Wednesday, March 16, 2016

Riya' dan Sum'ah

1. Memahami Riya’ 
Riya’ berasal dari kata ara’a (melihat) dan riya’un (memperlihatkan). Maka riya’ berarti memperlihatkan amal shalih kepada orang lain, atau memamerkan amal shalihnya kepada orang lain. Sedangkan secara istilah, riya’ berarti seorang muslim yang memperlihatkan atau memamerkan amal shalih yang diperbuatnya kepada orang-orang dengan pamrih di hadapan mereka, atau karena menghendaki martabat dan kedudukan di mata umum atau menghendaki harta dari mereka. Orang yang riya’ melakukan ibadah atau amalan bukan untuk mengharapkan keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala melainkan karena mengharapkan pujian dan penilaian dari manusia. Contohnya, mereka solat qobliah dan ba’diah di hadapan khalayak ramai saja tetapi apabila berada diluar ruang lingkup masyarakat mereka tidak mengerjakannya. Imam Al Ghazali menjelaskan bahwa pelaku riya’ menghias dirinya di hadapan hamba-hamba Allah, berpura-pura dan gembira dengan rasa hormat yang diraihnya dari manusia.
 إن المنافقين يخادعون الله وهو خادعهم وإذا قاموا إلى الصلاة قاموا كسالى يرآؤون الناس ولا يذكرون الله إلا قليلا 
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. (QS An Nisaa’ 142). 

Imam Ibnul Qayyim al Jauziyah menyatakan bahwa semua bentuk pamer adalah kemusyrikan. Siapa saja yang meniatkan amal perbuatannya selain karena Allah, atau berniat sesuatu bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, mengharapkan balasan selain dariNya, maka ia telah syirik dalam niatnya. Firman Allah,
 قل إنما أنا بشر مثلكم يوحى إلي أنما إلهكم إله واحد فمن كان يرجو لقاء ربه فليعمل عملا صالحا ولا يشرك بعبادة ربه أحدا 
Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya". (QS Al Kahfi 110) 

Yakni sebagaimana keyakinan bahwa Dia adalah Tuhan Yang Esa tiada tuhan yang lain, demikian halnya dengan ibadah, hanya kepadaNya semata. Sebagaimana Dia Esa dalam ketuhanan, seharusnya juga Esa dalam penyembahan kepadaNya, sehingga amal shalih adalah perbuatan yang terbebas dari pamer yang terikat dengan tuntunan sunnah. Umar bin Khatab ra berdo’a, 
 اللَّهُمَّ اجْعَلْ عَمَلِي كُلَّهُ صَالِحًا وَاجْعَلْهُ لِوَجْهِكَ خَالِصًا، وَلَا تَجْعَلْ لِأَحَدٍ فِيهِ شَيْئًا. 
“Ya Allah, jadikan semua amalku sebagai amal shalih, dan jadikan untuk keagunganMu sebagai amal yang shalih juga, dan jangan berikan ruang untuk siapa pun dalam ibadahku”. 

Sebuah sifat yang beriringan dengan riya’ adalah sum’ah. Sum’ah berasal dari kata samma’a (memperdengarkan). Yaitu memperdengarkan yang telah diamalkannya yang sebelumnya tersembunyi atau rahasia.
 من سمّع سمّع الله بهِ ومن يُرائِ يُرائِ الله به 
Barangsiapa memperdengarkan amalnya, Allah akan memperdengarkannya. Siapa yang memperlihatkan amalnya, Allah akan memperllihatkannya. 

Maksudnya jika orang yang beramal karena sum’ah dan riya’ Allah akan memperdengarkan dan memperlihatkannya seperti apa yang mereka kehendaki, karena amalnya bukan karena mengharapkan ridho Allah. Pelaku riya’ dan sum’ah memperlihatkan kepada orang banyak sesuatu yang dijadikannya sarana memperoleh kedudukan di hati mereka. 

2. Penyebab Riya dan Sum’ah 
Imam Al Ghazali menjelaskan bahwa pangkal dari sifat ini adalah kecintaan kepada kedudukan dan penghormatan, yang jika dilacak ia akan bermuara kepada tiga sifat yaitu ; lezatnya sanjungan, menghindar dari sakitnya celaan dan tamak terhadap apa yang ada di tangan orang lain. Maka orang yang riya’ sangat suka jika ada orang yang memujinya dan marah jika ada orang yang mencela atau mengkritiknya. Sedangkan sifat tamaknya akan membuatnya bakhil, baik dalam perbuatan maupun pemberian. Ia tidak mengerjakan sesuatu amal kecuali hanya untuk tidak dikatakan malas. Jika ia berada di antara orang-orang dermawan, ia cukup berinfak sekadarnya, hanya untuk menghindari dikatakan bakhil. 

