Wednesday, March 16, 2016

Teori Masuknya Islam ke Nusantara


Teori Gujarat. Dinamakan teori Gujarat karena pandangan teori ini yang menyebutkan asal Islam di Nusantara adalah Gujarat di India. Peletak dasar teori ini kemungkinan adalah Snouck Hurgronye. Snouck membangun teorinya berdasarkan hal-hal sebagai berikut : yang pertama kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam islamisasi Nusantara. yang kedua adanya hubungan perdagangan India dengan negeri-negeri di Nusantara yang cukup intens. yang terakhir inskripsi tertua yang berhasil ditemukannya di Sumatra memberikan gambaran hubungan Gujarat-Nusantara, yaitu batu Nisan Sultan Malik As Saleh, raja pertama kerajaan Samudra.

Beberapa Pendukung Teori Gujarat, antara lain:
W.F. Sutterheim, dalam  De Islam en Zijn Komst In de Archipel, mendasarkan pandangannya pada bukti batu nisan Sultan Malik As Saleh yang berangka tahun 1297. Sehingga menurutnya Islam masuk ke Nusantara pada abad ke 13. Nisan itu menurutnya bercorak hinduistis, memiliki kesamaan dengan yang ada di Gujarat. Selain itu ia juga berpendapat bahwa Islam tersebar melalui jalur perdagangan Nusantara – Cambay (Gujarat) – Timur Tengah – Eropa.

Bernard H.M. Vlekke, dalam  Nusantara, A History of Indonesia, berdasarkan keterangan Marco Polo yang pernah singgah di Sumatra pada 1292, yang menggambarkan situasi masyarakatnya yang beragama Islam. Ia juga menggunakan makam Sulatan Malik as Saleh untuk mendukug pendapatnya. Nisan itu diimpor dari Cambay yang merupakan pusat perdagangan Islam ketika itu. Di samping berkembangnya beberapa praktek mistik Islam yang menurutnya sama bentuknya dengan yang dipraktekkan di Cambay.  

Schrieke dalam Indonesian Sociological Studies, menggambarkan saling ketergantungan antara Malaka dengan Cambay. Cambay disebutnya adalah pusat rempah-rempah yang berasal dari Indonesia. Ia mendasarkan pendapatnya pada keterangan Ibnu Batutah yang pernah  ke Gujarat.

Clifford Geertz dalam The Religion of Java, juga menguatkan bahwa Islam di Indonesia berasal dari India. Perkembangan agama Islam menurutnya diwarnai ajaran Hindu-Budha. Bahkan juga praktek animism-dinamisme sebelum Hindu-Budha. Hal ini terjadi karena terputusnya hubungan Nusantara dengan pusat Islam seperti Mekkah atau Kairo. Hubungan ini baru terjadi lagi pada abad ke 19. Sekalipun demikian masyarakat Indonesia mayoritasnya tetap menjalankan praktek keagamaan yang diwarnai Hindu-Budha itu.

