, Jakarta, 1996.
Suryanegara,
Ahmad Manshur, Menemukan Sejarah, Wacana Peregarakan Islam di Indonesia,
Mizan, Bandung, 1995.
[1]
Ross E. Dunn, Petualangan Ibnu Batutah, Seorang Musafir Muslim Abad ke 14,
alih bahasa Amir Sutaarga, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1995, hal.xxxv.
[2]
Ahmad Manshur Suryanegara, Menemukan Sejarah, Wacana Peregarakan Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, 1995, hal.65.
[3]
Qassim Assamurai, Bukti-bukti Kebohongan Orientalis, alih bahasa
Syuhudi Ismail dkk, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hal. 42.
[4]
Ahmad Manshur Suryanegara, op.cit,hal.67.
[5]
Qasim Assamurai, op.cit, hal 138.
[6]
Ahmad Manshur Suryanegara, op.cit, hal.73.
No comments:
Post a Comment