3. Bahaya Riya’ dan Sum’ah 
Riya’ dapat menyebabkan keruhnya hati, terhalang dari mendapat taufiq dan hidayah, hilangnya kedudukan dan kehinaan yang besar, murka Allah dan siksa yang berat di akhirat. Allah adalah pemilik taufiq dan hidayah, dan menganugerahkannya kepada yang dikehendakiNya, yaitu orang-orang yang benar-benar lurus niatnya dalam beribadah. Apabila seseorang beramal karena riya’ dan sum’ah, sesungguhnya ia menghancurkan keikhlasannya, kesungguhan, kebaikan dan kejujurannya. Bagaimana mungkin ia akan mendapat hidayah Allah? Kemudian akan terbongkarlah suatu saat maksud-maksud hatinya di hadapan orang banyak sehingga bukan kedudukan dan penghormatan yang didapatnya melainkan cemooh dan penghinaan. Orang-orang akan berpaling darinya jika ia berbicara, sehingga hilanglah wibawanya. Selanjutnya, menurut Imam Ibnul Qayyim, kemusyrikan dalam ibadah akan membatalkan pahala, dan terkadang mendapatkan hukuman jika ibadah itu adalah yang wajib. Sebab ia dianggap tidak melakukannya, maka ia dihukum karena meninggalkan perintah. Sebab Allah hanya memerintahkannya untuk menyembahNya secara murni (ikhlas). 
 وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين حنفاء ويقيموا الصلاة ويؤتوا الزكاة وذلك دين القيمة 
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.(QS Al Bayyinah 5) 

Allah hanya menerima amal ibadah yang ikhlas dan menolak yang tidak ikhlas. Riya’ dan sum’ah membuat seseorang beribadah dengan tujuan yang terbagi, yaitu bagi dirinya dan bagi orang lain, bukan bagi Allah. Maka amalnya itu tertolak. Ia akan merugi karena yang tidak ada yang tersisa baginya sedikitpun pahala amalnya di sisi Allah. Maka dia tidak akan memperoleh balasan kecuali siksa yang pedih di akhirat kelak.
 وقدمنا إلى ما عملوا من عمل فجعلناه هباء منثورا 
Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.(QS Al Furqan 23) 

4. Terapi Riya’ dan Sum’ah 
Untuk mengobati penyakit ini Imam Al Ghazali menjelaskan dua maqam, yaitu yang pertama mencabut akar-akar penyebabnya dan menggusur pondasi-pondasinya. Untuk dapat melakukan hal ini orang perlu tahu tentang bahaya yang dikandungnya. Kemudian ia mengisi jiwanya dengan gambaran-gambaran kenikmatan di sisi Allah di akhirat nanti. Jika ia meyakininya dan berkonsentrasi untuk mendapatkannya maka akan ringanlah segala ukuran-ukuran yang berlaku di dunia. Sehingga ia tidak memerlukan lagi penilaian orang terhadapnya.
قل إنما أنا بشر مثلكم يوحى إلي أنما إلهكم إله واحد فمن كان يرجو لقاء ربه فليعمل عملا صالحا ولا يشرك بعبادة ربه أحدا 
Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya". (QS Al Kahfi 110) 

Maqam yang kedua adalah bersegera menolak hal yang ditimbulkan riya’ ketika beribadah. Gangguan riya’ dan sum’ah ini berlangsung terus menerus sepanjang hidup. Maka diperlukan upaya keras yang terus menerus untuk melawannya. Manusia harus selalu ingat bahwa riya’ ini selalu mengintainya. Begitu terasa godaannya ia harus segera memupusnya dari dalam hatinya. Imam al Ghazali menganjurkan untuk berlatih membiasakan dirinya menyembunyikan berbagai ibadah sampai ia betul-betul merasakan pengawasan Allah dalam ibadahnya. Tidak ada obat yang paling mujarab melawan riya’ kecuali menyembunyikan ibadah di hadapan makhluq. Ini adalah sesuatu yang berat pada awal mujahadah, tetapi jika ia bersabar tentu kesulitannya akan berkurang dan terasa mudah baginya dengan dukungan taufiq dan hidayah Allah.
 إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم 
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. QS Ar Ra’du 11)
 إن الله لا يضيع أجر المحسنين 
Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik,(QS At Taubah 120)
 إن الله لا يظلم مثقال ذرة وإن تك حسنة يضاعفها ويؤت من لدنه أجرا عظيما 
Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.(QS An Nisaa 40) 

 DAFTAR PUSTAKA 
Ibnul Qayyim al Jauziyah, Al Jawab al Kafi liman Sa’ala ‘an ad Dawa’ asy Syafi, Daarul Ma’rifah, Maroko, 1997. 
Ibnul Qayyim al Jauziyah, Al Jawab al Kafi liman Sa’ala ‘an ad Dawa’ asy Syafi, alih bahasa Futuhal Arifin, Gema Madinah Makkah Pustaka, Jakarta, 2007. 
Imam Abu Hamid Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, Daar al Ma’rifah Beyrut, tt. Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al Bukhari al Ja’fiy, Shahih Bukhari, Daar Thuqo an Najah,2001. 
Muhammad bin Mukaram bin Ali, Abul Fadhil, Jamaluddin Ibnul Manzhur, Lisaanul Arab, Daar ash Shaddr, Beyrut, 1414H. 
Sa’id Hawwa, Mensucikan Jiwa, Intisari Ihya’ Ulumuddin, alih bahasa Aunur Rafiq Saleh Tamhid, Robbani Press, Jakarta,2001. 
Sayyid Muhammad Nuh, Terapi Mental Aktivis Harakah, Telaah atas penyakit mental dan social kontemporer para da’iy, alih bahasa As’ad Yasin dan Salim Bazemool, Pustaka Mantiq, Solo,1995.

No comments:

Post a Comment