Harry J. Benda, dalam makalahnya, Kontinuitas dan Perubahan Islam di Indonesia, juga mendukung India sebagai sumber Islam Nusantara ketimbang Arab. Arab tidak melakukan mistik seperti India. Menurutnya jika Islam berdasarkan praktek yang biasa dilakukan di Arab, ia tidak akan mendapat tempat di Nusantara khususnya di Jawa. Islam baru bisa diterima masyarakat Nusantara setelah memantul dulu di India. Buktinya orang-orang Arab sudah lama tinggal di pantai-pantai Nusantara tapi baru pada abad  15 atau 16 Islam menjelma sebagai kekuatan politik dan budaya. Selain itu ia juga menyebutkan bahwa cara masyarakat Indonesia bertani dan berternak kerbau atau sapi merupakan pengaruh budaya India.
Teori Mekkah. Pembangun teori ini adalah Hamka. Hamka menolak pandangan yang menyebutkan Islam masuk ke Nusantara pada abad ke 13 dan berasal dari Gujarat. Ia lebih mendasarkan pendapatnya kepada peranan Arab sebagai pembawa Islam ketimbang India. Mekkah dan atau juga Mesir adalah sumber Islam Nusantara, karena luasnya pengaruh Madzhab Syafi’iy di Indonesia. Hamka juga menggunakan keterangan Ibnu Batutah yang berkunjung ke Gujarat. Tapi ia menemukan perbedaan Madzhab yang berkembang di Gujarat dengan di Nusantara. Di mana menurut Mohammad Said dalam Mencari Kepastian tentang Daerah, Mula dan Masuknya Islam di Indonesia, menyebutkan bahwa di Cambay (Gujarat) berkembang madzhab Syi’ah. Padahal pada sekitar tahun itu Cambay belum juga dikuasai Islam. Ia juga menolak bahwa abad ke 13 disebut sebagai waktu datangnya Islam ke Nusantara, karena pada abad itu telah ada kekuasaan politik Islam, jadi Islam pasti datang sebelum itu. Ia menyebutkan abad ke 7.
Ahmad Manshur Suryanegara menjelaskan, bahwa bangsa Arab telah berdagang di wilayah samudra Hindia sejak abad ke 2 sM. Ia mengemukakan fakta yang ditulis Thomas Walker Arnold dalam The Preching of Islam, A History of the Propagation of the Muslim Faith, bahwa bangsa Arab sejak abad ke 2 sebelum Masehi telah menguasai perdagangan di Ceylon (Srilanka). Menurut D.H. Burger dan Prajudi Atmosudirjo, dalam Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, bangsa India dan Cina baru mengadakan hubungan dengan Indonesia pada abad ke 1M, sedangkan hubungan Arab dengan Cina sudah sejak 500 sebelum Masehi, melalui jalur darat yaitu Jalur Sutera. Begitu pula menurut Ibrahim Tien Ying Ma dalam Perkembangan Islam di Tiongkok, bahkan sebagiannya telah menetap di Tiongkok. Para pedagang Arab itu pada umumnya melalui jalur laut menyusuri pesisir India dan Asia tenggara.  Sebagiannya menetap di Bandar-bandar sepanjang jalur itu, seperti Champa (Kamboja) dan Vietnam. Komoditi terpenting yang diperdagangkan adalah, sutera, porselin, obat-obatan, rempah-rempah, permata, wewangian, produk dari kaca dan lain-lain.
Pengaruh perdagangan bangsa Arab ini dapat dibuktikan dengan temuan tinggalan mata uang Arab di kota-kota Eropa dari abad ke 7 hingga 11 M. Mata uang tersebut ditemukan di Rusia, Finlandia, Swedia, Norwegia, Inggris dan pulau Es di utara. Henri Pirenne, seorang ilmuwan Belgia dalam Muhammad and Charlemagne, bahwa komoditas kertas dari Mesir, sutera dari Cina dan rempah-rempah dari Indonesia yang biasa dinikmati Eropa lenyap pada abad ke 7. Emas yang mereka gunakan untuk mencetak uang untuk membayar barang-barang itu juga hilang dari Eropa karena satu nama; Muhammad, yang khalifah-khalifahnya menaklukkan Suriah, Mesir, Afrika Utara dan Spanyol, sehingga terputuslah jaringan kehidupan Eropa secara tuntas. Sampai dengan penghujung abad ke 15 bangsa-bangsa Eropa hanya mengetahui bangsa-bangsa timur di perairan tengah saja. Mereka masih mengira laut lebih ke timur lagi adalah jurang laut, yang jika berlayar ke sana kapal akan jatuh, entah kemana.
J.C van Leur dalam Indonesia; Trade and Society, menyebutkan bahwa pada 674 telah ada koloni Arab Islam di pantai barat Sumatra. Dengan mempertimbangkan bahwa pada abad ke 4 bangsa Arab telah membangun koloni dagangnya di Kanton, yang mana pada 618 dan 626 mulai terdengar dipraktekkannya Islam pada koloni Kanton tersebut, dapatlah dijelskan pengaruhnya pada koloni-koloni Arab lainnya sepanjang jalur perdagangan itu. Selain itu van Leur menjelaskan bahwa Islam terlebih dahulu menjadi agama masyarakat sebelum akhirnya dikonversi oleh bupati atau adipati pesisir yang sebelumnya beragama Hindu atau Budha. Konversi ini perlu dilakukan para penguasa pesisir itu karena mulai datangnya penjelajah Eropa (Portugis) yang memamerkan keunggulan militer.
Uka Tjandra Sasmita dalam Proses Kedatangan Islam dan Munculnya Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh, mengungkapkan adanya batu makam yang lebih tua dari pada nisan Sultan Malik As Saleh. Yaitu makam yang memuat nama Fatimah binti Maymun bin Hibatullah yang angka tahun wafatnya 495H (1102M). Angka tahun ini lalu dikoreksi pembacaannya menjadi 475H (1082M). Ada juga makam yang dikenal dengan  Makam Tuan Makhdum di Barus, memuat nama Siti Tuhar Amisuri berangka tahun 602H. Di Samudra sendiri ada makam Al Malik Maulana Abdul Rahman Taj Al Daulah Quth Al Ma’Afi al Fasi, wafat Rabu Dzul Qo’dah 610H (1214M).
Uka juga menyebutkan adanya factor pelayaran dan perdagangan yang telah berlangsung sangat lama antara Arab – India (via Asia tenggara) – Cina, yang memungkinkan Islam datang ke Nusantara pada abad ke 7. Bangsa Arab mungkin adalah orang-orang pertama yang membuat peta pelayaran, (mungkin juga kompas?). Berdasarkan berita Cina pada zaman Dinasti T’ang, menceritakan bahwa orang-orang Ta Sheh telah mengurungkan niat menyerang kerajaan Ho Ling (Kalingga) yang diperintah Ratu Sima (674M). Itu berarti pada abad ke 7 orang orang Arab Muslim telah datang ke Indonesia dan menetap.  Ruben Levy dalam Social Structure of Islam, menyebutkan bahwa kekuatan Armada Laut Muawiyah bin Abu Soufyan pada  654-655M, sekitar 5.000 kapal perang.
Di samping peran pelaut Arab, Hamka juga menyebutkan bahwa bangsa Indonesia juga melakukan pelayaran untuk perdagangan maupun untuk keperluan belajar agama Islam. Factor ini tidak pernah diungkap oleh para sejarawan barat untuk menggambarkan betapa pasifnya bangsa Indonesia. Padahal kemampuan maritime bangsa Indonesia sudah terkenal mulai zaman Sriwijaya yang merupakan kerajaan yang bersifat maritime yaitu pada abad 4 masehi. Menurut Hamka, bangsa Indonesia sudah berlayar ke Cina, Hindustan, Laut Merah, Pantai Jeddah bahkan membangun negeri baru di Malagasi di kepulauan Madagaskar. Joesoef Sou’yb bahkan berani membuat teori Pelaut Indonesia menemukan Benua Amerika sebelum Columbus.
Teori Persia. Pembangun teori ini adalah Hoesein Djayadiningrat. Teori ini memfokuskan pembahasannya pada kesamaan budaya Islam masyarakat Indonesia dengan Persia. Yaitu:
Peringatan 10 Muharam atau Assyura sebagai hari peringatan Syi’ah atas terbunuhnya Hasan dan Husein bin Ali bin Abi Thalib. Di Minangkabau Muharram disebut bulan Hasan Husein. Di Sumatra bagian tengah disebut bulan Tabut, dirayakan dengan mengarak keranda Husein untuk dilarung ke sungai atau laut.
Kesamaan ajaran Syekh Siti Jenar dengan Al Hallaj, meskipun kedua tokoh ini berbeda zaman agak jauh, Al Hallaj hidup pada abad ke 9, Syekh Siti Jenar pada abad 16.
Penggunaan istilah Iran dalam system belajar mengeja huruf Al Qur’an. Misalnya, jabar-zabar (Persia) = fathah (Arab). Jer - ze-er = kasrah, p’es – py’es = dhommah.
Menguatkan Gujarat sebagai sumber Islam karena kesamaan batu nisan Malik as Saleh dan nisan Malik Ibrahim yang bergaya India.
Mengakui Madzhab Syafi’iy sebagai madzhab yang paling berpengaruh di Indonesia, tapi bukan berasal dari Mekkah melainkan dari Malabar.
Daftar Bahan Bacaan
A Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Kumpulan Prasaran Seminar Masuknya Islam di Indonesia di Aceh tahun 1978, Al Ma’arif, 1993.
Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah, Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, Penerbit Mizan, Bandung, 1995.
Ibrahim Tien Ying Ma, Perkembangan Islam di Tiongkok, Bulan Bintang, Jakarta, 1979.
Joesoef Sou’yb, Orientalisme dan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1986.
____________, Pelaut Indonesia menemukan Benua Amerika sebelum Ch. Columbus, Penerbit Rimbow, Medan, 1987.
Ross E. Dunn, Petualangan Ibnu Battuta, Seorang Musafir Muslim abad ke 14, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1995.
Thomas W. Arnold, Sejarah Da’wah Islam, terjemahan oleh Nawawi Rambe, Penerbit Widjaya, 1977.

Qassim Assamurai, Bukti-bukti Kebohongan Orientalis, Gema Insani Press, Jakarta, 1996.

No comments:

Post a Comment